Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perlindungan PMI vs Karpet Merah TKA: Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan RI
18 Agustus 2020 17:45 WIB
Tulisan dari Kurniasih Mufidayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jelang hari kemerdekaan, kita kembali dikejutkan dengan adanya laporan penderitaan yang dialami oleh pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di luar negeri. PMI yang bekerja di Kapal China Fu Li Qing Yuan Yu 901 menyampaikan pengaduan bahwa gajinya selama 7 bulan bekerja tidak dibayarkan. Dirinya juga tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam menyelesaikan hubungan kerja antara dia dengan pihak kapal. Kasus ini menambah daftar panjang penderitaan PMI Indonesia yang bekerja di kapal China setelah dua kasus sebelumnya tentang PMI yang meninggal di kapal dan jenazahnya dilarung ke laut maupun yang yang sakit dan tidak mendapatkan pengobatam. Ironisnya juga, belum ada tindakan yang signifikan dari pemerintah Indonesia terhadap kasus-kasus tersebut. Perlindungan dan pembelaan justru datang dari LSM di luar negeri
ADVERTISEMENT
Disisi lain, kontroversi terhadap derasnya arus masuk tenaga kerja asing khususnya dari China masih terus menjadi sorotan. Bahkan ditengah kondisi pandemi covid-19 yang dialami Indonesia, pekerja dari China yang menjadi pusat awal pandemi covid-19 masih berdatangan masuk ke beberapa daerah di Indonesia. Keberadaan rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja juga terus diikuti dengan penolakan yang sangat kuat dari kalangan pekerja. RUU Cipta Kerja dinilai akan semakin memperburuk nasib pekerja lokal, mempersempit kesempatan kerja bagi angkatan kerja di dalam negeri dan memberi karpet merah bagi pekerja asing.
Potret Buram Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Penderitaan dan tanpa pembelaan yang memadai yang dialami pekerja di kapal ikan China hanya satu jenis dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi PMI di luar negeri. Persoalan perlindungan PMI seperti benang panjang yang tiada ujung dan kusut karena seperti sulit mendapat jalan keluar. Sebagaimana catatan 100 hari kinerja kabinet jilid II ini, belum ada gebrakan yang signifikan yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan maupun BP2MI dalam memperbaiki persoalan pelik pekerja migran Indonesia ini. Dari mulai perlindungan atas pekerja migran yang lemah, pembenahan yang tidak menyentuh sisi hulu awal mula pekerja migran berproses, sampai dengan masalah pelayanan bagi pekerja migrai di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Payung hukum untuk memberikan perlindungan maksimal sebetulnya sudah ada dengan terbitnya UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang menggantikan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Makna perlindungan dalam UU No. 18 Tahun 2017 ini bahkan lebih diperkuat yaitu segala upaya untuk melindungi kepentingan calon PMI dan keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan haknya dalam keseluruhan kegiatan sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja dalam aspek hukum, ekonomi dan sosial. Sehingga perlindungan bukan hanya terhadap PMI sejak masih menjadi calon kemudian ketika sudah bekerja di luar negeri, bahkan setelah bekerja, namun juga terhadap keluarga PMI. Bandingkan dengan UU sebelumnya (UU No. 39 Tahun 2004) yang lebih menekankan pada pemberian perlindungan warga negara yang menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan di luar negeri agar memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun martabatnya. UU No. 18 Tahun 2017 bahkan memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah, termasuk dengan melibatkan pemerintah daerah serta mengurangi peran swasta dalam penempatan dan perlindungan PMI
ADVERTISEMENT
PMI yang dikirimkan ke luar negeri yang didominasi oleh pekerja di sektor domestik, berpendidikan rendah dan proses pengiriman dengan pengawasan pemerintah yang lemah membuat banyaknya kasus-kasus yang dialami PMI di luar negeri. Mulai dari penganiayaan, upah yang tidak dibayarkan, terlibat kasus hukum dengan ancaman hukuman sampai hukuman mati hingga permasalahan legalitas untuk tinggal dan bekerja (menjadi pekerja ilegal). Pada kasus PMI yang divonis hukuman mati, bahkan sampai terjadi eksekusi yang dilakukan tanpa ada pemberitahuan kepada pemerintah RI.
Lemahnya pengawasan pada saat keberangkatan untuk bekerja di luar negeri juga menyebabkan banyak PMI yang memiliki masalah legalitas mereka dalam bekerja. Seringkali kita mendengar informasi ratusan PMI yang bekerja di beberapa negara, bersembunyi atau terkatung-katung karena razia dokumen legaltitas keberadaan mereka untuk bekerja di negara tersebut. Pada massa pandemi bulan Mei lalu misalnya terdapat 421 PMI yang terjaring razia imigrasi Malaysia. Kejadian di razianya PMI di Malaysia bahkan hampir terjadi setiap tahun. Disisi lain, proses bagi para PMI untuk mengurus dokumen legalitas juga tidak mudah karena prosesnya yang cukup berbelit, memakan waktu dan melelahkan.
ADVERTISEMENT
Khusus di Malaysia, KBRI maupun KJRI yang berada di negara di mana paling banyak PMI bekerja ini sangat layak untuk dievaluasi kinerjanya dalam pelayanan dan perlindungan PMI. Pejabat berwenang di KBRI dan KJRI dinilai kurang memberikan perhatian, empati dan pembelaan terhadap permasalahan yang dihadapi pekerja di Malaysia. Padahal memberikan pembelaan dan perlindungan kepada pekerja migran seharusnya menjadi bagian tak perpisahkan dari kegiatan diplomasi para diplomat dan pekerja perwakilan Indonesia di luar negeri
Nasib PMI di Masa Pandemi
Belum lagi yang terjadi di masa pandemi covid-19 yang terjadi hampir di seluruh negara termasuk di negara-negara yang menjadi tujuan bekerja PMI. Tempat penampungan yang padat, lingkungan yang kurang sehat dan sirkulasi udara buruk, membuat para PMI sangat rentan tertular covid-19. Di Hongkong misalnya 20 hingga 30 orang tinggal bersama di apartemen seluas 29 M2, sementara beberapa apartemen tidak memiliki AC. Akibatnya beberapa PMI yang tinggal di asrama atau tempat penampungan terkonfirmasi positif covid-19. Pada saat awal-awal pandemi covid-19 yang lebih dulu masuk ke Jepang, Kotrea Selatan, Hongkong dan Malaysia, hampir tidak ada perhatian dan perhatian yang diberikan oleh pemerintah seperti misalnya pengiriman masker bagi para PMI. Inisiatif justru datang dari anggota DPR maupun lembaga kemanusiaan untuk melindungi PMI dari paparan covid-19 di tempat kerjanya.
ADVERTISEMENT
Laporan Badan Koordinasi Migran Asia menyebutkan beberapa PMI khususnya yang bekerja di sektor domestik di beberapa negara juga mendapat perlakukan yang tidak layak dan deskriminatif selama masa pandemi. Para PMI sering dicegat aparat keamanan di tempat umum selama masa-masa istirahat libur bekerja karena dianggap sebagai penyebar virus SARS Cov-2. Perlakuan deskriminatif dan tidak layak ini luput dari perhatian institusi yang seharusnya bertanggungjawab terhadap perlindungan pekerja migran.
Sementara jutaan PMI lain di Malaysia juga nasibnya memprihatinkan di masa pandemi ini. Dilakukannya pembatasan berbagai kegiatan teramsuk kegiatan ekonomi, industri dan perkebunan membuat banyak PMI yang tidak lagi bekerja dan tidak juga memperoleh penghasilan. Banyak yang kehilangan pekerjaan. Bantuan makanan sudah dihentikan. Banyak perusahaan yang tutup dan tidak memenuhi kewajiban membayar gaji sebelumnya. Akibatnya PMI dan keluarganya menghadapi kesulitan ekonomi bahkan sampai kelaparan. Sementara perhatian dari KBRI maupun institusi yang bertanggungjawab terhadap perlindungan PMI nyaris tidak ada.
ADVERTISEMENT
Pelonggaran Aturan Tenaga Kerja Asing
Berkebalikan dengan nasib pekerja migran Indonesia, para tenaga kerja asing (TKA) justru semakin terbuka untuk masuk ke Indonesia dengan adanya pelonggaran aturan. Pelonggaran dalam bentuk semakin dipermudahnya perijinan untuk bekerja di Indonesia dan semakin terbukanya sektor dan posisi-posisi yang bisa ditempati pekerja asing di Indonesia. Berbagai perjanjian ataupun kesepakatan ekonomi internasional yang diratifikasi Indonesia seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) juga turut berperan dalam membuka lebih derasnya arus TKA ke Indonesia, memanfaatkan skala ekonomi Indonesia yang besar dan sumberdaya alam Indonesia yang kaya.
Di sisi lain pengaturan tenaga kerja asing (TKA) juga masih belum cukup kuat yang menyebabkan masih banyak persoalan dengan keberadaan tenaga kerja asing ini. Dari mulai masuknya TKA illegal, data identitas yang tidak lengkap dan perijinan yang minim, sampai dengan konflik dengan pekerja lokal maupun masyarakat di sekitar lokasi mereka bekerja. TKA asal China yang deras masuk sejalan dengan banyaknya proyek infrastruktur yang dibiayai pinjaman China maupun investasi dari China yang paling banyak menimbulkan permasalahan.
ADVERTISEMENT
Pelonggaran bagi TKA ini diantaranya ditandai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu Yang Dapat Diduduki Oleh Tenaga Kerja Asing. Dalam aturan ini jabatan tertentu yang dapat diduduki oleh Tenaga Kerja Asing dibagi ke dalam 18 kategori, mulai dari Konstruksi; Real Estate; Pendidikan; Industri Pengolahan; Kesenian, Hiburan, dan Rekreasi; Aktivitas Keuangan dan Asuransi; Informasi dan Telekomunikasi; hingga Aktivitas Jasa Lainnya; dan Aktivitas Profesional, Ilmiah, dan Teknis. Hampir pada semua kategori, terdapat penambahan jumlah posisi jabatan yang bisa diisi oleh TKA. Untuk kategori konstruksi misalnya, ditentukan terdapat 181 jabatan yang bisa diisi oleh TKA, bahkan untuk tenaga survey dan topografer. Dalam kategori Pendidikan, terdapat 143 jabatan (dari sebelumnya 115) yang dapat diduduki oleh TKA termasuk untuk pustakawan dan guru.
ADVERTISEMENT
Akibat pelonggaran ini, arus masuknya TKA di Indonesia menjadi semakin deras. Di Jawa Tengah saja misalnya, pada awal 2019 telah masuk 14.736 TKA, bahkan untuk jabatan komisaris pabrik. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan TKA yang masuk tahun 2020 mencapai 98.902 orang yang didominasi TK asal China sebanyak 35.781 orang (36,7%). Bahkan pada masa pandemi, 500 TKA asal China masuk ke Sulawesi Tenggara yang merupakan gelombang keempat dari TKA China yang masuk ke propinsi ini. Meskipun awalnya ditolak oleh masyarakat maupun pemerintah daerah, namun akhirnya pemerintah daerah menerima masuknya TKA asal China ini meskipun dokumen Rencana Penggunaan TKA (RPTKA) masih belum jelas. Membanjirnya TKA ini tentu saja membuat tenaga kerja lokal semakin terdesak ditengah kesempatan kerja yang juga semakin kecil.
ADVERTISEMENT
Ancaman derasnya arus TKA semakin menguat dengan diajukannya RUU Cipta Kerja yang merupakan omnibus law dan akan menghapus atau mengubah beberapa pasal dalam beberapa UU yang sudah ada sebelumnya. RUU Cipta Kerja ini seolah menjadi karpet merah bagi masuknya TKA karena akan mempermudah birokrasi perizinan TKA. Aturan ini menjadi semacam ketersambungan dari Kepmenaker No. 228 Tahun 2019 yang telah memperluas bidang dan posisi yang bisa ditempati oleh TKA. Padal 89 RUU Cipta Kerja telah mengubah dan menghapus beberapa ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan dalam RUU Cipta Kerja ini juga memungkinkan pekerja kasar juga bisa diisi oleh TKA.
Tidak hanya kemudahan bagi masuknya tenaga kerja asing, serangkaian regulasi yang dibuat dalam beberapa tahun terakhir, termasuk yang diusulkan dalam RUU Cipta Kerja ini memberi peluang bagi pihak asing untuk mengelola sumberdaya alam yang berlimpah di negeri ini. Setelah sekian lama sumberdaya alam Indonesia berupa minyak dan gas bumi, logam, mineral dikelola melalui mekanisme kerjasama dengan perusahaan asing, peningkatan kemampuan Indonesia dalam mengelola kekayaan alam tersebut, tidak membuat kita mengoptimalkan kemampuan sendiri. UU Minerba yang baru disahkan dan RUU Cipta Kerja semakin memperburuk pengelolaan sumberdaya alam Indonesia yang hasilnya semakin tidak dirasakaan oleh rakyat. Kedua regulasi ini akan semakin memperkuat cengkraman raksasa industri pertambangan dan membuat kerusakan alam di bumi Indonesia semakin parah, sementara rakyat banyak tidak mendapatkan apa-apa. Potensi korupsi dari perselingkuhan antara pemegang kebijakan publik dengan pelaku bisnis pertambangan melalui praktrek korupsi dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dilegalkan oleh negara melalui kedua regulasi ini.
ADVERTISEMENT
Menjadi sangat ironi di usia Indonesia yang sudah memasuki 3/4 abad ketika kebijakan ketenagakerjaan menjadi kontradiktif. Di satu sisi kita kurang memberikan perhatian dan perlindungan kepada PMI dan disajikan berbagai kondisi PMI yang memprihatinkan di berabagai negara seperti dirazia, kelaparan, terjerat kasus hukum tanpa pembelaan yang memadai. Sementara disisi lain, kita semakin memberikan kemudahan bagi TKA untuk masuk dan bekerja di Indonesia, padahal pengangguran di Indonesia juga masih terbilang tinggi serta kesempatan kerja di sektor formal semakin sempit. Kalaupun angka pengangguran dinyatakan rendah, sesungguhnya mereka yang dihitung bekerja, mayoritas bekerja di sektor informal dengan penghassilan yang minim dan jam kerja yang rendah.
Kita masih harus terus memperbaiki perlindungan dan tata kelola bagi pekerja migran. Semua perangkat hukum untuk melindungi PMI seperti UU No. 18 Tahun 2017, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Permenlu No. 5 Tahun 2018 tentang Perlindungan WNI di luar negeri dan Permenaker No.8 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia harus digunakan secara optimal dan menjadi mandat bagi institusi yang terkait dengan PMI untuk memberikan perlindungan dan pembelaan maksimal bagi PMI. Sebaliknya kita juga perlu mengkaji kembali ketentuan bagi TKA dalam RUU Cipta Kerja dan menolak aturan yang akan semakin mempermudah masuknya TKA ke Indonesia . Apalagi pengawasan atas masuknya TKA ke Indonesia juga masih lemah. Bahkan data tentang jumlah TKA pun masih simpang siur. Tak cukup hanya itu, karpet merah bagi investasi asing dalam mengelola sumberdaya alam Indonesia yang disertai dengan tenaga kerja yang mereka bawa melalui RUU Cipta Kerja dan UU Minerba membuat sumberdaya alam kita bahkan tidak banyak dinikmati rakyat banyak di sekitar lokasi sumberdaya alam. Negeri ini sudah 75 tahun merdeka. Maka para penduduk dan pekerja negeri ini harus menjadi pihak yang paling menikmati kekayaan negeri ini dan perlindungan atas dirinya, sebagaimana amanat konstitusi untuk dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteran umum.
ADVERTISEMENT