Konten dari Pengguna

Polemik Politik Keuangan Indonesia: Uang Pribadi Untuk Negara Hingga PPN 12%

Mehaga L Ginting
Mahasiswa Hukum Tata Negara FH USU
15 Januari 2025 11:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mehaga L Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Luasnya lingkup kajian politik menjadikan perputaran uang dan kegiatan ekonomi pun termasuk dalam kerja-kerja politik itu.

Hukum dan Keuangan. Sumber: Canva Design
zoom-in-whitePerbesar
Hukum dan Keuangan. Sumber: Canva Design
ADVERTISEMENT
Politik tak hanya sampai kepada makna mendapatkan kekuasaan dan menjalankan kekuasaan semata. Pun tak hanya sampai kepada menjalankan peraturan hukum sebagaimana menurut teori klasik Aristoteles. Luasnya lingkup kajian politik menjadikan perputaran uang dan kegiatan ekonomi pun termasuk dalam kerja-kerja politik itu. Seperti yang ramai diperbicangkan saat ini, yaitu isu penggunaan uang pribadi untuk keperluan acara-acara kenegaraan dan isu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%. Setidaknya, kedua isu ini merupakan isu politik keuangan karena sejatinya keduanya melibatkan kerja-kerja “perputaran” uang.
ADVERTISEMENT
Mari berbicara soal penggunaan uang pribadi untuk kegiatan-kegiatan kenegaraan. Kegiatan kenegaraan yang saya maksud disini bukanlah hanya sebatas pada kegiatan seremonial belaka, namun maknanya sampai kepada pelaksanaan program-program negara. Isu ini mencuat setidaknya dimulai pada saat Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto dalam kegiatannya bersama para menteri kabinet Indonesia Maju di Akademi Militer Jawa Tengah, menyampaikan bahwasannya kegiatan tersebut dibiayai oleh Prabowo sendiri memakai dana pribadinya. Setidaknya jika kita melihat lebih jauh, kegiatan tersebut melibatkan pejabat-pejabat negara (Menteri) pun kepala-kepala lembaga pemerintahan. Dan juga kegiatan tersebut dilakukan bertujuan untuk membekali mereka dala kerja-kerja pemerintahan kedepannya. Jelas sudah ini kegiatan kenegaraan ataupun program negara, yang seharusnya dibiayai oleh negara.
Kemudian satu lagi yang saat ini tengah ramai diperbincangkan, yaitu program Makan Bergizi Gratis (MBG). MBG ini merupakan program unggulan Prabowo untuk mengatasi gizi buruk pada anak melalui pemberian makan siang gratis kepada anak-anak dan juga ibu hamil. Sejatinya baik, namun mari kita berbicara soal pengaturan pembiayaan program ini. Sejatinya, program ini sudah dianggarkan melalui APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) 2025 dan seharusnya serta sepantasnya program ini haruslah dibiayai melalui APBN tersebut. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Nyatanya, hingga kini program ini dijalankan memakai dana pribadi Presiden. Heroik sekali Presiden kita. Beruntung kita punya Presiden yang tajir melintir.
ADVERTISEMENT
Sekilas, sangat heroik rasanya ketika Presiden mampu “Menyumbangkan” dana pribadinya untuk keperluan negara. Pun sekilas hal ini dirasa dapat menghemat pengeluaran kas negara. Namun nyatanya, hal ini menyalahi “aturan main” kenegaraan, pun berpeluang terjadi tindak pidana korupsi. Mengapa begitu?
Dalam sistem hukum di Indonesia, dikenal 2 jenis barang (harta, aset, dsb) berdasarkan kepemilikannya. Yaitu barang milik publik dan barang milik privat. Barang milik publik adalah barang yang dapat dinikmati dan dipergunakan oleh setiap orang sehingga tak ada seorangpun yang dapat menghalangi orang lain untuk mempergunakan ataupun menikmatinya. Sedangkan barang milik privat adalah barang yang hanya dapat dinikmati dan dipergunakan oleh orang yang memiliki barang tersebut. Sehingga orang lain yang tidak memilikinya tak dapat secara bebas mempergunakan ataupun menikmatinya. Pembatasan secara kontras terhadap kedua jenis barang ini berlaku dalam sistem hukum Indonesia. Khususnya dalam hal penganggaran negara. Program-program negara merupakan kerja-kerja pubik yang juga menggunakan dana publik untuk menjalankannya (pajak, retribusi, dll). Sehingga, sangat aneh rasanya apabila dana privat yang dipergunakan untuk membiayai program publik tersebut apabila dilihat dari segi hukumnya. Pun begitu dengan keprluan privat. Sangat jahat apabila dana publik dipergunakan untuk keperluan pribadi, dan itu adalah korupsi.
ADVERTISEMENT
Kendaraan bermotor yang menjadi sumber pajak. Sumber: Canva Design
Itulah yang kemudian menjadi titik permasalahan politik keuangan dalam isu ini. Dengan dipergunakannya dana pribadi pejabat tersebut untuk kepentingan negara, maka tak menutup kemungkinan suatu saat pejabat tersebut merasa layak untuk mempergunakan uang negara untuk keperluan pribadinya. Dalam menjalankan program kenegaraan, sangat diperlukan adanya trasnparasnsi anggaran. Dan apabila terdapat isu seperti ini, akan sangat sulit mencapai trasnparansi itu dan bahkan membuka peluang lebar bagi perilaku koruptif.
Kemudian bicara soal PPN 12%. Ya, amanat menaikkan PPN ini setidaknya merupakan amanat UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam uu tersebut, kenaikan PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah, bukan terhadap semua barang. Namun nyatanya, saat itu pemerintah ingin memberlakukan PPN 12% ini terhadap semua barang, bukan hanya barang mewah saja. Sehingga, kebijakan ini melahirkan gelombang protes besar-besaran oleh masyarakat Indonesia. Alhasil, di penghujung tahun 2024 lalu, pemerintah mengumumkan bahwasannnya PPN tidak jadi naik. PPN 12% hanya untuk barang mewah. Namun, terjadi “akrobatik” dalam kebijakan pajak ini. Pemerintah tak ingin mengabaikan ketentuan UU HPP tentang penerapan PPN 12%, apalagi membentuk UU baru, walaupun dalam UU HPP tidak terdapat frasa bahwa barang non mewah juga mendapat kenaikan pajak menjadi 12%.
Ilustrasi wajib pajak. Sumber: Canva Design
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) memberlakukan sistem penghitungan pajak barang non mewah dengan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12. Sehingga, penghitungannya menjadi harga barang x 11/12. Setelah hasil DPP tersebut didapat, maka masuk kepada rumus berikutnya untuk menetapkan besaran pajaknya, yaitu hasil DPP x 12%. Setelah hasilnya didapat, kita akan melihat bahwa hasilnya akan sama apabila tarif PPN masih 11%.
ADVERTISEMENT
Akrobatik itu membuat banyak masyarakat kemudian menjadi bingung. Harga-harga barang sudah terlanjur naik. Begitulah politik keuangan mengubah kehidupan masyarakat. Kerja-kerja pelaksanaan ketentuan hukum khususnya hukum yang mengatur keuangan negara sejatinya tak lepas dari peran politik di dalamnya. Namun, yang perlu kita kawal adalah bagaimana kemudian pelaksanaan politisasi ini bisa berjalan sesuai dengan amanat hukum yang berlaku.