Konten dari Pengguna

Mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi

Mehaga L Ginting
Mahasiswa Hukum Tata Negara FH USU
25 Agustus 2024 12:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mehaga L Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Menganulir putusan Mahkamah Konstitusi sama halnya dengan pembangkangan Konstitusi.

Ilustrasi Peradilan. Sumber: Canva Design
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Peradilan. Sumber: Canva Design
ADVERTISEMENT
Pilkada serentak 2024 menjadi pilkada yang “cukup seru” untuk dibicarakan. Berbagai dinamika terjadi mewarnai konstelasi pilkada 2024. Pilkada, sebuah kegiatan politik yang sering diklaim sebagai sebuah pesta demokrasi justru saat ini tak mencerminkan sifat demokrasi itu sendiri. Semua berawal dari konstestasi pemilu 2024 yang juga ramai menimbulkan gejolak protes di kalangan masyarakat hingga mahasiswa. Namun, perhatian publik yang besar tertuju pada konstelasi pilkada 2024 yang dimana sosok “tukang kayu” seolah ingin mengabadikan kekuasaannya, tak hanya di eksekutif tetapi juga legislatif dan yudikatif.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan sebuah putusan yang “merevisi” UU Pilkada dimana salah satu poinnya memuat syarat umur calon kepala daerah. Dimana di poin tersebut, MA memutus bahwasannya calon gubernur dan calon wakil gubernur harus berumur minimal 30 tahun pada saat pelantikan. Sedangkan sebelumnya UU Pilkada menyatakan bahwa calon gubernur dan/atau wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun pada saat pendaftaran dirinya sebagai calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur. Dengan adanya putusan ini, putra bungsu Jokowi dapat maju menjadi calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur. Setelah sebelumnya Mahkamah Konstitusi dengan putusan 90-nya meloloskan Gibran menjadi calon wakil Presiden yang dimana saat ini Gibran telah terpilih sebagai wakil presiden Republik Indonesia, kini giliran MA yang “melicinkan” jalan bagi Kaesang untuk maju sebagai calon kepala daerah. Tercium sangat pekat upaya pembentukan “dinasti” politik oleh “Jokowi’s Circle”.
Ilustrasi Hukum. Sumber: Canva Design
Kemudian baru-baru ini muncul putusan 60&70 MK yang memuat tentang ambang batas pengusung calon kepala daerah dan juga memuat syarat umur yang sebelumnya telah diputuskan MA. Dalam putusan MK tersebut, partai yang ingin mengusung calon kepala daerah tak harus memiliki kursi di DPRD setelah sebelumnya di UU Pilkada, partai politik yang ingin mengusung calon kepala daerah wajib memiliki persentase kursi minimal sebanyak 20% di DPRD. Partai politik yang ingin mengusung calon kepala daerah wajib memenuhi ambang batas suara sah di daerah yang bersangkutan. Sehingga melalui putusan tersebut, Partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD pun dapat mengusungkan calonnya di kontestasi pilkada dengan catatan partai politik tersebut harus memenuhi ambang batas perolehan suara sah di daerah yang bersangkutan. Sehingga dengan ini, partai-partai politik kecil dapat mengusung calonnya dan konsep demokrasi pun terejawantahkan dengan baik dan sempurna.
ADVERTISEMENT
Putusan MK tak hanya berhenti sampai disitu. MK juga menaggapi tentang ambang batas umur calon kepala daerah yang sebelumnya telah diputuskan oleh MA. MK melalui putusan 70-nya menyatakan bahwa calon gubernur dan/atau wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun pada saat pendaftaran dan penetapannya sebagai calon gubernur dan/atau wakil gubernur. Secara hirarkis, MK memiliki wewenang untuk menguji UU dibawah UUD terhadap UUD. Dalam UU No. 12 tahun 2011 sendiri, UUD memiliki kedudukan paling tinggi dibandingkan dengan UU lainnya. Sehingga dapat kita pahami bahwasannya yang menjadi acuan MK dalam menguji UU adalah UUD, norma hukum tertinggi yag notabenenya menjadi sumber daripada substansi UU dibawahnya. MA sendiri juga memiliki wewenang dalam menguji UU. Namun bedanya, MA mengacu pada UU. Sehingga dalam melakukan uji UU, MA berwenang untuk menguji UU dibawah UU dan acuannya adalah UU. Dari sini sudah jelas tergambar bahwa MK memiliki kedudukan “Judicial Review” yang lebih tinggi dari MA.
Law & Politics. Sumber: Canva Design
Putusan MK sendiri bersifat Erga Omnes. Erga Omnes sendiri berarti mengikat semua pihak terkait. Dalam hal putusan MK ini, tak hanya mengikat pihak pemohon dan termohon saja. Melainkan lembaga terkait, yaitu KPU. Karena UU yang diuji adalah UU pilkada, maka KPU memiliki kaitan dengannya. KPU wajib untuk menjalankan putusan MK ini dengan memuatnya pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pilkada serentak 2024. Jika tidak, selain melangkahi konstitusi, KPU juga dapat dikenai pelanggaran etik. Begitulah eksitensi dari asas Erga Omnes ini.
ADVERTISEMENT
Saat ini, pengawalan putusan MK yang progresif dan revolusioner ini perlu kita lakukan demi menciptakan pilkada yang adil dan demokratis. Jangan sampai dengan lengahnya kita, elit-elit politik yang memiliki keuasaan untuk menciptakan produk politik yaitu hukum menjadi semena-mena. PKPU yang akan dibentuk dalam waktu dekat harus memuat putusan MK! Kawal sampai menang!