Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
ADVERTISEMENT
Coba kita lihat besok deh,” Yogi menjawab seadanya sambil menggaruk tengkuknya yang sepertinya tidak gatal.
ADVERTISEMENT
Kami melanjutkan obrolan-obrolan ringan untuk mencairkan suasana. Tak lama berselang, kami pun bersiap melakukan perjalanan.
Cukup melelahkan. Bokongku terasa panas dan keram karena jok motor Yogi yang terasa keras seperti batu bata. Ditambah lagi dengan kondisi jalan pedesaan yang berbatu.
Di depan motor kami, Ahmad dan Rudi memimpin dengan lincah. Sepanjang perjalanan, kami disambut oleh pemandangan persawahan yang asri, lengkap dengan sungai. Aliran airnya menerpa bebatuan besar.
Itu pemandangan yang lumayan menyejukkan mata. Namun, rasa nyeri di bokongku memang mengganggu. Beberapa kali kami berhenti dan beristirahat.
Kami sempat tersesat beberapa kali dan bertanya dengan penduduk sekitar terkait alamat yang diberikan Pak Buana. Namun, kami pun akhirnya sampai juga. Benar saja, rumahnya berada di ujung gang sempit. Kanan-kirinya terdapat pepohonan pinus dan semak-semak tinggi.
ADVERTISEMENT
Rumah itu tidak terlalu besar. Namun, halaman depannya sepertinya cukup menampung beberapa motor dan mobil besar. Temboknya yang bercat putih telah kusam. Beberapa bagian sisinya masih menggunakan anyaman bambu.
Di depan daun pintu sudah berdiri seorang pria paruh baya. Ia berbadan sedikit gempal. Aku taksir usianya sekitar 40-an tahun. Ia menggunakan udeng bermotif coklat di kepalanya. Namun, kerutan halus yang sudah tampak bergurat di keningnya tetap terlihat.
Adalah Pak Buana. Ia mengenakan kaus putih lusuh bertuliskan nama partai. Ia lalu melemparkan senyum hangat ke kami.
“Akhirnya datang juga. Mari masuk ke gubuk saya. Kita makan bersama dulu. Gimana perjalanan kesini?” sapanya, ramah sambil menyalami kami satu per satu.
Kami membuka sepatu dan jaket yang kami kenakan lalu masuk. Di ruangan depan yang lantainya yang bersemen hanya dialasi tikar bambu lipat. Tikar tersebut tidak menutupi semua bagian lantai. Di atasnya sudah dihidangkan beberapa makanan sederhana yang ditutupi dengan tudung saji kecil.
ADVERTISEMENT
Dari sela-sela tudung saji itu, terlihat samar-samar tempe goreng, sayur kangkung, sambal, dan kerupuk udang. Ada juga kendi dan beberapa gelas di sana. Efek perjalanan panjang benar-benar membuatku tidak sabar untuk melahapnya.
“Ayo diminum dulu, terus langsung makan. Pasti kalian capek banget kan?," katanya kepada kami.
Pak Buana kemudian berteriak, mengabarkan kepada istrinya yang belum terlihat bahwa kami telah tiba di rumahnya.
"Mah, anak-anak eksmis sudah datang nih. Tolong siapin piringnya dulu ya,” teriak Pak Buana.
Nampaknya, ia sangat bersemangat menyambut kami. Hal tersebut membuatku sedikit tidak enak hati mengingat duka yang pernah terjadi di keluarga ini.
Istrinya keluar dari dapur sambil membawa sepiring ikan goreng tambahan untuk kita nikmati. Ia menggunakan kerudung berwarna biru muda menyala. Itu cukup kontras dengan wajahnya yang terlihat lemas dan pucat. Kantung matanya terlihat berat, namun masih berusaha menyuguhkan kami dengan senyum terbaiknya.
ADVERTISEMENT
Kami berbincang-bincang sambil melahap makanan yang disajikan Pak Buana dan istrinya. Terlihat dengan jelas Pak Buana sudah tidak sabar dengan hal yang akan kami lakukan.
“Jujur saja saya kaget melihat kalian ternyata masih sangat muda-muda. Paling tua umur berapa?” tanya Pak Buana.
Aku, Ahmad, dan Rudi pun kompak menunjuk ke Yogi. Hal itu membuatnya berhenti mengunyah makanan yang penuh di mulutnya.
“Saya, Pak. Umur 29 tahun,” jawab Yoga.
“Hoalah... jadi yang lain juga masih 20-an?” tanya Pak Buana. Kami pun mengangguk serentak.
Bukan sebuah hal baru ketika kami dihadapkan dengan orang yang tidak percaya bahwa kami masih muda dalam menjalankan hal-hal mistis seperti ini. Salah satunya Pak Buana ini. Ia lalu membuang napas dalam dan memulai pembicaraan yang serius.
ADVERTISEMENT
“Baiklah. Jadi, begini. Seperti yang sudah saya jelaskan, saya tidak kuat menampung kekuatan jahat yang menyerang keluarga saya, termasuk istri saya. Dua kali kami kehilangan buah hati kami yang masih merah," ungkap Pak Buana sembari melirik ke arah istrinya.
Lanjutnya, "Yang satunya sudah lahir, bayi perempuan cantik dengan wajah mirip mamahnya. Namun, pada usianya yang baru dua minggu lebih tiga hari, ia...,” Pak Buana menghentikan penjelasannya. Ia berusaha menegarkan dirinya.
***
Senang membaca kisah horor seperti ini, klik tombol subscribe di bawah untuk mendapat notifikasi setiap ada cerita horor terbaru dari Mbah Ngesot.