Konten dari Pengguna

Surat yang Tak Pernah Terbaca

Meidiya Lestari NurIslami Mawaddhah
Mahasiswa Universitas Pamulang, Prodi Sastra Indonesia
24 Juni 2024 18:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meidiya Lestari NurIslami Mawaddhah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: dokumen Meidiya Lestari NurIslami Mawaddhah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: dokumen Meidiya Lestari NurIslami Mawaddhah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di sudut kota tua yang penuh kenangan, terdapat sebuah toko buku kecil bernama “Sudut Membaca”. Pemiliknya bernama Pak Dedy, seorang pria paruh baya yang ramah, selalu tersenyum menyambut setiap pengunjung dengan kehangatan. Di dalam toko itu, terhampar ratusan buku dari berbagai genre, namun ada satu buku yang selalu menarik perhatian, buku yang tidak pernah terjual.
ADVERTISEMENT
Pada suatu sore yang hangat, seorang remaja wanita bernama Riri memasuki toko. Wajahnya tampak lelah, namun memiliki mata cantik yang berbinar penuh harapan. Riri adalah penulis muda yang tengah mencari inspirasi untuk novel terbarunya. Ketika dia melihat buku itu, yang sampulnya berwarna merah marun dengan judul “Surat yang Tak Pernah Terbaca”, ia merasakan dorongan untuk membacanya.
“Apa cerita di balik buku ini, Pak?” tanya Riri penasaran.
Pak Dedy pun tersenyum dan berkata, “Itu buku istimewa, bukan sekedar untuk dijual. Dulu, pemilik toko ini, seorang wanita bernama Meidiana, ia menuliskan surat-surat untuk kekasihnya. Tapi surat-surat di dalamnya tidak pernah tersampaikan kepada kekasihnya dikarenakan kejadian malang yang telah menimpa kekasihnya.”
ADVERTISEMENT
Riri terdiam, terpaku oleh kisah singkat namun mengharukan itu. Dia membuka halaman pertama dan menemukan bahwa buku itu bukanlah novel biasa. Buku itu berisi surat-surat cinta dari Meidiana kepada seorang pria bernama Bumi. Dalam setiap surat, Meidiana mencurahkan seluruh perasaannya, menceritakan tentang hari-harinya tanpa Bumi, kerinduan yang terus menghimpit, dan harapan untuk dikehidupan selanjutnya mereka bisa bersama seperti apa yang sudah mereka rencanakan dahulu.
Hari demi hari, Riri kembali ke toko itu, membaca surat demi surat, hingga akhirnya dia mengetahui bahwa Bumi telah meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan sebelum sempat membaca satu pun dari surat-surat itu. Meidiana menulis surat-suratnya sebagai bentuk pelipur lara, namun tak pernah ada yang tahu di mana Bumi dimakamkan. Akhirnya, Meidiana meninggalkan kota dengan hati yang hancur, meninggalkan buku itu di toko.
ADVERTISEMENT
Riri, yang semakin terlibat dengan kisah ini, merasa terdorong untuk menyelesaikan apa yang dimulai oleh Meidiana. Dia memutuskan untuk mencari keberadaan makam Bumi. Setelah berminggu-minggu mencari dan bertanya, Riri menemukan makamnya di sebuah pemakaman tua di pinggiran kota. Dengan hati-hati, Riri meletakkan buku itu di atas nisan Bumi, dengan harapan bahwa surat-surat cinta Meidiana akhirnya bisa menemukan jalannya.
Ketika Riri kembali ke toko buku, Pak Dedy memberikannya sebuah surat yang ditemukan di antara rak buku, tertulis nama “Riri” di amplopnya. Dengan tangan bergetar, Riri membuka surat itu.
"Untuk Riri," bunyi surat itu, "Terima kasih telah menghubungkan cinta yang terpisah oleh . Aku percaya cintamu juga akan menemukan jalannya, seperti surat-suratku. – Meidiana."
ADVERTISEMENT
Dan di akhir suratnya Meidiana menuliskan bahwa dia akan selalu mencintai Bumi dan berharap suatu saat umi bisa mengetahui perasaan Meidiana yang sangat tulus kepadanya