Problematika HAM : Perlindungan terhadap Hak atas Privasi di Era Digital

Mega Utari
Mahasiswi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
4 Desember 2022 16:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mega Utari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/images/id-597133/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/images/id-597133/
ADVERTISEMENT
Tidak diragukan lagi bahwa teknologi digital telah mendorong dunia kita menuju kemajuan manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, era digital juga membawa tantangan baru yang sangat besar dalam upaya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Tidak perlu melihat terlalu jauh, karena sebenarnya masyarakat telah mengetahui bahwa pengumpulan data pribadi sudah dilakukan dalam skala industri. Negara, partai politik, berbagai organisasi, dan terutama komunitas bisnis memiliki informasi yang detail dan solid tentang para pengguna teknologi digital. Semakin banyak aspek kehidupan kita yang dipantau, direkam, digunakan secara digital, dan bahkan tidak jarang disalahgunakan. Bayangkan saja, kapan pun dan di mana pun kita menggunakan ponsel pintar, hal tersebut dapat membuat jejak digital yang bisa direkam.
ADVERTISEMENT

Permasalahan Pelanggaran Hak atas Privasi dan Upaya Perlindungannya

Dalam resolusinya tentang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di internet, pada Juli 2012, Dewan Hak Asasi Manusia menerangkan bahwa hak yang sama yang dimiliki orang secara offline juga harus dilindungi secara online, khususnya kebebasan berekspresi. Pernyataan tersebut dipuji sebagai resolusi PBB pertama yang menegaskan bahwa hak asasi manusia di dunia digital harus dilindungi dan dipromosikan pada tingkat yang sama dan dengan komitmen yang sama dengan hak asasi manusia di dunia fisik. Sejak saat itu, pengungkapan dramatis terkait ruang lingkup rezim pengawasan negara di beberapa yurisdiksi, termasuk pengawasan massal atas komunikasi pribadi melalui platform daring dan seluler, telah memicu perdebatan internasional tentang hak privasi versus keamanan nasional.
ADVERTISEMENT
Ada dua moral universal yang mendasari mengapa hak atas privasi (rights to privacy) warga negara harus dihormati dan dilindungi. Pertama, prinsip demokrasi menjamin otonomi individu, dan kedua, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjamin hak-hak sipil, termasuk hak atas privasi. Pasal 12 DUHAM menjelaskan bahwa tidak seorang pun boleh mencampuri urusan pribadi, keluarga, rumah tangga, atau surat-menyuratnya dengan sewenang-wenang, serta kehormatan serta nama baiknya tidak boleh dihina. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan berupa gangguan atau pelanggaran tersebut.
Oleh karena itu, negara Indonesia yang telah mengadopsi Deklarasi Hak Asasi Manusia melalui Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, berkewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta kebebasan warga negaranya, termasuk hak atas privasi, melalui konstitusi dan Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Namun, belum ada regulasi yang komprehensif tentang perlindungan data pribadi di Indonesia. Kenyataan tersebut menjadikan hal-hal pribadi rentan terhadap penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak menghormati privasi atau kebebasan pribadi. Berbagi gambar dan video di jejaring sosial, mulai dari penyebarluasan aktivitas seksual hingga memancing nomor telepon debitur untuk pengajuan pinjaman online, adalah beberapa contoh nyata pelanggaran privasi.
Selain itu, melindungi data pribadi di dunia digital memiliki tantangan tersendiri akibat meningkatnya upaya penipuan. Contoh yang pertama, berita bohong atau palsu (hoax) untuk mengumpulkan informasi tentang dukungan seperti kuota online, pekerjaan dengan nama perusahaan yang menguntungkan, dan tersebar luasnya informasi yang salah tentang dukungan UMKM selama pandemi. Tanpa memeriksa kebenarannya, banyak orang memberikan informasi pribadi secara cuma-cuma.
ADVERTISEMENT
Kedua, doxing terhadap tim pemeriksa fakta. Pekerjaan media atau platform yang memverifikasi keaslian informasi memiliki tantangan tersendiri. Di era pasca-kebenaran ini, memungkinkan beberapa orang terdorong untuk melakukan doxing kepada jurnalis tim pemeriksa fakta yang memastikan kebenaran sebuah informasi yang menyenangkan bagi mereka. Namun setelah dilakukan pengecekan fakta, informasi tersebut ternyata palsu. Para pelaku doxing kemudian menyebarkan informasi pribadi dari para jurnalis di jejaring sosial, yang diliput oleh cerita-cerita yang mendorong ketakutan publik.
Guna memerangi penipuan privasi, semua bagian masyarakat harus bekerja sama untuk memerangi penipuan dan pencurian identitas, termasuk pemerintah. Beberapa undang-undang memuat pasal tentang perlindungan data terkait data pribadi. Seperti, UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), PP No. 71 Tahun 2019 tentang Pengenalan Sistem Transaksi Elektronik, Peraturan Menteri Informasi dan Teknologi Informasi No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, dan Peraturan Pengendalian Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis IT.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang yang telah disebutkan sebelumnya merupakan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap Hak atas Privasi dalam dunia digital. Sedangkan untuk lapisan masyarakat, ada beberapa tips yang dapat dilakukan untuk menghindari pencurian data digital, antara lain:
1. Instal pengaman dan pengontrol data digital;
2. Aktifkan autentikasi dua faktor;
3. Jaga keamanan dan gunakan kata sandi yang kompleks;
4. Jangan klik iklan, situs web, atau tautan yang terlihat mencurigakan;
5. Instal perangkat lunak anti-virus dan anti-malware terbaru; dan
6. Jangan menggunakan WiFi publik untuk tujuan transaksi keuangan.