Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Seperti biasa setelah berjemaah ashar, para santri pondok pesantren Al Barokah berbondong-bondong pergi ke surau untuk ngaji kitab kuning. Kiai Muntaqo (pimpinan pondok pesantren) menabuh kentungan sebanyak tiga kali petanda kalau pengajian segera dimulai. Dia lalu jalan dengan santai menuju surau sambil menenteng kitab kuning. Di dalam surau itu tampak santri putra dan putri sudah berkumpul.
ADVERTISEMENT
“Assalamualaikum…,” kata Kiai Muntaqo.
Semua santri itu menjawabnya dengan serentak.
Kiai Muntaqo langsung membuka kitab kuningnya dan menerangkan bait demi bait makna kitab itu. Para santri sibuk mencatat apa dijelaskan gurunya. Di tengah-tengah pengajian, tiba-tiba Nurul bertingkah aneh. Dia tidak mencatat perkataan gurunya, melainkan diam saja sambil tertunduk. Pulpen digenggam dengan sangat keras, bahkan sampai patah.
“Nurul kamu kenapa?” tanya salah satu temannya.
Nurul yang saat itu berkerudung hitam tidak menjawab apa pun. Dia tetap tertunduk, air liur tiba-tiba menetes dari mulutnya.
“Abi lihat Nurul!” kata salah satu santriawati, ia terkejut saat melihat kedua mata Nurul yang berubah menjadi hitam semua. Tidak salah lagi kalau Nurul ini kerasukan setan.
ADVERTISEMENT
Saat itu juga Nurul berdiri, wajahnya dipenuhi urat yang menonjol berwarna hijau.
“Astagfirullah…,” Kiai Muntaqo mengelus dadanya.
Kiai muda itu pun bergumam membaca ayat suci Al-Quran, “Qul a’udzu birobinnas. Malikinnas, Ilahinnas…,”
Belum sempat dia menyelesaikan bacaanya. Jin jahat yang ada di dalam tubuh Nurul berteriak lalu mendekat ke arah Kiai Muntaqo.
“Minsyari waswasil khonas, alladzi yuwaswisu fi sudurinnas. Minnal jinnati wannas…,” Nurul malah melanjutkan bacaan gurunya itu dengan suara besar dan menggema, dia lalu tertawa terbahak-bahak.
Santri berhamburan keluar surau. Mereka semua ketakutan kecuali Faisal, dia adalah kakaknya Nurul. Dengan napas yang terengah-engah, Faisal mendekati adiknya.
“De…?” kata Faisal, intonasi suaranya sangat ketakutan.
“Faisal keluar dari surau ini!” pinta Kiai Muntaqo.
ADVERTISEMENT
Tapi Faisal tak mau meninggalkan adiknya dalam kondisi seperti itu.
“De…, sadar De…!” teriak Faisal.
Nurul membalikkan badan lalu menatap Faisal dengan tatapan tajam. Dengan sekejap mata, Nurul mencekik leher kakaknya, ia pun mengangkat tubuh Faisal. Seketika Peci Faisal jatuh, kedua tangannya menggapai-gapai, dia kesulitan bernapas. Buru-buru Kiai Muntaqo menyeruduk tubuh Nurul.
Mereka pun terpental, Faisal mengaduh kesakitan saat kepalanya membentur tembok, sedangkan Nurul masih mengamuk. Kiai Muntaqo segera membaca kalimat-kalimat ruqiah di telinga Nurul membuat wanita itu berteriak seperti kesakitan, matanya melotot, sesekali dia mencaci Kiai Muntaqo.
Tak lama berselang, tubuh Nurul melunak. Kedua matanya perlahan terpejam, dia pun tak sadarkan diri. Kiai Muntaqo menyuruh Faisal untuk mengambil air, buru-buru Faisal pergi ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih. Air itu dibacakan doa-doa, lalu diusapkan ke wajah Nurul yang tampak pucat. Nurul pun dibawa ke asramanya.
ADVERTISEMENT
Sudah dua tahun belakangan ini Nurul sering sekali kesurupan. Ada jin jahat yang nempel di tubuhnya. Dia sudah beberapa kali diruqiah, tapi tak kunjung sembuh. Dalam sebulan, Nurul bisa kesurupan dua sampai empat kali. Penyakit kesurupan itu disebabkan oleh kakeknya Nurul. Dulu kakeknya punya ilmu hitam dan memelihara banyak jin jahat. Sekarang salah satu jin yang pernah dipelihara kakeknya itu malah menempel di tubuh Nurul.
Padahal Nurul ini masih muda, umurnya baru delapan belas tahun, sedangkan kakaknya si Faisal berumur dua puluh empat tahun. Mereka berdua sudah tiga tahun nyantri di pondok pesantren Al- Barokah. Selama dua tahun belakangan ini Faisal selalu mencari cara untuk menyembuhkan penyakit adiknya. Namun, tetap saja tidak berhasil, adiknya masih sering kesurupan.
ADVERTISEMENT
***
Malam itu Nurul masih tak sadarkan diri di dalam asramanya. Dari tadi sore, Nurul dirawat oleh sahabatnya yaitu si Ririn. Ya memang hanya dia santriawati yang berani mendekati Nurul, sedangkan yang lain takut karena Nurul sering kesurupan. Bahkan ada beberapa santriawati yang pindah pesantren gara-gara takut sama si Nurul.
Tengah malam saat semua orang di pesantren itu tidur, Nurul tiba-tiba bangun. Cara bangunnya tidak wajar, dia duduk begitu saja tanpa dibantu kedua tangannya. Nurul seperti dikendalikan makhluk gaib. Tatapannya kosong, wajahnya pucat sekali, dia masih mengenakan kerudung warna hitam kesukaannya. Nurul menoleh ke arah Ririn yang sedang tidur pulas.
“Ririn…,” panggil Nurul.
Ririn pun bangun. Ia mengucek kedua matanya lalu menoleh ke Nurul.
ADVERTISEMENT
“Kamu udah sadar?” tanya Ririn.
Nurul mengangguk.
“Rin anterin aku yuk,” pinta Nurul.
“Ke mana?” Ririn bangun, kini ia dalam posisi duduk.
“Ke belakang asrama, nyari kalungku. Kalungku hilang Rin. Pasti jatuh pas wudhu. Itu kalung pemberian ibuku,” kata Nurul.
“Ya sudah ayo kita cari,” Ririn membuka lemarinya, dia meraih senter dan mengenakan kerudung.
Setibanya di belakang asrama, Nurul malam mematug. Dia tidak mencari kalungnya yang hilang.
“Nurul…,” sapa Ririn dengan ragu-ragu. Dia mulai curiga kalau temannya itu kerasukan lagi.
Nurul pun balik badan, tampak wajahnya yang menakutkan sama seperti saat kesurupan tadi sore, Ririn menjerit ketakutan. Dan dalam sekejap mata, Nurul menjenggut rambut temannya itu. Lalu menariknya ke atas pohon mahoni. Wanita itu merayap seperti binatang, dia benar-benar sudah dirasuki jin jahat. Ririn berteriak sekuat tenaga sambil menangis, dia menggantung di atas dahan pohon itu, sementara Nurul mengerang-erang seperti binatang buas, tangan kanannya menjinjing rambut Ririn.
ADVERTISEMENT
Nantikan kelanjutan cerita Teror Lelembut Gunung Karang selanjutnya.
Kamu suka mengikuti beragam cerita dan kegiatan bertemakan horror? Ikuti surveynya dan tunggu kejutan program bertemakan horror dengan cara mengisi form survey berikut ini.