Konten dari Pengguna

Manfaat Yang Tidak Bermanfaat: Hadirnya Utilitarianisme Dalam Putusan MK 90

Mehaga L Ginting
Mahasiswa Hukum Tata Negara FH USU
28 April 2025 14:22 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mehaga L Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Utilitarian mungkin akan mengupas sisi baik daripada hal yang kadang dinilai buruk. Utilitarian akan disebut berhasil apabila segala sesuatu itu kemudian mendatangkan manfaat bagi orang banyak, juga dapat kita katakan menimbulkan kebahagiaan bagi banyak orang. Bukankah ketika Gibran mencalonkan diri menjadi Calon Wakil Presiden, rakyat sebagian besar berbahagia?

Constitustional Court Of The Republic Of Indonesia. Sumber: Canva Design
zoom-in-whitePerbesar
Constitustional Court Of The Republic Of Indonesia. Sumber: Canva Design
ADVERTISEMENT
Tempo tahun kebelakang, kancah perpolitikan Indonesia dikejutkan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang selanjutnya disebut Putusan MK 90. Bagaimana tidak, putusan ini telah mengubah bagian penting dalam kontestasi politik yaitu syarat usia Calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti kontestasi pemilu tahun 2024. Almas Tsaqibbiru yang saat itu menjadi pemohon, dalam pokok permohonannya menyatakan bahwa diskriminasi usia atau “ageisme” adalah bentuk “stereotype” dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok karena umur mereka. Alasan permohonan ini menitikberatkan pada pendapat pemohon bahwa tak layak rasanya apabila undang-undang mereduksi hak warga negara dalam mencapai ruang-ruang pemerintahan hanya karena alasan usia. Pemohon juga menganggap bahwa usia bukanlah indikator utama apakah sesorang punya kualitas kepemimpinan yang baik atau tidak. Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang pemilu mengamanatkan bahwa calon presiden dan/atau calon wakil presiden berusia minimal 40 tahun. Pasal inilah yang kemudian menjadi objek permohonan pemohon. Sangat penting untuk diingat bahwa pandangan tentang ketetapan batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden sangat beragam, tergantung berkaitan dengan konteks sosial, politik, serta budaya yang ada. Sebagian kelompok masyarakat mengarahkan preferensi politik mereka dengan mempergunakan kepercayaan dalam agama sebagai dasar dan landasan untuk sikap serta kegiatan politik mereka.
ADVERTISEMENT
Gejolak protes langsung datang dari berbagai kalangan masyarakat setelah hakim MK mengetuk palu tanda dikabulkannya permohonan pemohon saat itu. Sehingga, calon presiden dan/atau calon wakil presiden yang berusia kurang dari 40 tahun dapat mencalonkan diri asalkan pernah terpilih sebagai kepala daerah pada pemilu. Hal ini tentu saja memuluskan jalan Gibran, yang namanya termaktub dalam berkas permohonan pemohon untuk maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Diksi “DINASTI” mulai naik dan berkembang menjadi kajian menarik di berbagai kalangan tak terkecuali kalangan warung kopi sekalipun. Namun, apakah dampak putusan ini seburuk itu? Apakah putusan ini murni indikasi bahwa Jokowi ingin mempertahankan kekuasaannya lewat putranya?
Jika melihat secara eksplisit, maka tak salah apabila terbersit dalam benak kita bahwa hadirnya putusan ini adalah hanya untuk mempertahankan kekuasaan Jokowi. Ya, wacana presiden 3 periode yang kemudian pernah digaungkan Jokowi, yang kemudian gagal karena Partai dan juga MK tak mengindahkannya. Lantas demikian, MK kembali dijadikan jalan untuk memuluskan langkah Jokowi. Kali ini bukan dirinya, melainkan putranya yang bermain. Namun, kita tak akan membahas strategi politis itu lebih jauh disini. Melainkan, kita akan lihat dan hubungkan fenomena ini dengan teori utilitarianisme Jeremy Bentham. Bagaimana putusan ini kemudian dihubungkan dengan utilitarianisme? Dan apakah sebenarnya putusan ini mendatangkan manfaat bagi sebagian besar orang seperti yang termaktub dalam teori utilitarianisme ini?
Utilitarianism Theory. Sumber: Canva Design
Jeremy Bentham memiliki pandangan yang sama dengan utilitarianisme klasik, tetapi dia menggali lebih dalam perihal mengapa pleasure dan pain dijadikan sebagai batu uji untuk menilai suatu tindakan/peristiwa/fenomena tertentu. Menurutnya, manusia adalah makhluk hidup yang selalu dibayang-bayangi oleh rasa kebahagiaan dan rasa sakit. Bayang-bayang ini yang nantinya akan menentukan perilaku mereka, contohnya dengan mengetahui bahwa manusia dibayang-bayangi dengan dua rasa ini, kita akan mengetahui apa motivasi seseorang melakukan tindakannya, apa yang mendasari seseorang menaruh harapan dan cita-citanya, dan kita juga akan mengetahui apa yang akan dia lakukan kedepannya. Semuanya pasti akan didasarkan atas kebahagiaan untuk dirinya, dan menghindari rasa sakit terhadap dirinya. Dalam hukum, utilitarianisme memiliki makna bahwa hukum yang baik adalah hukum yang kemudian dapat memberi dampak yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia. Dalam utilitarianisme, bermanfaat juga dapat berarti menyenangkan orang banyak, juga mendatangkan kebahagiaan bagi orang banyak.
ADVERTISEMENT
Secara kodrat, manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Oleh karena kebahagiaan merupakan tujuan utama manusia dalam hidup, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu perbuatan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois. Bentham kemudian mempunyai prinsip the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar) dan akhirnya menjadi jargon paham utilitarianisme.
Konsep utilitarianisme dapat diterapkan dalam penilaian keadilan dan efektivitas hukum dengan mempertimbangkan konsekuensi yang timbul dari keputusan hukum yang diambil. Sebelum membahas daripada perspektif filosofis Putusan MK 90, lebih baik rasanya apabila kita mengkaji terlebih dahulu terkait pokok-pokok hukum Putusan MK 90 tersebut. Almas Tsaqibirru yang saat itu menjadi pemohon menyatakan dalam pokok permohonannya bahwa pasal 169 huruf (q) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Dimana dengan berlakunya pasal tersebut, ia tidak dapat memilih Capres-Cawapres yang berusia dibawah 40 tahun, pun dengan berlakunya pasal tersebut, ia menilai bahwa pasal tersebut telah mendiskriminasi hak politik warga negara yang konstitusional berkenaan dengan kesamaan kedudukan di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Merujuk daripada aturan positif UU Pemilu juga, pemohon juga beranggapan bahwa sudah saatnya anak muda Indonesia ambil andil untuk memimpin bangsa. Hadirnya UU Pemilu sendiri telah mereduksi peluang tersebut sehingga anak muda tidak punya peluang untuk menjadi seorang pemimpin. Putusan MK 90 tersebut juga menambahkan frasa “pernah menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui Pemilu” yang mengindikasikan bahwa putusan ini semata-mata tidak menginginkan sembarang orang untuk maju sebagai kandidat orang nomor 1 dan orang nomor 2 di Indonesia, melainkan orang-orang yang memang punya kompetensi dalam memimpin. Utilitarianisme sejatinya menginginkan sebuah hukum ataupun produk daripada hukum itu mendatangkan manfaat sebesar-besarnya untuk manusia. Sehingga, secara tersirat utilitarian tidak selalu menghendaki kebenaran. Inilah yang kemudian hadir pada putusan MK 90 ini. Putusan ini bermanfaat bagi kepentingan politis tertentu, namun mengesampingkan kebenaran pada praktikalnya. Nepotisme murni tampaknya telah lahir di negara demokrasi karena lahirnya putusan ini. Utilitarian kadang sarat akan kepentingan, layaknya politik hukum yang juga sarat akan kepentingan. Artinya, tak selalu kebermanfaatan hukum itu murni semata-mata untuk kebahagiaan manusia, tetapi juga untuk kepentingan manusia yang menjadikannya bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Kemudian mengapa utilitarian yang hadir pada putusan MK 90 ini dapat mempengaruhi politik ketatanegaraan yang konstitusional? Ada beberapa hal utama yang menjadi alasannya. Pertama, karena hal mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan aspek politik yang diatur dalam konstitusi. Kedua, karena pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan langkah awal bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi untuk menentukan arah negara. Ketiga, karena tindak-tanduk hukum, sosial, politik, budaya, dan lain sebagainya pastinya ditentukan oleh siapa yang menjadi patronnya, yaitu presiden dan wakil presiden. Sehingga, putusan MK ini sangat mempengaruhi “perjalanan tata negara” Indonesia ke depannya.
Lantas, bagaimanakah agar utilitarian ini dapat diterapkan untuk kemanfaatan secara universal? Mengingat bahwa kemanfaatan hukum tak dapat diwujudkan secara universal karena dalam hukum, terdapat kepentingan umat manusia yang berbeda-beda. Tidak ada jawaban pasti mengenai pertanyaan ini. Karena kembali lagi kepada pendekatan kepentingan bahwa manusia punya kepentingan yang berbeda-beda sehingga amat sulit bahkan hampir mustahil untuk menyelaraskan makna kemanfaatan secara universal bagi manusia. Di negara demokrasi, segala keputusan dan tindak-tanduk hukum dan politik pastinya akan selalu mengikuti kehendak mayoritas. Mayoritas, tidaklah semuanya melainkan sebagian besar. Artinya, ada individu maupun kelompok yang tidak dipenuhi kehendaknya. Bagaimana kemanfaatan universal dapat hadir apabila masih ada manusia yang tidak bisa merasakan kemanfaatan itu? Pertanyaan ini masih menjadi diskursus hingga kini. Artinya, tidak ada jawaban pasti serta konkret mengenai pertanyaan ini. Namun, utilitarian wajib hadir dalam tiap aspek substansial daripada hukum itu sendiri sehingga dalam pelaksanaannya, hukum itu dapat “berjalan” dalam “lorong” terang yang mencerahkan kehidupan manusia. Sehingga, terciptalah secara sempurna implementasi daripada tujuan hukum sebagaimana dicetuskan oleh Gustav Radbruch.
ADVERTISEMENT