news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Memandang Tradisi "Rengghaan" Desa Pulau Mandangin

Konten Media Partner
1 Februari 2020 9:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Memandang Tradisi "Rengghaan" Desa Pulau Mandangin
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Oleh: Holikin, S.Pd.I
Sebagai pulau berbudaya, tanah Pulau Mandangin menyimpan tradisi luhur yang tak lentur hingga turun temurun berabad-abad lamanya. Adat istiadat yang lahir dari nenek moyang perlu kiranya untuk dilestarikan. Tak pelak, bermacam upaya dilakukan agar tradisi-tradisi tersebut terus abadi dan tak pernah mati dimakan zaman. Ada satu tradisi yang hingga kini masyarakat Pulau Mandangin menganggapnya hal yang paling sakral. Tradisi tersebut bernama “Rengghaan”.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang tahu kapan tradisi tersebut mulai diadakan di Desa Pulau Mandangin, Sampang. Menurut penuturan para sesepuh masyarakat Pulau Mandangin, tradisi tersebut sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Tradisi Rengghaan tersebut sebuah khasanah kekayaan lokal sebagai tanda akan masyarakat yang mencintai alam dan wujud dari rasa syukur atas berkah Sang Pencipta berikan terhadap kemakmuran laut.
Rengghaan merupakan pesta rakyat atau tradisi selamatan desa (rokat dhisa), yang puncaknya melepaskan “jhitek” (petik laut) ke tengah laut. Rengghaan sendiri sebuah istilah yang barangkali hanya digunakan oleh masyarakat Pulau Mandangin. Daerah pesisir Pulau Madura lainnya, menyebutnya Rokat Dhisa (selamatan desa).
Tradisi Rengghaan yang dihelat di Desa Pulau Mandangin prosesi yang paling utama adalah melepaskan petik laut. Petik laut biasanya berupa sampan kecil yang terbuat dari bambu. Kadang bentuknya menyerupai sampan, ikan, rumah-rumahan dan sebagainya. Di dalamnya biasanya berisi bermacam-macam buah-buahan, makanan, lembaran uang, perhiasan, dan yang paling pokok adalah kepala sapi.
ADVERTISEMENT
Perayaan ini diadakan oleh pemerintahan desa. Sementara pelaksanaannya tidak menentu, kadang setahun sekali, dua tahun sekali sampai pada empat atau lima tahun sekali. Pelaksanaanya dilakukan selama sepekan.
Masyarakat Desa Pulau Mandangin gegap gempita menyambut rokat ini. Seperti ada yang mengomando mereka mengadakan pasar malam dengan berjualan aneka kebutuhan. Bersamaan dengan perayaan tersebut, pada malam harinya masyarakat disuguhi hiburan “ronnang” (drama ludruk) yang biasanya didatangkan dari luar. Ronnang hanya ada dua atau tiga malam sebelum hari pelepasan jhiték (petik laut).
Sebelum jhiték dilepaskan, jhiték diarak dengan diringi tembang-tembang langgam Madura (kejhung). Sebelumnya, kepala desa bersama camat atau bupati menggunting pita sebuah tanda bahwa jhitek resmi dilepaskan. Perahu-perahu kecil milik masyarakat turut serta mengiringi pelepasan jhitek. Beberapa dari mereka mengambil air laut sekitar jhitek untuk mereka guyurkan ke badan perahu-perahu mereka. Menurut kepercayaan mereka, air laut itu memiliki kekuatan mistis. Konon berkhasiat untuk memberi keselamatan dan solo' (hasil yang melimpah) pada perahu-perahu mereka.
ADVERTISEMENT
Pada sebenarnya, perayaan rokat desa ini merupakan sebuah tradisi yang ada di kawasan yang memiliki kultur budaya dan kepercayaan pada makhluk halus (animisme). Biasanya ada di kawasan pesisir, tak hanya di Pulau Mandangin. Di masa-masa awal demikian ini juga terjadi di desa Pulau Mandangin. Tak ayal jika selalu dikait-kaitkan dengan makhluk astral, ratu penghuni laut. Maka, sebuah kalimat “Kan laép apa, jhâ’ tase' tak esellameddhi… (terjadi paceklik, dikarenakan laut tidak diberi sesajen)" sering didengar.
Namun, di tengah tradisi sakral Rengghâân ini, terjadi berbincangan panas khususnya di kalangan santri masyarakat Pulau Mandangin. Pulau Mandangin sebagai pulau dihuni mayoritas santri, semua hal yang memiliki kaitan dengan orang banyak kadang dilakukan di bawah “kesantrian”, termasuk pada soal tradisi. Maka, tradisi Rengghâân sedikit mengalami pola perubahan (reformulasi). Meski begitu, ia tetap pada format semula hanya beberapa hal yang menyangkut teknis sedikit berubah.
ADVERTISEMENT
Perbincangannya terfokus pada seputar kesesuaiannya dengan hukum syara’. Di mata hukum syara’ (hukum Islam) tradisi Rengghaan terdapat ketidaksesuaian, yaitu mirip dengan tradisi-tradisi di luar Islam (tasyabbuh), ada bumbu-bumbu kemusyrikan (syirik), dan aktifitas membuang makanan (mubadzir). Tentu, sebagai masyarakat religius, penduduk Pulau Mandangin tidak mengabaikan hal itu.
Untuk mensiasati agar tidak jatuh pada perilaku yang menyimpang tersebut, pemerintahan desa bersama para tokoh desa Pulau Mandangin mengadakan urung rembuk bersama guna mencari solusi. Agar rokat desa berjalan sebagaimana adanya, namun dengan semangat baru yang tidak keluar dari batas-batas yang syari'at tetapkan.
Pertama, dimulai dari perubahan mindset. Tujuan diadakan rokat desa (selamatan desa) pada sebenarnya meminta kepada Sang Pencipta, Allah Swt agar diberi keberkahan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Kedua, diadakan majelis-majelis dzikir, pembacaan Al-Qur’an, termasuk juga jhitek diiringi musik rebana (shalawatan) dan tembang-tembang langgam Madura (kejhung) hanya dinyanyikan di darat (tepi pantai). Ketiga, jhiték diberi sepanduk bertuliskan “Sedekah dari Masyarakat Pulau Mandangin”. Kemudian pihak pemerintah desa Pulau Mandangin menghubungi desa-desa kawasan pesisir di kawasan Madura untuk mengambil isi jhiték agar tidak terbuang sia-sia.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, semarak rokat dhisa "Rengghaan" yang ada di Desa Pulau Mandangin ini menjadi destinasi wisata yang tak terjamah. Jarang sekali dilakukan sebuah kampanye menjual kearifan lokal ini ke kancah nasional, apalagi internasional. Sehingga keberadaannya sebatas destinasi wisata yang konsumennya hanya penduduk setempat.
Semoga ke depannya tradisi “Rengghaan” yang ada di desa Pulau Mandangin ini tak hanya menguras banyak dana, namun juga mendatangkan banyak pundi-pundi dana sebagai kas desa yang nantinya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat yang dampaknya mampu memberikan manfaat yang besar, khususnya bagi kaum tak berada. Akhirnya, Rengghaan benar-benar menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun manca negara yang mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan bersama.
(Naskah ini merupakan tulisan pengembangan dan ditulis untuk menyambut Rokat Dhisa Pulau Mandangin 2019)
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah alumni PP. Hidayatus Salafiyah, Pramian Srereh dan Guru di UPTD SDN Pulau Mandangin 6. Kini ia sedang menunggu buku ketiganya bertajuk "Narasi Cinta" rilis.