Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Gaming Burnout, Nge-game pun Bisa Bikin Burnout
14 September 2022 15:22 WIB
Tulisan dari Dimas Ponco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Burnout ternyata bukan hanya karena sibuk nugas dan bekerja

ADVERTISEMENT
Bermain game sudah menjadi bentuk eskapisme bagi saya sejak kecil. Melalui game pula saya bisa berinteraksi atau terpaksa berinteraksi dengan penikmat game lainnya. Saat masih kecil, ada beberapa video game di playstation yang hanya bisa dinikmati dan diselesaikan dengan dua pemain. Saya kerap mengajak teman saya ke rumah sepulang sekolah untuk memainkan game yang dimaksud dengan ramah, walaupun ada kepentingan intrinsik untuk menyelesaikan game tadi di balik ajakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Beranjak dewasa, saya cenderung memilih permainan yang bisa dinikmati dan diselesaikan sepenuhnya dengan satu pemain. Saya sering kali hanyut dalam dunia fiksi yang dibangun oleh sang pengembang melalui game-nya. Hal ini pula yang membuat saya lebih tertarik dengan game yang fokus dan berat dalam pembangunan plot ceritanya, atau biasa disebut story-heavy games. Mungkin kalian akan memahami game yang saya maksud dari nama-nama game seperti Suikoden, Final Fantasy, Breath of Fire, Persona, dsb.
Menghayati story-heavy games memberikan kenikmatan tersendiri bagi saya hingga akhirnya saya mengalami kondisi di mana saya alih-alih mendapatkan rasa senang, justru merasa bosan dan muak ketika memainkan game. Hal ini terjadi ketika saya baru memasuki umur 23 tahun dan saya sempat berpikir bahwa ini merupakan bagian dari beranjak dewasa, seperti yang orang-orang kerap testimonikan ketika menginjak umur 20-an.
ADVERTISEMENT
Saat itu saya sedikit merasa bangga dan lega karena pada akhirnya saya bisa mengabaikan orang-orang yang melontarkan ejekan ke pemain dewasa yang menurut mereka harus berhenti melakukan aktivitas anak-anak. Di sisi lain, saya merasa khawatir dan bingung karena bermain game adalah eskapisme yang dapat membantu saya mengarungi permasalahan dunia nyata, dan menjadi pemain game dengan celotehan komplain di media sosial juga sudah melekat pada identitas saya.
Berkenalan dengan Gaming Burnout
Berdasarkan kekhawatiran tak penting tersebut akhirnya saya melakukan penyelaman ke forum-forum komunitas pemain game yang sedang memainkan game yang sama. Dari situ saya menemukan banyak dari mereka mengalami hal yang sama. Mereka secara kolektif menyetujui bahwa kondisi ini disebut gaming burnout, di mana penikmat game merasa bosan dan berakhir dengan menelantarkan gamenya untuk sementara waktu. Ada beberapa penulis dalam forum yang juga menyatakan bahwa ketika mengalami gaming burnout, mereka merasa tidak dapat menemukan game yang cocok untuk dinikmati. Pada akhirnya, game yang sudah mereka beli dengan harga yang tidak murah, tidak dapat membawakan rasa senang.
ADVERTISEMENT
Saya sering kali mengalami burnout yang dikarenakan pekerjaan atau sekolah. Gaming burnout menjadi sesuatu yang baru bagi saya. Saya tidak menyangka sebuah kegiatan bersenang-senang dapat menyebabkan kondisi yang biasa ditemui dalam hal yang lebih serius. Menurut Esports Healthcare, gaming burnout dapat dikarenakan oleh ekspektasi dan tekanan dari diri sendiri untuk mendapatkan pencapaian dalam bermain game seperti menyelesaikannya dengan sempurna, mencapai level tinggi, menemukan semua benda yang tersembunyi, dll. Hal ini menyebabkan main game mirip layaknya melaksanakan tugas atau tanggung jawab, bertolak belakang dengan tujuan bermain game sendiri.
Berteman dengan Gaming Burnout
Setelah saya menerima bahwa saya mengalami gaming burnout, sekonyol apa pun itu kedengarannya, saya mencari cara bagaimana saya dapat keluar dari kondisi ini dan merebut kembali eskapisme saya. Banyak yang menyarankan untuk rehat sejenak dari bermain game agar dapat menyalakan kembali ketertarikan saya pada game.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga yang menyarankan selagi beristirahat dari main game, coba berinteraksi dengan pemain game lainnya tentang game yang menyebabkan burnout tadi. Hal ini bisa merangsang rasa penasaran dari diri kita yang menarik kita kembali ke game tersebut. Para pemain game tadi juga mengatakan bahwa antusiasme itu bisa menular, jika kita berinteraksi dengan pemain yang antusias, kita juga akan ikut antusias kembali untuk menyelesaikan game yang kita tinggalkan.
Dari banyaknya cara untuk keluar dari gaming burnout, menurut saya perlu diingat juga bahwa untuk pemain yang menyenangi story-heavy games, gaming burnout tidak dapat dipungkiri. Hal ini disebabkan banyaknya aktivitas yang tanpa sadar harus dilakukan gamer dalam memainkan game dengan tipe tersebut, seperti membaca narasi, menyerap informasi, mengontrol karakter, membentuk strategi, dan menghayati dunianya secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, saya merasa berteman dengan burnout ini perlu dilakukan dengan cara menganggap kondisi ini sebagai alarm pengingat bahwa saya mungkin sudah melewati garis antara aktivitas bersenang-senang dan bertugas. Gaming burnout juga menjadi pengingat bahwa saya mungkin menghabiskan waktu terlalu banyak untuk bermain game sehingga menjadi terlalu serius, atau bahkan memakan waktu istirahat saya.
Walau demikian, apabila kondisi ini tak kunjung membaik dan terasa berat untuk diatasi sendiri, kamu tetap disarankan untuk menemui tenaga profesional. Pada akhirnya, gaming burnout juga merupakan permasalahan kesehatan. Jangan sampai keseruan bermain game mengantarkan kita ke masalah kesehatan baru.