Konten dari Pengguna

Alkisah Perppu Cipta Kerja

Mehaga L Ginting
Mahasiswa Hukum Tata Negara FH USU
29 Mei 2024 10:55 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mehaga L Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://media.istockphoto.com/id/1226475738/id/vektor/timbangan-keadilan-dan-konsep-berikan-hakim-kayu-hukum-palu-tanda-dengan-buku-buku-hukum.jpg?s=1024x1024&w=is&k=20&c=NwX7H486tBW3K5gbftAgBdmpfSY37KHkpV3nCs-pnV4=
zoom-in-whitePerbesar
https://media.istockphoto.com/id/1226475738/id/vektor/timbangan-keadilan-dan-konsep-berikan-hakim-kayu-hukum-palu-tanda-dengan-buku-buku-hukum.jpg?s=1024x1024&w=is&k=20&c=NwX7H486tBW3K5gbftAgBdmpfSY37KHkpV3nCs-pnV4=
ADVERTISEMENT
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagai pengganti undang-undang.” Kalimat tersebut termaktub dalam konstitusi Indonesia tepatnya pada pasal 22 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945. Pada dasarnya, peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang selanjutnya disebut Perppu merupakan bagian daripada peraturan pemerintah (PP). Perppu dan PP sendiri sama-sama peraturan pemerintah, yang dimana peraturan pemerintah itu dikeluarkan oleh Presiden. Hanya saja, kedua peraturan pemerintah ini memiliki fungsi yang berbeda. Perppu berfungsi sebagai pengganti undang-undang sehingga secara hirarkis kedudukannya sejajar dengan undang-undang. Sedangkan PP sendiri berkedudukan sebagai pelaksana undang-undang sehingga secara hirarkis, kedudukan PP berada di bawah undang-undang.
https://media.istockphoto.com/id/1246849397/id/vektor/hukum-dan-keadilan-pengetahuan-vektor-ilustrasi-konsep-desain-datar.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=r0AqJlrafZBSyK4AmKgmktXGLPwmKYI8pL7f9k6DvB8=
zoom-in-whitePerbesar
https://media.istockphoto.com/id/1246849397/id/vektor/hukum-dan-keadilan-pengetahuan-vektor-ilustrasi-konsep-desain-datar.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=r0AqJlrafZBSyK4AmKgmktXGLPwmKYI8pL7f9k6DvB8=
Oleh karena itu, seringkali Perppu ini mengalami problematika dalam pembuatannya hingga kepada implementasinya. Undang – Undang Cipta Kerja mengubah sedikitnya 9 ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dikeluarkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto adalah untuk menghindari ancaman stagflasi karena kondisi-kondisi seperti perekonomian, geopolitik, issue global, inflasi. Pada tahun 2019 sendiri, pemerintah berencana untuk merivisi seluruh undang-undang yang dinilai sudah tidak efektif dalam mengatasi masalah perekonomian khususnya di bidang ketenagakerjaan di Indonesia.
https://media.istockphoto.com/id/1227193799/id/vektor/konsep-hukum-keadilan-layanan-hukum-layanan-pengacara-notaris-pria-dengan-latar-belakang.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=MfES0v447n6LCZWAyJ1le9x0MfZxUfNYKp6T6L4be08=
Dalam proses pembuatannya sendiri, banyak dinamika yang terjadi. Perppu Cipta Kerja yang dinilai banyak problematika sehingga sempat diajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi. Perppu Cipta Kerja (Perppu No. 2 Tahun 2022) yang telah ditetapkan menjadi UU Cipta Kerja (UU No. 6 tahun 2023) menuai banyak protes dari tenaga kerja hingga banyak aksi-aksi yang dilakukan tenaga kerja seperti buruh, karyawan, dll. Perppu ini pun mendapat protes keras dari kalangan mahasiswa di seluruh Indonesia. Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU ini dinilai tidak memihak pada kesejahteraan tenaga kerja, melainkan justru memanjakan investor dan pengusaha
ADVERTISEMENT

A. Proses pembentukan Perppu hingga menjadi undang-undang

Sama seperti peraturan perundang-undangan yang lain, Perppu juga memiliki tahap pembentukan. Seperti yang termaktub dalam UUD NRI 1945 tepatnya di pasal 22, Presiden memiliki hak untuk membentuk Perppu sebagai pengganti UU dengan catatan dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Dan kemudian dijelaskan di ayat (2) bahwasannya Perppu tersebut harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar dapat disahkan dan diberlakukan. Artinya, walaupun disini Presiden yang berwenang membentuk Perppu sebagai pengganti UU, DPR sebagai legislator lah yang menjadi penentu apakah Perppu tersebut dapat berlaku. Lantas, bagaimana sebenarnya proses pembentukan Perppu mulai dari pengajuannya hingga berlakunya?
Tata cara pembentukan Perppu sendiri telah diatur dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Presiden No. 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011. Adapun tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Presiden menugaskan penyusunan rancangan Perppu kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Perppu tersebut.
2. Dalam penyusunannya, menteri tersebut berkoordinasi dengan menteri/lembaga pemerintah non kementrian dan/atau pimpinan lembaga terkait
3. Rancangan Perppu yang telah selesai disusun oleh menteri disampaikan kepada Presiden untuk diteteapkan
4. Setelah Perppu ditetapkan oleh Presiden, menteri yang membantu menyusun Perppu tersebut menyusun rancangan penetapan Perppu menjadi UU
5. Hasil dari pembahasan rancangan Perppu menjadi UU kemudian disampaikan oleh menteri penyusun kepada Presiden
6. Presiden mengajukan rancangan tersebut kepada DPR
7. Jika rancangan tersebut mendapat persetujuan daripada DPR, maka Perppu tersebut akan ditetapkan menjadi UU
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, pada pokoknya Perppu hanya dapat ditetapkan oleh Presiden apabila persyaratan “kegentingan yang memaksa” itu terpenuhi sebagaimana mestinya. Keadaan darurat dapat dikategorikan dalam kegentingan yang memaksa apabila berada dalam kondisi innere notstand (keadaan darurat yang bersifat internal), keadaan ini dapat timbul berdasarkan penilaian Presiden sendiri sebagai pemegang tugas-tugas kepala pemerintahan tertinggi atas keadaan negara dan pemerintahan yang dipimpinnya. Jika timbul keadaan yang demikian genting dan memaksa, baik karena faktor-faktor yang bersifat eksternal ataupun karena faktor-faktor yang bersifat internal pemerintahan, yang hanya dapat diatasi dengan menetapkan suatu kebijakan yang berbeda dari apa yang diatur dalam undang-undang, maka untuk mengatasi keadaan itu, Presiden diberi kewenangan berdasarkan ketentuan pasal 22 ayat (1) untuk menetapkan Perppu sebagaimana mestinya. Artinya, kondisi innere notstand menjadi latar belakang adanya wewenang Presiden dalam membentuk suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
ADVERTISEMENT
Dalam membentuk sebuah peraturan perundang-undangan, ada beberapa asas yang harus diperhatikan serta diwujudkan dalam setiap materi muatan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa ada 10 asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang harus diwujudkan dalam setiap aspek materiil peraturan perundang-undangan. Asas-asas tersebut yaitu:
1. Pengayoman;
2. Kemanusiaan;
3. Kebangsaan;
4. Kekeluargaan;
5. Kenusantaraan;
6. Bhinneka tunggal ika;
7. Keadilan;
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Asas-asas tersebut lah yang menjadi acuan dasar pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan perundang-undangan yang memenuhi dengan baik asas-asas yang termaktub dalam pasal 6 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada pembentukan isi peraturan perundang-undangan, seharusnya dijalani perpaduan yang harmonis antara preferensi politik hukum atau rechtpolitiek dan sosiologi hukum atau rechtsoziologie. Melalui politik hukum, perlu merumuskan ide-ide dasar, basis, sistem dan tujuan hukum yang hendak dibangun dan berkorespodensi dengan kondisi-kondisi objektif kebutuhan masyarakat yang dapat dilakukan penajaman melalui konsep-konsep sosiologi hukum. Konsep-konsep tersebut bertujuan agar secara formal sebuah peraturan perundang-undangan dapat berlaku diterima (acceptance) oleh masyarakat, serta adanya kesesuaian antara peraturan perundang-undangan baik secara vertikal ataupun horizontal sebagai jaminan kepastian hukum dan tidak terdaptnya pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.
ADVERTISEMENT

B. Problematika Perppu Cipta Kerja

Pada tanggal 30 Desember 2022, pemerintah resmi mengeluarkan Perppu No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Alasan dibentuknya Perppu ini tak lain adalah karena adanya sejumlah keadaan mendesak seperti antisipasi terhadap kondisi ekonomi global. Dari awal pengesahannya, Perppu ini mengalami banyak permasalahan. Lahirnya Perppu ini menuai banyak komentar protes, salah satunya datang dari mantan ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie. Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil. Melalui putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun. Namun alih-alih melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik, Presiden malah mengeluarkan Perppu No. 2 tahun 2022 (Perppu Cipta Kerja) dengan alasan karena adanya kegentingan yang memaksa dalam mencegah krisis ekonomi.
ADVERTISEMENT
Secara empiris, pembuatan Perppu tergolong sulit untuk dilakukan mengingat harus ada kajian yang cukup untuk menggambarkan kondisi genting sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945. Sehingga, pembuatan Perppu harus melibatkan partisipasi publik agar terciptanya Perppu tidak menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat.
Perppu cipta kerja sendiri merupakan peraturan formil yang disusun pasca putusan 91 MK yang menyatakan bahwa UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun oleh pemerintah. UU Cipta Kerja sendiri (UU No. 11 tahun 2020) disusun dengan konsep omnibus law. Dimana konsep omnibus law sendiri merupakan sebuah undang-undang yang mengatur dan mencakup berbagai jenis materi muatan yang berbeda yang mencakup semua hal mengenai suatu jenis materi muatan. Dalam putusan MK-91 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil, dikatakan bahwa konsep penyusunan omnibus law ini bertentangan dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahwa pembentukan UU Cipta Kerja dengan teknik Omnibus Law menyebabkan ketidak jelasan jenis undang-undang yang baru dibentuk, dicabut dan diubah karena digabungkannya ketiga metode tersebut dalam sebuah undang-undang. Sehingga hal tersebut bertentagan dengan teknik pembentukan judul undang-undang baru, pencabutan dan/atau perubahan undang-undang sebagaimana diatur dalam Lampiran II Poin A UU 12/2011. UU Cipta Kerja ini juga menunjukkan ketidakkonsistenan metode dan teknik dalam penyusunan undang-undang sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena pembentuk undang-undang dapat setiap saat melakukan perubahan terhadap metode dan teknik penyusunan undang-udang tanpa memiliki dasar hukum.
https://media.istockphoto.com/id/1335203542/id/vektor/dokumen-hukum-pengacara-atau-kantor-profesional-pengadilan-konsep-kertas-persetujuan-hukum.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=ek58H5m3CK8ON0J1Xixao557LR_dKTL0JCW3uN6phas=
Kemudian menyikapi putusan tersebut, pemerintah melahirkan Perppu No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian disahkan menjadi UU No. 6 tahun 2023. Pada Perppu ini, terdapat banyak problematika yang terjadi. Tak hanya problematika dari segi proses pembentukan, tapi dari segi materiil juga Perppu ini mengantongi banyak kekurangan khususnya dalam menjamin kesejahteraan tenaga kerja. Beberapa ketentuan tersebut antara lain:
ADVERTISEMENT
1. Pasal 81 Angka 15 Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja
Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja yang berbunyi bahwa “Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama”. Penggunaan frasa “tidak terlalu lama” ini mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang sebelumnya “tiga tahun” sebagai salah satu kriteria.
Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa “tidak terlalu lama” dan makin menipisnya kepastian waktu kerja bagi buruh (faktor dari kurangnya transparansi). Demikian juga perpanjangan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) misalnya, menyatakan dengan pengaturan ini buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek/tanpa periode/secara terus menerus/tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap.
ADVERTISEMENT
2. Pasal 81 Angka 42 Ketenagakerjaan, Pasal 154 A Pemutus Hubungan Pekerjaan (PHK), Pasal 172 Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja
Dengan diterbitkannya pasal ini, buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu contohnya, yakni ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154 A mengenai alasan pemutusan hubungan kerja. Alasannya, yakni pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan, maka buruh akan mendapatkan ancaman untuk di PHK. Pada pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan. Akan tetapi, ketentuan ini justru dihapus melalui UU Cipta Kerja sehingga buruh tidak mendapatkan pesangon tersebut.
ADVERTISEMENT
3. Pasal 64 Tenaga Alih Daya UU Cipta Kerja
Pasal ini dinilai bermasalah dan turut dikhawatirkan oleh Serikat Buruh sebab tidak ada penjelasan maupun batasan yang jelas mengenai penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing. Pasal ini dapat mengancam hak-hak para pekerja serta menciptakan ketidakpastian dalam hubungan kerja.
4. Pasal 79 dan Pasal 84 Cuti Panjang Tidak Lagi Wajib UU Cipta Kerja
Pemberian cuti panjang tidak lagi menjadi hal yang wajib bagi perusahaan, melainkan berbentuk opsional. Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 79 UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa cuti dan waktu istirahat yang wajib diberikan oleh perusahaan hanya cuti tahunan, istirahat antar jam kerja, dan libur mingguan. Selain itu, istirahat panjang hanya akan menjadi pilihan bagi perusahaan.
ADVERTISEMENT
5. Pasal 88C, 88D, dan 88F Upah Minimum UU Cipta Kerja
Munculnya “indeks tertentu” pada Pasal 88D ayat 2 Perppu Cipta Kerja dinilai semakin meyakinkan upah murah bagi para buruh. Upah minimum kota/kabupaten sebagai dasar upah minimum pekerja dihapuskan juga turut dihapuskan pada Pasal 88C. Pasal ini dapat mengancam kesejahteraan para pekerja, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal dan tidak tergabung dalam serikat pekerja.
6. Pasal 78 Waktu Kerja Lembur UU Cipta Kerja
Pada UU Ketenagakerjaan yang lama disebutkan bahwa waktu lembur bekerja maksimal cukup 3 jam per hari dan 14 jam seminggu, sedangkan dalam pasal ini jam lembur diubah menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. Pasal ini secara tidak langsung memaksa para pekerja untuk bekerja lebih extra dengan ketidakpastian tarif upah dan minimnya hak-hak yang akan didapatkan oleh para pekerja.
ADVERTISEMENT
7. Pasal 59 Ayat (4) Kontrak Seumur Hidup dan Pasal 79 Ayat (2) huruf (b) Pemotongan Waktu Istirahat UU Cipta Kerja
Pasal ini berpotensi membuat pekerja menjadi pegawai kontrak tanpa ada batas waktunya sebab aturan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja diatur oleh peraturan pemerintah. Waktu kerja menjadi tereksploitasi terhadap pekerja karena pada Pasal 79 Ayat (2) huruf (b) pekerja hanya diberikan waktu istirahat mingguan selama satu hari dan enam hari bekerja dalam sepekan, sedangkan di dalam UU Ketenagakerjaan yang lama diatur hari libur sebanyak dua hari dalam satu pekan.
https://media.istockphoto.com/id/1363994769/id/vektor/keseimbangan-lengan-yang-sama-buku-palu-dan-koin-dolar-as-di-atas-meja.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=Q3OXt6rG0uIo3GbcKg92PTGi9Q5a2maR1LkRHHYAFkU=
Meningkatkan investasi, meningkatkan efisiensi birokrasi, perlindungan kekayaan intelektual, serta memperkuat posisi Indonesia di persaingan global merupakan dampak yang diharapkan pemerintah dalam membentuk Perppu Cipta Kerja ini. Namun perlu diperhatikan lagi, bahwasannya pembentukan Perppu harus dilandasi oleh keadaan genting sebagaimana yang telah diatur dalam UUD NRI 1945. Tak sampai disitu, pembentukan Perppu ini bukannya mengatasi permasalahan genting tetapi justru mengancam hak-hak pekerja Indonesia. Tersirat makna dalam tiap pasal Perppu ini bahwa Negara ingin meningkatkan perekonomian dengan cara menekan pekerja dan memanja pengusaha serta investor. Negara ingin “memiskinkan” pekerja agar pengusaha dan investor mendapat laba maksimal sehingga perekonomian Negara meningkat. Tindakan Negara ini jelas bertentangan dengan pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Pembentukan Perppu bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilakukan. Perlu banyak pertimbangan yang rasional dan hati-hati. Karena Perppu sendiri memiliki kekuatan mengikat yang sama seperti undang-undang. Kewenangan Presiden sebagai pembentuk Perppu juga merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat penyalahgunaan kekuasaan dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup Negara. Perppu Cipta Kerja yang menimbulkan banyak problematika merupakan salah satu contoh Perppu yang secara formil mengalami kecacatan. Baik dalam proses pembentukan hingga materi muatannya yang cenderung tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Perppu Cipta Kerja kini sudah disahkan dan diundangkan dalam UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Sampai sekarang, banyak protes yang dilakukan para tenaga kerja yang dirugikan dengan adanya undang-undang ini. Belum ada tindakan nyata yang dapat dilakukan pemerintah dalam menyikapi semua tuntutat rakyat yang dirugikan imbas berlakunya undang-undang ini. Perlu diingat, bahwasannya penentu baik atau tidaknya sistem ketatanegaraan sebuah negara demokrasi terletak pada rakyatnya. Jika rakyat sejahtera, maka segala aspek ketatanegaraan demokrasi akan berjalan dengan baik. Namun sebaliknya, ketika rakyat mulai menentang pemerintahan, maka sistem ketatanegaraan itu tinggal menunggu akhirnya.
ADVERTISEMENT