Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tantangan Ketahanan Keluarga Di Masa Pandemi Covid-19
29 Juni 2020 12:00 WIB
Tulisan dari Kurniasih Mufidayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi covid-19 yang melanda dunia sejak Januari 2020 dan Indonesia sejak Maret 2020 telah memberikan dampak yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Wabah penyakit menular ini tidak hanya mengancam keselamatan jiwa, menimbulkan dampak ekonomi yang dahsyat karena memaksa orang mengurangi drastis aktivitas luar dan interaksi antar orang, namun juga mengubah banyak tatanan kehidupan dan kebiasaan hidup. Untuk mencegah perluasan penularan covuid-19, poergerakan orang antar negara, antara pulau bahkan antar daerah sangat dibatasi. Beberapa negara bahkan mengambil kebijakan menghentikan penerbangan dan pelayaran dari dan keluar negaranya, atau bahkan menutup kedatangan melalui berbagai pintu masuk yang mungkin.
ADVERTISEMENT
Pandemi dan perubahan prilaku sosial masyarakat
Pembatasan fisik dan sosial yang harus dilakukan diantara manusia untuk mencegah penularan covid-19 menyebabkan berbagai aktivitas harus dikurangi signifikan, bahkan dihentikan. Pembelajaran di sekolah ditiadakan dan anak-anak belajar di rumah. Aktivitas bekerja sebagian besar juga dilakukan di rumah karena tempat bekerja yang ditutup. Demikian juga berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan termasuk peribadatan di rumah-rumah ibadah untuk sementara waktu ditiadakan dan dipindah ke rumah masing-masing. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk memutus mata rantai penularan covid-19. Warga masyarakat dihimbau untuk tetaop di rumah saja dan tidak keluar rumah kecuali untuk hal yang sangat penting, serta terus melakukan berabagai kebiasaan pola hidup bersih dan sehat.
Bagi sebuah keluarga, berbagai pembatasan aktivitas di luar rumah ini menyebabkan anggota keluarga menjadi lebih sering berkumpul, bahkan bisa sepanjang hari. Berkumpul bersama di rumah dan melakukan berbagai aktivitas dari rumah bersama keluarga juga berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu bahkan sampai lebih dari satu bulan. Antar anggota keluarga yang biasanya hanya punya waktu sedikut untuk berkumpul bersama di rumah karena ayah yang lebih banyak waktunya di tempat kerja, bahkan ibu ada juga yang bekerja, anak-anak di sekolah dan sebagainya, kini menjadi lebih banyak waktu bersama di rumah. Dari mulai melakukan ibadah di shubuh hari secara bersama-sama, sarapan pagi, makan siang sampai dengan berkumpul menjelang tidur juga bersama-sama di rumah.
ADVERTISEMENT
Secara logika, lebih banyaknya waktu bersama keluarga di rumah seharusnya membuat hubungan antar anggota keluarga juga akan menjadi lebih baik. Melakukan aktivitas bersama dan dialog antar anggota keluarga yang lebih intens membuat hubungan dalam keluarga lebih harmonis dan saling menguatkan. Sehingga hal ini akan berdampak pada ketahanan keluarga dan perkembangan psikologis dari masing-masing anggota keluarga. Orangtua terutama ayah yang sebelumnya jarang punya waktu untuk berbicara, berdiskusi dan mendengarkan cerita anaknya, sekarang menjadi lebih banyak punya waktu untuk hal-hal tersebut. Sehingga lebih mengenal dan memahami hal-hal yang dihadapi anaknya.
#DiRumahAja dan Dampaknya bagi Keluarga
Hari-hari pertama himbauan untuk tetap di rumah saja dan menjalankan berbagai kegiatan di rumah memang diwarnai dengan berbagai ungkapan kebahagiaan. Jagat sosial media dipenuhi dengan ungkapan dan gambar tentang kebersamaan keluarga dan menikmati berbagai aktivitas bersama keluarga di rumah. Sesuatu yang selama ini bagi sebagian keluarga sult diwujudkan. Mulai dari menjalankan ibadah bersama di rumah, sarapan pagi bersama, sampai makan malam dan obrolan bersama keluarga menjelang tidur. Biasanya kadang kepala keluarga harus menuju ke tempat kerja bahkan sebelum matahari terbit. Sebagian lagi baru pulang ke rumah setelah sebagian besar anggota keluarga terlelap tidur. Sehingga momen kebersamaan keluarga terpupuk dengan baik untuk mengukuhkan ikatan anggota keluarga.
ADVERTISEMENT
Namun seiring berjalan waktu, kejenuhan mulai melanda ketika harus berlama-lama di rumah. Belum lagi beban ekonomi yang mulai meningkat akibat penghasilan yang menurun drastis pada sebagian keluarga, atau bahkan kehilangan sama- sekali penghasilan ketika kegiatan mencari nafkah hariannya terhenti. Tekanan ekonomi keluarga kemudian berdampak pada tekanan psikis pada kedua orang tua yaitu kepala keluarga sebagai pencari nafkah dan ibu sebagai pengatur keuangan rumah tangga keluarga. Tekanan psikis ini kemudian memberikan ancaman kepada ketahanan keluarga karena letupan emosi yang mudah muncul.
Survei yang dilakukan BKKBN selama masa pendemi covid-19 di Jawa dan Sumatera menunjukkan hampir 95% keluarga mengalami stress akibat pandemi dan berbagai pembatasan yang diberlakukan. Sumber stress berasal dari dua hal. Pertama adalah kekhawatiran dirinya tertular covid-19 bahkan sampai tingkatan yang berlebihan. Merasa sedikit aja sakit atau demam dan batuk, sudag mengasosiasikan dirinya tertular covid-19. Sebagian sudah pada tingkatan paranoid. Kedua adalah dampak ekonomi yang timbul akibat pandemi yang menyebabkan sebagian keluarga menurun penghasilan drastis akibat kehilangan pekerjaan atau dibatasi aktivitas ekonominya. Hasil survey tersebut menunjukkan masyarakat yang stres, sedih, cemas, sulit tidur, memengaruhi nafsu makan, menimbulkan rasa putus asa, hingga ada yang punya pikiran bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Sementara data swaperiksa yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia yang dirilis akhir April menemukan bahwa sebanyak 63 responden mengalami rasa cemas, berpikir sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir berlebihan (ansietas) mudah marah dan sulit bersantai. Selain itu, ada 66 responden yang juga mengaku merasa depresi dan 80% responden mengaku mengalami gejala stress pasctrauma psikologis. Kondisi ini menunjukkan adanya guncangan terhadap ketahanan psikologis dan ketahanan sosial di masyarakat selama masa pandemi ini. Situasi ini berpotensi menimbulkan dampak kepada ketahanan keluarga, terutama jika guncangan psikis itu dialami orangtua yang seharusnya menjadi pembimbing dalam masa kebersamaan keluarga akibat pandemi. Survey yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Mercubuana juga menemukan bahwa kondisi ketahanan psikis dan ketahanan keluarga di DKI Jakarta yang merupakan episentrum covid-19 berada dalam kondisi yang lebih rendah dibanding Banten dan Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dari 1 Janurai sampai 12 Mei 2020 juga telah menerima laporan 1201 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1526 kasus kekerasan terhadap anak. Namun tren laporan kekerasan terhadap perempuan dan terhadap anak menunjukkan penurunan selama masa PSBB. Namun pantauan telekonseling oleh sejumlah psikolog maupun pantauan psikolog puskesmas langsung ke masyarakat, ditemukan adanya beragam masalah keluarga dari yang ringan sampai yang berat selama masa pandemi ini. Trend kecemasan dan stress juga terjadi secara global. WHO menyebutkan stres dan kecemasan akibat pembatasan kehidupan sosial menjadikan ketidakpastian, pemisahan, dan ketakutan. Laporan kenaikan KDRT juga terjadi di Belgia, Bulgaria, Perancis, Irlandia, Rusia, Spanyol, dan Inggris. Bahkan Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) memperkirakan akan ada 31 juta kasus kekerasan domestik di dunia jika karantina wilayah berlangsung hingga enam bulan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pembatasan sosial yang diikuti dengan kebijakan bekerja dan belajar di rumah bagi karyawan dan pelajar membuat aktivitas seluruhnya terpusat di rumah. Akibatnya sikap anggota keluarga yang selama ini kurang mendapat perhatian menjadi lebih terlihat. Dalam beberapa hal, jika tidak diikuti dengan komunikasi yang baik, hal ini akan rentan memicu perselisihan antar anggota keluarga. Seperti adagiom, jika jauh saling merindukan, saat dekat justru sering bertengkar. Masalah yang ringan bisa mudah terpicu menjadi pertengkaran yang besar di keluarga. Kondisi semakin rentan pada keluarga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, khususnya yang tinggal di pemukiman padat. Berlama-lama di rumah yang sempit dengan banyak anggota keluarga dan lingkungan yang padat, membuat tingkat stress yang timbul juga lebih tinggi. Apalagi beban ekonomi juga lebih berat dirasakan keluarga kelas menengah ke bawah ini.
ADVERTISEMENT
Bahkan tinggal berlama-lama di rumah juga memberikan tekanan psikis pada anak-anak. Terbatasnya gerak aktif dan aktivitas anak-anam membuat energinya tidak tersalurkan dan mengalami kebosanan yang tinggi. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan lembaganya menerima banyak pengaduan sepanjang 16 Maret sampai 13 Mei. Pengaduannya meliputi 259 pengajuan pembelajaran jarak jauh dan 42 pengaduan terkait keluarga dan pengasuhan alternatif selama masa pandemi.
Mengelola Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi
Tantangan yang cukup berat bagi ketahanan keluarga akibat pembatasan sosial dan dampak ekonomi yang muncul dari pandemi covid-19 ini membuat persoalan ketahanan keluarga di masa pandemi harus mendapat perhatian serius semua pihak. Keluarga dan berbagai elemen masyarakat harus menciptakan situasi yang kondusif untuk mengurangi tekanan psikis dan sosial terhadap keluarga akibat pandemi ini. Lingkungan akan memainkan peranan penting untuk mendukung munculnya kemampuan mengelola ketahanan keluarga di masa pandemi Covid-19 ini.
ADVERTISEMENT
Ketahanan Keluarga adalah kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non fisik dan mengelola masalah yang dihadapi, untuk mencapai tujuan yaitu keluarga berkualitas dan tangguh. Mengelola ketahanan keluarga di masa pandemi bisa dimulai dengan membangun ketahanan lingkungan masyarakat karena masyarakat sekitar (tetangga) adalah lingkungan eksternal yang terdekat dengan keluarga. Ketahanan masyarakat ditandai dengan kuatnya kerukunan dan solidaritas serta antar keluarga di masyarakat tersebut. Semangat gotong-royong yang kuat akan sangat membantu unsur keluarga di dalamnya untuk mampu bertahan dari berbagai tekanan akibat pandemi covid-19 ini. Ketika ada satu anggota masyarakat yang terpapar covid-19, maka anggota masyarakat lainnya saling bahu-membanhu memberikan semangat dan membantu keluarga yang anggotanya terpapar covid-19 itu atau harus menjalani isolasi dan karantina. Dengan demikian keluarga tersebut tidak merasa sendiri dalam menghadapi ujian tersebut.
ADVERTISEMENT
Demikian pula ketika ada sebagian warga masyarakat yang terdampak ekonomi cukup berat akibat pandemi covid-19, maka warga masyarakat lainnya yang tidak terdampak, bisa bergotong-royong untuk membantu keluarga yang terdampak ekonomi. Pandemi yang dialami sebuah lingkungan masyarakat juga menjadi ajang agar anggota masyarakat untuk lebih mengenal satu sama lain. Unsur pemerintahan, akademisi maupun non pemerintah perlu terlibat memberikan bimbingan dalam mengarahkan masyarakat dalam membangun kesadaran saling mengenal dan memahami kondisi antar masyarakat serta membangun solidaritas yang lebih kuat dalam menghadapi pandemi. Perguruan tinggi dan fasilitas kesehatan misalnya bisa menyediakan telekonseling bagi keluarga yang membutuhkan konsultasi terkait permasalahan keluarga yang muncul akibat wabah covid-19.
Selanjutnya saling memahami ini juga harus terjadi diantara individu dalam satu keluarga. Dalam masa-masa bersama keluarga di rumah yang cukup panjang, menjadi penting untuk memperbaiki dinamika keluarga dari yang semula jarang berkumpul menjadi hampir setiap saat berkumpul dalam waktu yang lama, sampai dilanda kejenuhan. Memanfaatkan momen ini untuk lebih saling mengenal antar anggota keluarga, memahami kebiasaannya dan menyikapi dengan bijak permasalahan yang ada diantara anggota keluarga, mengelola diri sendiri dalam menyikapi anggota keluarga yang lain serta mengelola hubungan dengan anggota keluarga yang lain.
ADVERTISEMENT
Memasuki masa yang disebut dengan norma baru dimana prilaku kita harus bisa beradaptasi dengan kebiasaan baru untuk mencegah penularan covid-19 namun bisa mulai beraktivitas lagi, maka menjadi penting untuk memulihkan kembali dan memperkuat ketahanan keluarga. Mengutip apa yang disampaikan Guru Besar IPB Prof. Euis Sunarti, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menguatkan ketahanan keluarga dimasa ini. Diantaranya adalah menyegarkan kembali sekaligus reorientasi nilai, tujuan, makna dan ikatan keluarga serta meningkatkan fungsi agama dan pribadi religius yang disertai dengan ketaatan dan kepatuhan menjalankan ajaran agama. Selain itu juga harus meningkatkan komunikasi dan interaksi di dalam keluarga, mendorong ekspresi saling peduli, menjaga dan melindungi keluarga.
Keluarga juga perlu untuk mengatur ulang pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya (waktu, finansial, pengetahuan, keterampilan, energi perhatian yang disesuaikan dengan fokus agar tetap selamat dari paparan covid-19. Termasuk dalam hal ini adalah mengalokasikan waktu secara khusus bersama-sama untuk berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuh dan saling mengingatkan mengkonsumsi makanan yang bergisi tanpa harus mahal. Secara bersama-sama, keluarga juga harus mampu memprediksi dan mengenali tekanan-tekanan dan masalah yang muncul akibat perubahan kebiasaan dan mengelolanya serta menanggulanginya secara bijaksana. Keluarga juga perlu menjadi bagian yang aktif di masyarakat dalam upaya saling membantu mencegah penyebaran covid-19 serta meringankan beban mereka yang menjadi korban langsung maupun terdampak ekonomi. Semoga kita mampu melewati masa-masa yang masih sulit ini dengan tetap memperkuat ketahanan keluarga.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Keluarga Nasional 2020.