Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Selendang Merah
20 Oktober 2022 11:25 WIB
Tulisan dari Mega Sri Rahmah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Besok adalah hari kamis dimana sekolahku melaksanakan Kamis Nyunda¹, para siswa perempuannya diwajibkan memakai selendang atau dalam bahasa Sundanya adalah Karembong² sedangkan siswa laki-laki diwajibkan memakai iket³.
ADVERTISEMENT
“Mbi⁴, selendangku mana ya?” Tanyaku pada nenek
“Selendang yang mana? emangnya buat apa bawa selendang ke sekolah?” Nenek menghampiriku dengan raut wajah kesal.
“Yang biru itu lho, coraknya bergaris putih, Mbi.” Aku mengacak-acak lemari dengan kesal. “Soalnya selendangnya mau dipakai buat Kamis Nyunda, Mbi.”
“Pakai saja yang ada, jangan dibuat pusing, kan banyak itu!” Nenek menunjuk pada tumpukan selendang yang ada di lemari.
Aku memang memiliki banyak selendang karena nenekku suka memakainya waktu beliau masih muda dan ketika kecil aku sangat menyukai permainan peran seperti putri dan ratu dimana kedua perannya selalu memakai selendang panjang yang membuatku merasa cantik. Lamunanku buyar tatkala aku sadar telah mengacak-acak lemariku dan membiarkan kamarku bagai kapal pecah.
ADVERTISEMENT
“Ah, padahal kan aku ingin terlihat cantik didepan Ardi dengan memakai selendang biru,” gumamku kecewa.
Misi pencarian selendang ini melelahkan sehingga aku menyerah dan menyetujui saran nenek untuk memakai selendang lain, mataku memilah-milah warna dari tumpukan selendang yang berceceran dan aku tertuju pada sebuah selendang merah yang indah. Warnanya merah terang dihiasi dengan corak ikan berwarna keemasan yang menambah kesan elegan dan tradisional.
“Nah, ini dia, selendang yang pernah ku pakai beberapa kalai saat bermain putri dan ratu,” ucapku dengan gembira, “eh, tapi, aku baru melihatnya lagi setelah bertahun-tahun selendang ini hilang, apa jangan-jangan aku yang lupa menaruhnya? Ah, sudahlah, aku akan pakai selendang ini pokoknya.”
Keesokan harinya, aku bersemangat pergi ke sekolah dengan memakai selendang merah itu. Sesampainya disekolah aku selalu merasa bahwa selendang ini membuatku lebih cantik dan terkesan tradisional.
ADVERTISEMENT
***
Beberapa minggu kemudian aku mengalami kejadian janggal, entah bagaimana selama satu minggu berturut-turut aku selalu bermimpi buruk dan salah satunya membuatku merasa takut.
Mimpi yang kualami diawali dengan duduknya aku disebuah kursi panjang yang sangat aku kenal, ya, kursi ruang tengahku dengan dikelilingi tujuh sosok wanita cantik bermata merah yang memakai jubah putih dan mereka menatapku tajam seakan ingin berbicara padaku, kemudian mereka membawaku ke sebuah perkampungan sisi laut yang indah dan disana kami bermain dengan gembira. Aku duduk disebuah bangku panjang bersama salah satu sosok wanita itu yang tengah mengepang rambutku.
“Nak, tinggal lah di sini,” ajaknya sembari mengelus-elus rambut dan bahuku, anehnya aku merasakan merinding di punggungku.
ADVERTISEMENT
Aku tidak menjawab pertanyaannya hanya saja aku yang awalnya merasa nyaman tiba-tiba gelisah memikirkan bagaimana kalau nanti aku sekolah, bagaimana dengan Ardi orang yang aku sukai, dan bagaimana nasib keluargaku nantinya. Beberapa saat aku berfikir, lama kelamaan aku merasa tidak nyaman dan ingin segera kembali ke duniaku, hanya saja aku tidak tahu bagaimana caranya.
Aku menjauh dari tempat para wanita itu berada dengan rasa panik luar biasa. Di tengah kepanikan itu tiba-tiba saja seorang lelaki muncul entah darimana dan berkata, “Ayo kita Adzan.” Dengan pikiran yang linglung ini, aku mengikuti ucapannya dan mulai mengumandangkan adzan dengan lantang saking takutnya tidak bisa kembali kerumah.
***
Selang beberapa hari setelah mimpi itu, pamanku datang dari Jakarta dalam rangka mengurus pemasangan tembok pada nisannya almarhum kakekku.
ADVERTISEMENT
Aku dan keluarga dari pihak Ibuku berkumpul dan saling berbagi cerita ataupun pengalaman masing-masing di kamar Nenek. Di tengah serunya pembicaraan, Pamanku menyela pembicaraan kami, ia berkata sembari menatapku, “Ga, kamu pernah pakai selendang merah?”
Terkejut dengan pernyataan yang tiba-tiba dari paman aku pun bingung. “Hah? Selendang merah? Selendang yang mana? Kenapa?”
“Paman didatangi oleh almarhumah Nteh⁵ Mur, dia bilang kamu memakai selendang merah miliknya, tetapi kamu belum cukup umur, nanti kalau kamu sudah berumur dua puluh tahun baru bisa memakainya, nah mana selendangnya sekarang?” Paman mengulurkan tangannya.
“Hah? Sebentar aku cari dulu.” segera aku berlari menuju lemari tempatku menaruh selendang. Di lemari terdapat dua selendang merah dan keduanya pernah aku pakai.
ADVERTISEMENT
“Mungkin saja yang ini, karena terakhir kali aku memakai selendang merah ini,” gumamku kemudian aku bergegas kembali dan menyerahkannya pada Paman, “ ini?”.
Nenek mengkerutkan dahinya, ia tahu bahwa selendang merah yang kubawa adalah miliknya bukan milik Nteh Mur.“Itu mah, selendang yang dibeli oleh Mbi waktu dulu di Jakarta.”
Baru aku teringat mengenai selendang merah dengan corak ikan berwarna emas. Aku langsung kembali ke lemari di kamarku dan mengambil selendang merah itu.
“Yang ini?” tanyaku dengan napas yang tersengal-sengal dan melemparkannya pada Paman, meskipun tidak sopan, tetapi rasa merindingku tidak bisa dibohongi.
Nenekku mengangguk. “Iya, yang itu,” ujarnya kemudian aku langsung melempar selendang merah itu kepada Pamanku.
“Kenapa pula selendang ini? Ah, kan padahal aku sama ceu Winda suka bermain memakai selendang ini waktu kecil, kenapa baru sekarang diberi peringatannya? iya kan ceu⁶?” tanyaku penasaran sembari sedikit ceu Winda mengangguk. Semua juga turut terheran-heran, sedangkan Pamanku hanya menyeringai tanpa menjawab pertanyaanku.
ADVERTISEMENT
“Dulu, Nteh memiliki asihan kecantikan dan punya ilmu-ilmu semacam itu, bisa dibilang selendang itu adalah jimatnya atau senjatanya,” jelas Ibuku.
“Lagipula, aku juga tidak tertarik dengan ilmu yang ada didalamnya Bu,” ucapku dengan bulu kudukku berdiri karena mengingat-ingat mimpi yang pernah kualami.
“Kenapa emangnya?” tanya Ibu penasaran.
“Ya, aku hanya sedang mencari seseorang yang mencintai aku dengan tulus tanpa tarikan seperti asihan, ajimat, puasa, atau yang lainnya. Aku mencari yang murni mencintaiku dan Allah saja,” ujarku dengan wajah tertunduk malu, semua keluargaku yang ada disitu tersenyum mengejek.
“Aku juga beberapa hari kemarin, selalu bermimpi buruk, bahkan sampai mau diajak ke dunia lain, untung saja ada seseorang yang menuntun adzan kalau tidak pasti aku celaka,” ujarku berusaha mengingat mimpi itu.
ADVERTISEMENT
“Seriusan Ga? Kamu mimpi kayak gitu gak takut?” tanya Ibuku, alisnya mengkerut.
“Ah, takut sih, tapi untung makhluk yang aku lihatnya cantik, jadi gak serem-serem amat,” ucapku bercanda dan sedikit menahan tawa.
“Ya tetep aja, kalo misalnya aku sih pasti gak tau harus ngapain,” sambung Ceu Winda.
“Eh, tau gak, mitosnya kalau kita diajak ke dunia lain sama mereka, kita gak boleh jawab lho,” tutur Ibuku membuat penasaran.
“Kenapa?” Aku dan Ceu Winda saling menatap keheranan.
“Karena kalau kita diajak dan kita menjawab ya ataupun tidak, kita akan dibawa ke dunia mereka dan kemungkinan untuk kembali sangatlah sedikit,” kelas Ibuku.
“Untung saja aku tidak menjawab ya ataupun tidak, jadi aku masih ada di sini sekarang.” Aku bisa bernafas lega, untung saja aku tidak menjawab pertanyaan wanita berpakaian putih dan bermata merah itu dan entah darimana laki-laki penolong itu muncul, aku bersyukur aku masih bisa bernafas di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Catatan kaki:
1. Kamis Nyunda merupakan program di sekolah penulis yang pada kala itu mendukung program pemerintah dalam melestarikan budaya Sunda.
2. Karembong adalah sebutan selendang dalam bahasa Sunda.
3. Iket, Iket Sunda merupakan suatu kain berbentuk bujur sangkar yang dapat diikat di kepala dengan berbagai bentuk.
4. Mbi, sebutan untuk Nenek dalam salah satu dialek bahasa Sunda.
5. Nteh, sebutan untuk Nenek dalam salah satu dialek bahasa Sunda.
6. Ceu/Ceceu/eceu sebutan untuk Kakak Perempuan dalam bahasa Sunda.