Konten dari Pengguna

La Constante et Fidèle: Bekas Jejak Freemason di Kota Semarang

M Daffa Apriza
Penulis lepas di bidang sosial-humaniora. Berusaha mengenal dan memahami Indonesia melalui budayanya.
13 November 2024 8:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Daffa Apriza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Lambang Organisasi Freemason. Sumber: Pixabay/Ti_
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lambang Organisasi Freemason. Sumber: Pixabay/Ti_
ADVERTISEMENT
Freemasonry—terkadang disebut Tarekat Mason Bebas atau Freemason—merupakan sebuah organisasi persaudaraan para pemikir bebas yang berkembang di seluruh dunia semenjak abad ke-14. Salah satu gedung pertama Freemason di Indonesia adalah loji La Choisie yang didirikan di Batavia pada tahun 1762.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya di Batavia, organisasi ini juga mendirikan loji-loji di berbagai daerah lain. Salah satu loji tersebut adalah La Constante et Fidéle yang terletak di Semarang. Loji ini didirikan pada tahun 1801 dan semula berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi anggota Tarekat Mason Bebas.
Karena para anggota kerap melakukan kegiatan kebatinan dan spiritual—termasuk pemanggilan roh di loji ini, masyarakat sekitar menjuluki gedung ini sebagai “Gedung Setan.” Para Freemason kerap terlihat melakukan ritual mereka sambil mengenakan jubah hitam.
Pasca kemerdekaan, pemerintah mengambil alih gedung ini dan melakukan peralihan fungsi. La Constante et Fidéle berubah menjadi Kantor Kejaksaan Tinggi (Kajati) Provinsi Jateng setelah Kajati Pertama Professor Imam Bardjo SH.
Gedung ini beroperasi sebagai Kajati sampai tahun 1973—saat Kajati pindah ke Jalan Pahlawan Semarang. Pada tahun 1976, terjadi perobohan gedung Kajati lama untuk membangun gedung perkantoran di lokasi ini.
ADVERTISEMENT
Ternyata gedung ini kembali mengalami peralihan fungsi. Sebelum sekarang menjadi Toko Alat Kesehatan Anez de Lourdes, gedung ini pernah menjadi Galeri FX Semarang dan tempat kursus LIA.
Meskipun La Constante et Fidéle sudah tidak berwujud, terdapat berbagai cerita seram yang beredar di penduduk setempat. Didik—seorang warga Prindikan Lor—mengatakan bahwa gedung tersebut dari dulu terkenal wingit atau angker.
"Waktu saya kecil atau sekitar 60 tahun yang lalu, saya sering dipesani orang tua saya agar tidak pergi ke situ (Gedung Setan). Karena ada setannya. Yaudah saya manut, tidak main ke situ," jelas Didik.
Menurut cerita warga, ada berbagai sosok yang menghantui bekas gedung ini seperti penampakan sosok laki-laki tinggi dan berjenggot. Berbagai penampakan lain di sini adalah sosok suster ngesot, hantu kuda, hantu mesin ketik, dan hantu tentara baris.
ADVERTISEMENT
Saking angkernya, reputasi “Gedung Setan” juga sempat terkenal di antara karyawan bis kota Semarang. Para kernet biasanya tahu tempat turun penumpang jika mengatakan ke supir ingin turun di “Gedung Setan”.

Freemasonry, Kolonialisme, hingga Pelarangannya di Indonesia

La Constante et Fidéle hanyalah satu dari sekian banyak bukti peninggalan organisasi Freemason di Indonesia. Organisasi ini resmi berdiri di Indonesia pada tahun 1767 dan 1769 dtidandai dengan dua loji di Batavia yang bernama La Fidele Sincerity dan La Verteuse.
Perkembangan dan pergerakan Freemason di Nusantara kemungkinan besar sudah ada semenjak Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menetap di Indonesia. Organisasi ini terkenal dengan prinsip yang menentang dogma dalam beragama sehingga Katolik Roma melarang pemeluk agama Katolik untuk mengikuti organisasi ini.
ADVERTISEMENT
Di Hindia Belanda, sebenarnya Freemasonry tidak menjadi bagian resmi dari struktur pemerintahan saat itu. Namun, penelitian dari Thohit, Ajid et al yang berjudul The struggle of Freemasonry and Islamic Ideology in the twentieh century during colonialization in Indonesia (2021) menunjukkan hubungan organisasi ini dengan agenda kolonialisme Hindia Belanda.
Studi ini memaparkan bahwa salah satu upaya devide et impera dari pemerintah Belanda adalah membenturkan antara kaum abangan-priyayi dengan kaum santri di Jawa. Snouck Hurgronje—tokoh intelektual asal Belanda—ingin melakukan polarisasi terhadap dua kaum ini melalui pendidikan yang waktu itu ada di Hindia Belanda.
Para kaum abangan-priyayi difokuskan untuk belajar bahasa Sansakerta, Hinduisme, serta kebudayaan Jawa kuno dan kontemporer. Sementara itu, kaum santri difokuskan untuk mengkaji agama Islam.
ADVERTISEMENT
Pemerintah kolonial kemudian melabeli bahwa kaum santri adalah pendukung budaya luar Jawa. Kaum abangan-priyayi yang tidak suka dengan sentimen yang melekat pada kaum santri akhirnya konflik.
Organisasi Freemason secara tidak langsung mendukung politik devide et impera dari Belanda. Mereka mendekati kaum abangan-priyayi yang merupakan golongan elit di Jawa dan mengajak mereka untuk menjadi anggota Freemasonry.
Para anggota organisasi ini jadi lebih simpatis terhadap keberadaan Belanda di Jawa dan menolak pengamalan agaman yang dogmatis. Akhirnya, kaum abangan-priyayi membantu Belanda untuk meredam berbagai perlawanan dari Syarekat Islam (SI), Muhammadiyah, dan Nadhlatul Ulama di tahun 1920-an.
Melihat keberadaan Freemason yang berpotensi mengancam persatuan bangsa Indonesia, pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan mengeluarkan Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1961. Peraturan ini melarang aktivitas beberapa organisasi di Indonesia saat itu—termasuk itu Freemason.
ADVERTISEMENT
Freemasonry bukanlah satu-satunya organisasi yang dilarang oleh Soekarno. Hasil keputusan tersebut juga melarang beberapa organisasi lain seperti Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization of Rosy Crucians (AMORC), dan Baha’i.