Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Ramadhan Tanpa Pemborosan, Saatnya Pola Ekonomi Hijau Mengganti Pola Konsumsi
4 Maret 2025 10:07 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Mega Oktaviany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Bulan Ramadhan, yang seharusnya menjadi periode peningkatan spiritualitas dan solidaritas sosial, sering kali disertai dengan peningkatan konsumsi yang signifikan. Fenomena ini tidak hanya berpotensi menimbulkan pemborosan makanan tetapi juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Data menunjukkan bahwa selama bulan Ramadhan, volume sampah makanan di Indonesia meningkat hingga 20% dibandingkan bulan biasa. Bahkan, Dinas Lingkungan Hidup memprediksi peningkatan hingga 30% di beberapa wilayah pada tahun 2023. Kerugian ekonomi akibat sampah makanan ini mencapai sekitar Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun, setara dengan 4-5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Peningkatan ini menunjukkan ketidakseimbangan antara konsumsi yang berlebihan dengan upaya pengelolaan sumber daya yang efisien.
ADVERTISEMENT
Di tengah peningkatan konsumsi yang berlebihan, ekonomi hijau menawarkan pendekatan yang relevan untuk mengatasi masalah ini. Ekonomi hijau berfokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui efisiensi sumber daya alam, pengurangan emisi karbon, dan promosi kualitas hidup yang lebih baik. Prinsip ekonomi hijau ini bisa diadaptasi dalam perilaku konsumsi masyarakat, terutama selama bulan Ramadhan. Dengan mengutamakan keberlanjutan, ekonomi hijau tidak hanya mengajak kita untuk mengurangi pemborosan, tetapi juga untuk lebih bijaksana dalam memilih produk yang ramah lingkungan dan memperhatikan dampaknya terhadap ekosistem.
ADVERTISEMENT
Penerapan ekonomi hijau selama Ramadhan berpotensi mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan, seperti limbah makanan dan pemborosan energi. Dengan pendekatan yang lebih sadar lingkungan, masyarakat dapat mereduksi penggunaan sumber daya secara berlebihan, sambil tetap menjaga esensi dari ibadah puasa itu sendiri. Dengan cara ini, Ramadhan bisa menjadi momen yang tidak hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian lingkungan dan keberlanjutan bumi. Implementasi prinsip ekonomi hijau selama bulan suci ini dapat menjadi langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih bertanggung jawab dalam hal konsumsi dan pemeliharaan lingkungan.
Analisis Pemborosan Konsumsi selama Ramadhan
Peningkatan konsumsi yang berlebihan selama bulan Ramadhan adalah fenomena yang dapat dikatakan kontradiktif terhadap makna dasar dari ibadah puasa itu sendiri, yang sejatinya bertujuan untuk mengajarkan pengendalian diri dan kesederhanaan. Namun, dalam kenyataannya bulan Ramadhan sering kali menjadi periode di mana pola konsumsi makanan, minuman, dan barang-barang lainnya mengalami lonjakan yang signifikan. Hal ini tampak jelas dalam tradisi berbuka puasa, di mana umat Muslim membeli makanan dalam jumlah berlebihan, jauh lebih banyak daripada yang sebenarnya diperlukan, dan kemudian banyak yang berakhir sebagai limbah. Fenomena ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga memberi dampak yang cukup besar terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Data terkini menunjukkan bahwa konsumsi makanan selama bulan Ramadhan di Indonesia meningkat sekitar 20-25% dibandingkan dengan bulan-bulan biasa. Fenomena ini terutama tercermin pada jam-jam berbuka puasa, di mana masyarakat cenderung membeli berbagai jenis makanan dengan harapan untuk memanjakan diri atau menghidangkan hidangan yang melimpah, yang pada akhirnya menyebabkan sebagian makanan tidak terpakai dan terbuang sia-sia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 30% dari total makanan yang dibeli selama Ramadhan berakhir menjadi sampah makanan yang tidak terkelola dengan baik. Hal ini berkontribusi terhadap peningkatan volume sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), yang sudah menghadapi tekanan dari sampah sehari-hari.
Dampak dari pemborosan konsumsi ini tidak hanya terbatas pada masalah ekonomi yang merugikan konsumen, tetapi juga pada kerusakan lingkungan yang lebih besar. Limbah makanan, yang sebagian besar tidak terkelola dengan baik, berpotensi mencemari lingkungan dan memperburuk polusi. Sebagai contoh, sampah makanan yang dibuang ke TPA menghasilkan gas metana, yang merupakan salah satu gas rumah kaca yang sangat berpotensi memperburuk perubahan iklim. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahun secara global, yang setara dengan sekitar 1/3 dari total makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia. Di Indonesia, pemborosan makanan ini bukan hanya masalah sosial dan ekonomi, tetapi juga menjadi masalah ekologis yang mendalam. Pemborosan energi dalam produksi dan distribusi makanan juga tidak bisa diabaikan. Produksi pangan yang berlebihan menghabiskan sumber daya alam yang besar, seperti air dan energi, yang seharusnya digunakan lebih efisien dalam mendukung keberlanjutan alam.
ADVERTISEMENT
Penyebab pemborosan konsumsi selama Ramadhan dapat dijelaskan melalui dua faktor utama, yaitu budaya berbuka puasa yang berlebihan dan pola belanja yang tidak terkendali. Pertama, budaya berbuka puasa yang didorong oleh tradisi sosial yang memprioritaskan kemewahan dan keberlimpahan dalam hidangan berbuka merupakan salah satu penyebab utama. Kebiasaan membeli makanan dalam jumlah berlebihan saat berbuka, tanpa mempertimbangkan kebutuhan riil, berkontribusi terhadap pemborosan makanan. Sebagai contoh, fenomena "sungkeman" atau pemberian makanan kepada orang lain pada saat berbuka puasa sering kali menambah jumlah makanan yang tidak akan dimakan, namun tetap dibeli dan disiapkan dalam jumlah besar. Di sisi lain, faktor belanja yang berlebihan, yang dipicu oleh diskon dan promosi besar-besaran selama Ramadhan, mendorong masyarakat untuk membeli barang-barang yang tidak diperlukan, seperti pakaian baru, peralatan rumah tangga, atau produk konsumsi lainnya. Fenomena ini semakin diperburuk dengan adanya kemudahan berbelanja online, yang memberikan akses tak terbatas pada barang-barang konsumsi, tanpa mengingat dampaknya terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami fenomena ini, teori Consumption-Driven Behavior (Perilaku Konsumtif) yang dikemukakan oleh Bourdieu (1979) melalui konsep habitus menjadi relevan. Menurut Bourdieu, kebiasaan dan struktur sosial mempengaruhi perilaku konsumsi individu. Dalam konteks Ramadhan, masyarakat dipengaruhi oleh norma sosial yang mengedepankan berbuka puasa dengan hidangan yang melimpah, yang dianggap sebagai simbol kemakmuran dan kebersamaan. Di sisi lain, Theory of Planned Behavior oleh Ajzen (1991) dapat menjelaskan bahwa individu, meskipun menyadari potensi pemborosan, tetap cenderung untuk mengonsumsi lebih banyak karena adanya dorongan sosial dan norma yang mendukung perilaku tersebut. Pemilihan konsumsi, dalam hal ini, lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kebiasaan sosial daripada kesadaran rasional akan dampaknya terhadap ekonomi dan lingkungan.
Oleh karena itu, pemborosan konsumsi yang terjadi selama Ramadhan memperlihatkan ketidakseimbangan antara peningkatan konsumsi dan pengelolaan sumber daya yang efisien. Pemborosan ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga memiliki dampak ekologis yang serius. Oleh karena itu, penting untuk mengadopsi prinsip-prinsip ekonomi hijau yang menekankan efisiensi, keberlanjutan, dan pengelolaan sumber daya secara bertanggung jawab. Implementasi prinsip ekonomi hijau ini dapat mengurangi pemborosan selama Ramadhan dan mendukung terciptanya pola konsumsi yang lebih sadar lingkungan, yang pada gilirannya akan memperkuat keberlanjutan ekonomi dan lingkungan di masa depan.
ADVERTISEMENT
Penerapan Prinsip Ekonomi Hijau dalam Ramadhan
Prinsip ekonomi hijau mengedepankan pentingnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan fokus pada efisiensi penggunaan sumber daya alam dan pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan. Selama bulan Ramadhan, di mana konsumsi meningkat signifikan, penerapan prinsip ini menjadi sangat relevan. Mengingat bahwa sektor konsumsi, terutama pangan, menyumbang hampir 26% dari total emisi gas rumah kaca global menurut United Nations Environment Programme (UNEP) pada 2022, ekonomi hijau menawarkan alternatif yang lebih ramah lingkungan dengan mengurangi pemborosan dan memastikan penggunaan sumber daya lebih efisien. Dalam konteks Ramadhan, prinsip ekonomi hijau tidak hanya berfokus pada pengurangan limbah makanan, tetapi juga pada konsumsi yang lebih terarah dan berkelanjutan, yang mengurangi jejak ekologis yang dihasilkan dari konsumsi berlebihan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengurangi pemborosan selama Ramadhan, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan secara langsung. Salah satunya adalah membeli hanya apa yang dibutuhkan. Tradisi berbuka puasa sering kali disertai dengan membeli makanan dalam jumlah besar, meskipun tidak semuanya habis dikonsumsi. Hal ini berkontribusi pada pemborosan yang signifikan, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahun secara global, sebagian besar berasal dari rumah tangga dan sektor ritel. Oleh karena itu, dengan membeli makanan sesuai kebutuhan dan menghindari pembelian berlebihan, kita dapat mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan. Selain itu, memilih produk lokal yang ramah lingkungan juga dapat mengurangi dampak lingkungan. Produk lokal umumnya memiliki jejak karbon yang lebih rendah karena mengurangi kebutuhan transportasi dan distribusi yang panjang, yang sering kali menjadi faktor utama dalam pemborosan energi.
ADVERTISEMENT
Langkah berikutnya dalam penerapan prinsip ekonomi hijau adalah mengurangi limbah makanan. Selama Ramadhan, pemborosan makanan dapat terjadi akibat kelebihan persiapan makanan yang tidak habis. Oleh karena itu, penting untuk mengelola makanan dengan bijaksana, seperti mendonasikan makanan yang masih layak konsumsi atau mengolah sisa makanan menjadi hidangan baru. Menurut laporan dari FAO pada 2023, sekitar 30% hingga 50% dari makanan yang dibeli dapat diselamatkan jika dikelola dengan baik. Dengan mengurangi limbah makanan, kita tidak hanya membantu menjaga keberlanjutan sumber daya, tetapi juga mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari pengolahan dan pembuangan sampah makanan.
Penerapan ekonomi hijau dalam Ramadhan juga membutuhkan dukungan aktif dari komunitas dan pemerintah. Komunitas dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya pola konsumsi yang berkelanjutan melalui kampanye dan edukasi. Misalnya, dengan mengadakan acara berbuka puasa bersama yang mengedepankan konsumsi sederhana dan ramah lingkungan, serta mempromosikan produk lokal dan organik. Di sisi lain, pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung transisi menuju ekonomi hijau, seperti melalui regulasi pengelolaan sampah makanan, pemberian insentif untuk produk ramah lingkungan, dan promosi konsumsi berkelanjutan. Kebijakan seperti green public procurement atau pengadaan barang yang berkelanjutan oleh sektor publik dapat menjadi contoh konkret bagaimana pemerintah dapat mendorong perubahan pola konsumsi. Kolaborasi antara individu, komunitas, dan pemerintah menjadi kunci utama dalam menciptakan dampak yang lebih luas, sesuai dengan teori Collective Action oleh Olson (1965), yang mengemukakan bahwa perubahan sosial besar hanya akan tercapai jika semua pihak bekerja sama untuk tujuan yang sama.
ADVERTISEMENT
Sebab itu, penerapan prinsip ekonomi hijau selama Ramadhan tidak hanya dapat mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga membantu menciptakan pola konsumsi yang lebih efisien dan berkelanjutan. Dengan mengadopsi prinsip keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dapat berkontribusi pada pengurangan pemborosan yang merugikan baik bagi ekonomi maupun lingkungan. Ramadhan, sebagai bulan yang penuh berkah, dapat menjadi momentum penting untuk mendorong perubahan yang lebih besar dalam pola konsumsi global yang lebih sadar lingkungan dan berkelanjutan.
Manfaat Ekonomi Hijau dalam Meningkatkan Kualitas Ramadhan dan Lingkungan
Penerapan ekonomi hijau selama bulan Ramadhan memiliki potensi untuk memperkuat spiritualitas umat Islam dengan menumbuhkan kesadaran yang lebih mendalam tentang keberlanjutan dan pengelolaan sumber daya alam. Ramadhan, yang merupakan bulan untuk refleksi diri dan perbaikan moral, dapat menjadi momen yang tepat untuk memperkenalkan konsep keberlanjutan yang berfokus pada efisiensi sumber daya. Dalam konteks ini, penerapan prinsip ekonomi hijau mendukung pendekatan yang lebih bijaksana terhadap konsumsi, sekaligus meningkatkan kesadaran individu tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam. Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), penerapan gaya hidup berkelanjutan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan, yang juga sejalan dengan nilai-nilai spiritual yang diajarkan dalam agama, seperti kepedulian terhadap sesama dan alam sekitar.
ADVERTISEMENT
Mengadopsi prinsip ekonomi hijau selama Ramadhan tidak hanya memberikan dampak spiritual yang positif, tetapi juga memberikan manfaat langsung terhadap lingkungan. Salah satu dampak yang paling signifikan adalah pengurangan jejak karbon. Jejak karbon adalah jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kegiatan manusia, termasuk konsumsi pangan dan energi. Dengan mengurangi konsumsi berlebihan dan memilih produk lokal serta ramah lingkungan, kita dapat mengurangi jejak karbon yang dihasilkan selama bulan Ramadhan. Menurut data dari Carbon Trust pada 2023, jika masyarakat global mengurangi pemborosan makanan sebesar 50%, emisi gas rumah kaca yang terkait dengan produksi dan pembuangan makanan dapat berkurang sebesar 8%, yang setara dengan pengurangan emisi dari 10 juta mobil. Penerapan pola konsumsi yang lebih bijak dapat berperan besar dalam mengurangi dampak buruk terhadap iklim, seiring dengan upaya global untuk mencapai tujuan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GHG) yang telah ditetapkan dalam Paris Agreement.
ADVERTISEMENT
Selain pengurangan jejak karbon, penerapan ekonomi hijau selama Ramadhan juga dapat mendorong penghematan energi yang signifikan. Penggunaan energi yang efisien, seperti memanfaatkan peralatan rumah tangga yang hemat energi dan mengurangi pemborosan energi dalam proses memasak atau penerangan, dapat membantu mengurangi konsumsi energi selama bulan Ramadhan. Menurut data dari International Energy Agency (IEA), sektor rumah tangga berkontribusi sebesar 30% dari total konsumsi energi global, dengan sebagian besar konsumsi berasal dari pemborosan yang bisa dihindari dengan teknologi efisien dan perubahan perilaku. Dengan mengurangi pemborosan energi selama Ramadhan, kita tidak hanya menghemat biaya tetapi juga berkontribusi pada pengurangan polusi udara dan penghematan sumber daya alam yang semakin terbatas.
Selain itu, penerapan ekonomi hijau selama Ramadhan dapat berkontribusi besar terhadap pengurangan limbah makanan, yang merupakan masalah global yang terus meningkat. Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2023 menunjukkan bahwa hampir 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahun, dengan sekitar 30% hingga 50% berasal dari rumah tangga. Limbah makanan ini tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga membebani sistem pengelolaan sampah yang ada. Mengurangi pemborosan makanan dengan mematuhi prinsip ekonomi hijau selama Ramadhan dapat mengurangi tekanan pada sistem pengelolaan limbah serta membantu melestarikan sumber daya alam yang digunakan dalam produksi makanan, seperti air dan energi. Selain itu, pengurangan limbah makanan dapat memberikan manfaat sosial, dengan mendonasikan makanan yang tidak terpakai kepada mereka yang membutuhkan, meningkatkan rasa solidaritas sosial yang juga merupakan inti dari ajaran Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Penerapan ekonomi hijau dalam Ramadhan juga dapat membentuk kebiasaan konsumsi yang lebih bertanggung jawab, yang tidak hanya diterapkan selama bulan Ramadhan tetapi dapat menjadi pola hidup sepanjang tahun. Dengan berfokus pada konsumsi yang lebih bijaksana, mengutamakan produk lokal dan ramah lingkungan, serta mengelola limbah dengan lebih efisien, masyarakat dapat mengubah kebiasaan konsumsi mereka secara signifikan. Menurut teori Theory of Planned Behavior yang dikemukakan oleh Ajzen (1991), perubahan kebiasaan konsumsi dapat terjadi melalui kesadaran dan niat yang terbentuk dari pengaruh sosial dan kebiasaan lingkungan. Oleh karena itu, dengan menciptakan kebiasaan konsumsi yang lebih bertanggung jawab selama Ramadhan, masyarakat dapat membawa perubahan positif dalam kehidupan sehari-hari mereka, yang pada akhirnya mendukung keberlanjutan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, penerapan ekonomi hijau selama Ramadhan dapat membawa manfaat ganda, baik untuk kualitas spiritual umat Islam maupun untuk pelestarian lingkungan. Dengan mengadopsi prinsip keberlanjutan dalam konsumsi dan pengelolaan sumber daya alam, Ramadhan dapat menjadi momentum untuk menciptakan perubahan yang lebih besar, yang tidak hanya relevan selama bulan suci, tetapi juga dapat berlanjut sepanjang tahun. Implementasi prinsip ekonomi hijau ini berpotensi memberikan dampak positif yang jauh melampaui Ramadhan, berkontribusi pada pengurangan dampak lingkungan, penghematan energi, dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari.
MEGA OKTAVIANY (Peneliti Ekonomi Universitas Gunadarma / Sekretaris Eksekutif Bersama Institute)