news-card-video
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Pajak Anjlok dan Utang Membengkak, Ekonomi Indonesia Terancam Ambruk!

Mega Oktaviany
Ekonom Universitas Gunadarma / Sekretaris Eksekutif Universitas Gunadarma / Sekretaris Dewan Pakar MPP KAFoSSEI
14 Maret 2025 11:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mega Oktaviany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mega Oktaviany/Ekonom Universitas Gunadarma & Sekretaris Eksekutif Bersama Institute
zoom-in-whitePerbesar
Mega Oktaviany/Ekonom Universitas Gunadarma & Sekretaris Eksekutif Bersama Institute
ADVERTISEMENT

Pada Januari 2025 Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam penerimaan pajak, mencapai 41,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penerimaan pajak bulan tersebut hanya tercatat sebesar Rp88,89 triliun, jauh lebih rendah dari Rp152,89 triliun pada Januari 2024. Penurunan ini menjadi salah satu yang terbesar sepanjang sejarah, dan menggambarkan masalah mendalam dalam sistem perpajakan negara. Kondisi ini menandakan bahwa upaya untuk mengoptimalkan sektor pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak belum membuahkan hasil yang diharapkan. Selain itu, penurunan penerimaan ini juga dapat dipengaruhi oleh ketidaksempurnaan sistem perpajakan yang baru diterapkan, yang mengarah pada penurunan daya serap pajak.

Penurunan pendapatan pajak ini langsung berdampak pada kemampuan pemerintah untuk membiayai berbagai program penting. Pembiayaan negara yang bergantung pada pajak menghadapi kesulitan dalam mendanai program-program sosial dan pembangunan yang krusial, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dengan menurunnya penerimaan pajak, ruang fiskal negara terbatas, sehingga berpotensi mengurangi alokasi anggaran untuk sektor-sektor vital tersebut. Dampak yang lebih lanjut adalah perlambatan dalam pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, yang berpotensi mempengaruhi kualitas hidup warga negara secara keseluruhan. Teori "Public Finance" yang dikemukakan oleh Richard A. Musgrave (1959) menyatakan bahwa pajak merupakan sumber utama pendapatan pemerintah untuk pembiayaan berbagai program publik. Penurunan penerimaan pajak mengganggu kemampuan pemerintah dalam menyediakan barang publik dan layanan sosial, yang berimplikasi pada kualitas hidup masyarakat. Dengan demikian, penurunan pajak ini menunjukkan tantangan besar dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Penurunan penerimaan pajak juga berisiko terhadap pencapaian target fiskal yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia menargetkan defisit anggaran 2025 sebesar 2,53% dari PDB, namun dengan penurunan pajak yang signifikan, defisit sudah mencatatkan angka yang jauh lebih tinggi. Pada Januari 2025, defisit anggaran sudah mencapai Rp31,2 triliun, yang setara dengan 0,13% dari PDB, padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya, Indonesia justru mencatatkan surplus anggaran. Pencapaian target fiskal yang terancam ini tentu akan mempengaruhi kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi arus investasi yang masuk. Sejalan dengan teori Fiscal Deficit yang dikemukakan oleh Alesina dan Perotti (1995), ketidakseimbangan fiskal seperti defisit yang besar dapat menurunkan kepercayaan pasar terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Hal ini dapat memicu peningkatan biaya pinjaman dan menurunkan stabilitas ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan fiskal yang sehat sangat penting untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dan menarik investasi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, penurunan penerimaan pajak yang signifikan berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi Indonesia. Dampaknya sangat besar, baik terhadap sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, maupun terhadap kemampuan pemerintah untuk menjaga kestabilan fiskal. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan memperburuk ketimpangan sosial. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi kebijakan perpajakan yang ada, serta memperkuat sistem pemungutan pajak untuk mengembalikan pendapatan negara ke jalur yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Bengkaknya Utang Pemerintah, Mengancam Kestabilan Keuangan
Utang pemerintah Indonesia tercatat sebesar Rp8.909,14 triliun pada Januari 2025, meningkat sekitar 43,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh defisit anggaran yang lebih besar dari yang diproyeksikan, dengan total defisit anggaran untuk Januari 2025 mencapai Rp234,5 triliun. Untuk menutupi kekurangan anggaran ini, pemerintah berencana untuk menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp642,56 triliun. Lonjakan utang yang signifikan ini berisiko memperburuk kondisi fiskal Indonesia, terutama dengan meningkatnya beban bunga utang yang harus ditanggung oleh negara. Hal ini akan membatasi ruang fiskal yang tersedia untuk membiayai program-program pembangunan dan sosial yang penting bagi kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Teori Crowding Out yang dikemukakan oleh Keynesian dalam kerangka teori makroekonomi menjelaskan bahwa pembiayaan defisit melalui utang dapat menyebabkan pengurangan investasi swasta. Ketika pemerintah meminjam uang, ia bersaing dengan sektor swasta dalam pasar kredit, yang menyebabkan tingginya tingkat bunga. Akibatnya, perusahaan swasta akan kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan, dan mereka mungkin akan menunda atau mengurangi investasi. Hal ini memperburuk kondisi perekonomian, karena investasi swasta sangat penting untuk mendorong inovasi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan produktivitas ekonomi. Dalam konteks Indonesia, lonjakan utang dapat mengganggu investasi swasta dan memperburuk ketidakpastian ekonomi, yang pada gilirannya akan menghambat penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, ketergantungan yang semakin tinggi pada pinjaman luar negeri menambah kompleksitas masalah ini. Pemerintah merencanakan pinjaman luar negeri sebesar Rp128 triliun pada tahun 2025, yang menunjukkan ketergantungan yang terus meningkat terhadap pembiayaan eksternal. Peningkatan utang luar negeri ini meningkatkan risiko terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia, karena fluktuasi nilai tukar mata uang dan perubahan kebijakan moneter negara-negara pemberi pinjaman dapat mempengaruhi beban utang yang harus ditanggung oleh Indonesia. Teori Ricardian Equivalence yang dikemukakan oleh Barro (1974) juga relevan dalam konteks ini. Menurut teori ini, pembiayaan defisit melalui utang publik akan menyebabkan masyarakat memperkirakan bahwa pajak akan meningkat di masa depan untuk membayar utang tersebut. Hal ini dapat menyebabkan penurunan konsumsi dan tabungan, yang selanjutnya mengurangi daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, utang luar negeri dapat membatasi ruang fiskal pemerintah dan mempengaruhi stabilitas ekonomi jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Defisit APBN yang Membesar, Ancaman terhadap Keberlanjutan Ekonomi
Pada Januari 2025, Indonesia menghadapi defisit APBN yang semakin membesar, dengan proyeksi defisit anggaran mencapai lebih dari 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Peningkatan defisit ini terjadi seiring dengan penurunan penerimaan pajak yang tajam dan meningkatnya belanja pemerintah yang lebih tinggi dari yang direncanakan. Defisit anggaran yang membesar ini berisiko memperburuk kestabilan fiskal dan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang, karena pemerintah harus terus meminjam untuk menutupi kekurangan anggaran, yang pada gilirannya akan meningkatkan beban utang negara. Defisit yang tidak terkendali dapat mengguncang kepercayaan publik dan pasar terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan negara secara berkelanjutan.
Peningkatan defisit ini juga berdampak langsung terhadap kepercayaan investor dan pasar internasional terhadap ekonomi Indonesia. Ketika defisit anggaran membesar, pasar mulai meragukan kemampuan pemerintah untuk menjaga stabilitas fiskal dan mengelola utang negara. Hal ini dapat menyebabkan penurunan nilai tukar rupiah, peningkatan biaya pinjaman internasional, dan turunnya aliran investasi asing yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Menurunnya kepercayaan investor ini menciptakan ketidakpastian yang lebih besar, sehingga dapat memperburuk ketahanan ekonomi Indonesia dan meningkatkan biaya ekonomi dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia perlu segera mengimplementasikan kebijakan fiskal yang lebih rasional dan terencana. Pengelolaan anggaran yang efisien, termasuk dengan meningkatkan penerimaan pajak dan memangkas pengeluaran yang tidak mendesak, sangat penting untuk mengendalikan defisit anggaran. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa alokasi anggaran difokuskan pada program-program prioritas yang memberikan dampak langsung pada pembangunan sosial dan ekonomi. Kebijakan fiskal yang hati-hati akan membantu mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri dan menjaga kestabilan ekonomi Indonesia di masa depan. Jika kebijakan ini tidak segera diterapkan, Indonesia berisiko semakin terjerumus dalam krisis fiskal yang dapat memperburuk kondisi perekonomian secara keseluruhan.
Teori ekonomi terkait, seperti Fiscal Sustainability dan Crowding Out Effect, menunjukkan bahwa defisit anggaran yang terus-menerus dapat membebani perekonomian. Menurut teori Fiscal Sustainability, defisit yang tinggi dalam jangka panjang akan mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk memenuhi kewajiban fiskalnya tanpa menambah utang. Selain itu, Crowding Out Effect mengemukakan bahwa utang pemerintah yang terus meningkat dapat menyebabkan suku bunga yang lebih tinggi, yang pada gilirannya mengurangi investasi swasta dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menjaga keseimbangan fiskal dan merencanakan kebijakan fiskal yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tanpa membebani masa depan dengan utang yang tidak terkendali.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Kesimpulannya, dengan kondisi pajak yang anjlok hingga 41,8% dan utang yang membengkak sebesar 43,5%, ekonomi Indonesia sedang berada di ambang kehancuran. Kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal semakin menipis, dan jika pemerintah, khususnya Menteri Keuangan, Wakil Menteri, dan Direktur Jenderal Pajak, tidak mampu mengelola krisis ini dengan bijaksana dan segera mengambil langkah-langkah efektif, maka sudah saatnya mempertimbangkan untuk mundur. Tanggung jawab besar yang dipikul dalam mengatur kebijakan fiskal dan perpajakan harus dijalankan dengan integritas dan kemampuan yang mumpuni. Jika tidak, negara ini akan semakin terperosok dalam ketidakstabilan ekonomi yang lebih dalam, dan akan ada pertanyaan besar mengenai apakah para pejabat tersebut masih layak memimpin perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Keputusan tegas harus diambil demi keberlanjutan ekonomi Indonesia dan untuk menghindari ambruknya perekonomian negara ini.
ADVERTISEMENT
Mega Oktaviany (Ekonom Universitas Gunadarma / Sekretaris Eksekutif Bersama Institute)