Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menilik Lebih Dalam Hak Asasi Manusia
11 Agustus 2024 9:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mehaga L Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
HAM, sebuah hal yang masih terus diperjuangkan hingga saat ini. Patutkah ia diperjuangkan di tengah-tengah kehidupan bernegara? Bukankah saat ini saja Negara kerap mengabaikannya?
ADVERTISEMENT
Manusia merupakan makhluk sosial yang notabenenya pasti akan selalu berhubungan dengan makhluk lainnya. Dalam menjalankan kodratnya sebagai makhluk sosial, tentu manusia mempunyai hak dan kewajiban. Secara hirarkis, kewajiban memang yang paling utama dan pertama untuk dituntaskan. Setelah kewajiban terpenuhi, barulah manusia dapat menuntut haknya. Kemudian muncul istilah yang disebut “Hak Asasi Manusia” yang hakikatnya merupakan hak-hak dasar manusia sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial. Di berbagai negara, hak asasi manusia telah diakui dan dijamin dalam hukum positifnya. Tak terkecuali di Indonesia yang telah mengakui serta menjamin hak-hak asasi manusia melalui konstitusi sehingga dalam setiap kegiatan penyelenggaraan kehidupan bernegara baik itu penegakan hukum maupun aktivitas politik, Negara selalu mengedepankan hak-hak asasi manusia. Seperti apakah Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM itu?
ADVERTISEMENT
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang dimiliki manusia karena semata-mata ia adalah manusia. Manusia memiliki hak asasi bukan karena diberikan oleh manusia lain ataupun diberikan melalui hukum positif, melainkan karena martabatnya sebagai seorang makhluk hidup. Sehingga walaupun berbeda ras, suku, warna kulit, aliran politik, hingga kewarganegaraan, manusia tetap memiliki hak-hak tersebut. Oleh karena itulah, HAM berlaku secara universal. HAM sendiri tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun. Walaupun manusia berperilaku bengis atau buruk sekalipun, hak-hak dasarnya sebagai seorang manusia tak bisa dikurangi karena HAM merupakan hak kodrati manusia sebagai makhluk insani.
Kemudian muncul banyak sekali perdebatan mengenai substansi hak kodrati ini. Ketika seseorang menghilangkan nyawa orang lain, ia tidak dapat dihukum setimpal dengan apa yang diperbuatnya mengingat dari teori hak kodrati tadi, bahwa hak-hak kodrati manusia tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun. Hal ini kemudian menjadi polemik panjang hingga saat ini. Pemberlakuan hukuman mati dalam hukum positif Indonesia hingga saat ini masih menimbulkan dialektika hangat di berbagai kalangan. Jika mengikuti teori hak kodrati diatas, jelas pemberlakuan hukuman mati ini menyimpang dari teori tersebut. Namun, apakah perlu untuk menyimpangi hak kodrati manusia untuk menegakkan keadilan?
ADVERTISEMENT
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita belajar tentang perkembangan pemikiran HAM terlebih dahulu. Karel Vasak, seorang ahli hukum asal Prancis telah mengembangkan pemikiran tentang HAM dengan membaginya menjadi beberapa bagian yang ia sebut dengan “Generasi”. Pembagian yang dilakukannya merujuk daripada semboyan terkenal Revolusi Prancis yaitu Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan. Menurutnya, semboyan daripada Revolusi Prancis inilah yang merepresentasikan HAM itu sendiri. Generasi pertama yaitu Kebebasan merupakan HAM yang sering disebut HAM klasik. HAM ini merujuk kepada hak sipil dan politik yang bebas ataupun merdeka dari absolutisme kekuasaan Negara. Sehingga HAM ini dimiliki oleh manusia tanpa adanya campur tangan Negara di dalamnya. HAM ini sejatinya merupakan hak individual manusia yang dimana hanya individu masing-masing yang bebas menggunakannya sehingga dalam hukum positif, penjaminan HAM ini ditandai dengan diksi “bebas untuk”.
ADVERTISEMENT
Kemudian generasi kedua yaitu Persamaan. Berbeda dengan generasi pertama yang merujuk kepada hak sipil dan politik, HAM ini merujuk kepada hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. HAM ini muncul dilatarbelakangi oleh tuntutan agar negara menjamin kesejahteraan hidup manusia sehingga HAM ini dipengaruhi oleh campur tangan Negara. Dalam hukum positif, penjaminan HAM ini ditandai dengan diksi “hak atas”. HAM inilah yang sejatinya mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik suatu Negara. Karena dalam upaya pemenuhan HAM ini, Negara wajib hadir untuk memberikan kepastian dalam mewujudkan ataupun memenuhi HAM ini. Generasi ketiga yaitu Persaudaraan merupakan HAM yang kemudian muncul akibat adanya tuntutan Negara terhadap hubungan internasional yang adil dan bermartabat. HAM ini berusaha menjamin setiap manusia dapat berhubungan dengan baik dengan sesamanya mengingat bahwa manusia sendiri adalah makhluk sosial. Ketiga “Generasi” HAM yang dikemukakan Karel Vasak tersebut kiranya jelas menggambarkan beragam HAM yang melekat pada diri manusia. Teori dasar perkembangan pemikiran HAM tersebut dapat membuat kita lebih mudah dalam mengklasifikasikan berbagai HAM yang ada.
ADVERTISEMENT
Kemudian kembali ke pertanyaan awal tadi. Perlukah sebenarnya menyimpangi hak kodrati manusia untuk mencapai keadilan? Pertanyaan ini hingga sekarang masih menjadi perdebatan yang tak berujung. Permasalahan yang menjadi sorotan saat ini adalah pemberlakuan hukuman mati di Indonesia baik secara hukum normatif maupun praktik. Secara filosofis, hak hidup merupakan hak kodrat manusia yang tak dapat dikurangi dengan alasan apapun. Sehingga merujuk dari teori hak kodrati, pemberlakuan hukuman mati jelas menyimpang. Namun ketika kasusnya menghilangkan ataupun merampas hak hidup orang lain, apakah pelaku dapat diperjuangkan hak asasinya mengingat ia yang terlebih dahulu telah merampas hak hidup orang lain? Penegakan hukum tak hanya dilihat dari perspektif pelaku, tetapi harus dilihat juga dari sisi korban. Begitulah argumen mereka yang mendukung hukuman mati ini.
Tak sedikit juga kalangan yang menentang atau kontra terhadap pemberlakuan hukuman mati ini. Dengan alasan seperti alasan moral/agama yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang berhak untuk mencabut hak hidup manusia. Ada juga alasan yang menyatakan bahwa masih rendahnya efektivitas penegakan hukum di Indonesia. Sistem peradilan yang lemah masih kerap mengakibatkan orang yang tak bersalah dihukum. Hak hidup merupakan hak kodrat yang paling dasar yang dimiliki oleh manusia sehingga tak sesiapapun dapat menguranginya, apalagi Negara yang notabenenya telah menjamin hak asasi ini.
ADVERTISEMENT
Dialektika hangat terus terjadi hingga detik ini. Sejatinya dalam mencapai keadilan materil, pelaku kejahatan yang telah merampas HAM orang lain haruslah diadili. Namun, apakah pelanggaran harus dibalas dengan pelanggaran? Bukankah hukum itu ada untuk membasmi pelanggaran? Elokkah apabila norma hukum menerapkan hukuman yang melanggar hak kodrat manusia? Hukum hadir di tengah-tengah manusia untuk memanusiakan manusia, bukan untuk membunuh manusia. Lex Samper Dabit Remedium, hukum selalu memberikan obat. Keadilan sejatinya hadir untuk “mengobati” manusia yang telah “sakit” sehingga ia bisa “sembuh” dan bisa kembali berbaur dengan masyarakat dan menjadi menusia yang lebih baik. HAM untuk kita, kita untuk HAM!