Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Patriarki: Ketika Budaya Membatasi Potensi Gender
11 November 2024 17:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Medina Niya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai aspek kehidupan, patriarki telah menjadi salah satu sistem yang paling dominan sepanjang sejarah manusia. Sistem yang di mana laki-laki memegang kekuasaan tertinggi dan mendominasi politik, otoritas sosial, dan penguasaan properti. Pada saat ini, budaya tampaknya menjadi budaya yang agak sulit untuk dihilangkan. Sistem patriarki ini membudaya dan seolah-olah melekat pada sebagian besar masyarakat Indonesia karena pendidikan yang buruk dan pemikiran yang kurang terbuka. Budaya patriarki juga semakin umum dan dianggap normal di masyarakat. Hal ini akan memojokkan perempuan dan menyebabkan banyak nya diskriminasi terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Dalam rumah tangga yang dipengaruhi oleh patriarki, perempuan seringkali diharapkan mengurus rumah tangga, merawat anak, dan melayani suami, sementara laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama. Ini dapat menimbulkan beban ganda bagi perempuan, karena mereka harus memikul tanggung jawab domestik sekaligus bekerja di luar rumah. Selain itu, laki-laki biasanya membuat keputusan dalam rumah tangga, sehingga perempuan kurang memiliki suara dan otonomi untuk menentukan jalan kehidupan keluarga mereka. Dan banyak dari beberapa keluarga lebih mementingkan pendidikan anak laki-laki karena diharapkan menjadi tulang punggung keluarga, sementara anak perempuan disiapkan untuk menikah di usia muda, dengan pendidikan sebatas menengah dianggap cukup untuk peran mereka di masa depan.
Badan Pusat Statistika (BPS) merilis indeks ketimpangan gender pada tahun 2022 (0,648) indeks ini mengalami penurunan dari tahun 2021 (0,563). Madiana sebagai ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) menjelaskan bahwa budaya patriarki di Nusa Tenggara Barat masih cukup kental dan perempuan masih dianggap dibawah laki – laki.
ADVERTISEMENT
Menurut data BPS, tingkat pernikahan anak di Nusa Tenggara Barat adalah yang tertinggi di Indonesia. Ini meningkatkan stigma bahwa perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan tinggi karena mereka akan bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga.
Selain itu, perdebatan tentang "kodrat perempuan" sering muncul di media sosial. Banyak orang berpikir bahwa perempuan yang terlalu mengejar karir atau pendidikan tinggi akan sulit menjalankan rumah tangga. Tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi sulit untuk masuk ke jenjang serius dalam kehidupan profesional. Ini meningkatkan stigma tentang norma patriarki, terlihat dalam dunia kerja perempuan yang lebih mementingkan karir dan pendidikan mereka. Perempuan yang memilih untuk fokus pada karir mereka daripada keluarga sering dianggap kurang "feminim" atau dianggap diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi landasan fundamental bagi upaya mewujudkan kesetaraan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di Indonesia. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap manusia, tanpa memandang jenis kelaminnya, memiliki kedudukan yang sama dan harus diperlakukan secara adil serta dihargai martabatnya. Dalam konteks relasi gender, sila ini menuntut agar tidak ada lagi diskriminasi atau perlakuan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Baik hak maupun kewajiban harus didistribusikan secara seimbang, tanpa membebankan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat pada salah satu pihak. Misalnya, perempuan harus memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, pekerjaan, politik, dan pengambilan keputusan. Sebaliknya, laki-laki juga harus terlibat aktif dalam pekerjaan domestik dan pengasuhan anak.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa dampak negatif patriaki
1. Ketidaksetaraan gender : Perempuan sering kali tidak diberi kesempatan yang sama untuk berkembang karena patriarki sering menciptakan kesenjangan yang signifikan dalam akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan.
2. Pembatasaan pemilihan hidup : Perempuan sering kali dihadapkan pada tekanan untuk memenuhi peran tradisional, yang dapat membatasi ambisi dan pilihan hidup mereka.
3. Kekerasaan terhadap perempuan : Banyak nya kasus kekerasan domestik dan seksual disebabkan oleh sistem patriarki. Adat istiadat yang menganggap laki-laki mengontrol perempuan membuat banyak orang merasa terjebak dalam situasi berbahaya.
Untuk mengatasi isu patriarki dalam rumah tangga, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat, dan individu. Langkah-langkah penting yang telah diambil, termasuk sosialisasi kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan pembentukan kebijakan yang mendukung kesetaraan dalam rumah tangga. Selain itu, perubahan mindset dan perilaku dalam keluarga juga sangat diperlukan, agar tercipta lingkungan yang lebih adil dan setara bagi semua anggota keluarga.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, Pandangan perempuan tentang patriarki mencerminkan berbagai macam pengalaman dan harapan yang dimiliki perempuan. Suara perempuan sangat penting dalam perjuangan melawan patriarki, mulai dari kesadaran akan ketidakadilan hingga upaya untuk membawa perubahan. Perempuan dapat terus berjuang untuk dunia yang lebih adil dan setara dengan meningkatkan kesadaran dan pendidikan generasi mendatang. Dukungan kolektif dan percakapan yang terbuka akan menjadi kunci dalam mengatasi masalah ini.