Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Resiliensi Seni di Tengah Arus Modernisasi: Wayang Orang di Desa Demakijo
3 Februari 2025 12:18 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari M Daffa Apriza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti kebanyakan mahasiswa semester akhir, penulis sedang mengikuti tradisi akademik yang ada di banyak kampus-kampus di Indonesia—kuliah kerja nyata (KKN) . Penulis adalah salah satu dari ratusan mahasiswa Universitas Diponegoro yang menjadi bagian dari Tim I KKN tahun ajaran 2024/2025.
ADVERTISEMENT
Pada saat penulisan artikel ini, penulis mendapatkan penempatan di Desa Demakijo—sebuah desa di Kecamatan Karangnongko, Kabupaten Klaten. Desa ini merupakan salah satu desa terbaik di Kecamatan Karangnongko.
Letaknya yang strategis serta gencarnya program pembangunan dari Pak Eri Karyatno, Kepala Desa Demakijo, adalah penyebab utama Desa Demakijo menjadi desa yang modern. Namun, tantangan utama yang muncul dari modernisasi adalah tergerusnya budaya tradisional.
Wayang Orang adalah salah satu kesenian lokal di Desa Demakijo. Pak Waluya adalah warga setempat yang aktif di dunia pementasan wayang Orang.
Beliau sudah tinggal di Desa Demakijo semenjak 17 Agustus 1964. Namun, beliau baru mulai aktif mengikuti latihan wayang Orang sekitar tahun 2004.
Ini karena paguyuban wayang setempat sempat vakum sebelum kehadiran Pak Waluya. Beliau juga baru mulai mengikuti kesenian ini karena ajakan latihan dari Pak Pangretno—Ketua Paguyuban Wayang Orang Retno Budaya.
ADVERTISEMENT
“...Saya ikut anggota dan kebetulan pentas pertama kali di tempat saya. Setelah itu aktif sampe sekarang—masih eksis,” jelas Pak Waluya.
Sebagai orang Jawa yang beragama Islam, Pak Waluya sangat mengapresiasi aspek dakwah dan tata krama yang ada pada pementasan wayang Orang. Dua aspek ini yang menjadi motivasi Pak Waluya untuk terus menekuni kesenian wayang Orang.
Minat Pak Waluya terhadap wayang Orang membuat beliau aktif terlibat pada berbagai lomba dan pementasan Orang. Bahkan, beliau dan teman-teman dari Retno Budaya juga pernah tampil pada acara wayang Orang yang dibiayai oleh Calon Bupati Kabupaten Klaten.
Pada 31 Oktober 2015, paguyuban Retno Budaya menampilkan Lampahan Narayana Nugroho / Wongso Adu Jago di Desa Demakijo. Calon Bupati menyediakan dana hingga 8 juta Rupiah serta sound system dan kostum untuk pementasan.
ADVERTISEMENT
Pak Waluya juga pernah mementaskan wayang Orang di desa tetangga. Pada 21 September 2019, Pak Waluya dan kawan-kawan dari Retno Budaya menampilkan lakon yang berjudul Wisanggeni Lai Wiji Sejati untuk acara khitanan dan tetesan di Desa Gemampir.
Seni yang Mati Suri
Meskipun wayang Orang beserta paguyubannya masih ada di Desa Demakijo, keberadaannya seakan mati suri. Di satu sisi, Kepala Desa Demakijo berupaya untuk menjaga agar wayang Orang tetap ada.
Misal, sebagai Kepala Desa, Pak Eri kerap menjadi donatur ketika ada pementasan acara wayang Orang di Desa Demakijo. Meskipun sekilas terlihat baik-baik saja, wayang Orang di Desa Demakijo sebenarnya sedang vakum.
Pak Waluya adalah satu-satunya pegiat wayang Orang yang ada di Desa Demakijo. Para anggota lain di Retno Budaya berasal dari berbagai kecamatan lain di Kabupaten Klaten. Menurut beliau, saat ini susah menarik untuk mewariskan keterampilan wayang Orang kepada anak muda.
ADVERTISEMENT
“Sekarang itu yang susah cari yang mudanya, Mas,” papar Pak Waluya.
Selain kesulitan untuk mencari penerus, Pak Waluya semakin jarang menemukan kesempatan untuk menampilkan wayang Orang pasca pandemi Covid-19. Masa-masa paling aktif dari Retno Budaya adalah pada tahun 2015 dan 2019.
Menurut Pak Waluya, masalah biaya juga menjadi penyebab lain wayang Orang sulit berjalan. Pak Waluya sendiri hanya mendapatkan penghasilan seadanya dengan bekerja sebagai buruh tani.
Dengan keadaan ekonomi seperti sekarang, Pak Waluya mengatakan bahwa biaya pementasan wayang Orang bisa berada di kisaran 12-15 juta Rupiah. Biasanya biaya yang membuat penampilan wayang Orang mahal adalah biaya sewa gamelan dan penabuh, biaya pakaian dan tata rias, serta penyediaan sound system yang masing-masing mencapai jutaan Rupiah.
ADVERTISEMENT
Mahalnya biaya untuk menyelenggarakan pementasan wayang Orang serta minimnya upah dari pekerjaan Pak Waluya membuat kesenian ini sulit berjalan di Desa Demakijo. Melihat keadaan wayang Orang yang seakan mati suri, Pak Waluya berharap agar paguyuban Retno Budaya lebih dilibatkan di berbagai acara budaya setempat seperti Gelar Budaya.
“Dengan harapan, dari Paguyuban Wayang Orang, pemerintah desa kalau ada Gelar Budaya diikutsertakan karena itu tradisi yang bersifat mendidik kedisiplinan—keagamaan bisa—kesosialan, bermasyarakat dengan adab dan sopan santun yang sangat baik sekali,” terang Pak Waluya.