Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Prinsip Ultra Petita Bagi Mahkamah Konstitusi
3 September 2024 7:00 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mehaga L Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kepastian hukum yang konstitusional adalah cita-cita negara yang harus diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK merupakan sebuah lembaga peradilan yang notabenenya merupakan lembaga yudikatif. Lembaga yudikatif sebagaimana terdapat dalam teori Trias Politica merupakan lembaga yang bebas untuk menjalankan kekuasaan kehakiman ataupun peradilan. Pada pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia, MK memiliki 5 kewenangan dalam menjalankan fungsi yudisialnya. Kelima wewenang tersebut diantaranya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, serta memutus sengketa hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
ADVERTISEMENT
Ketentuan mengenai “tugas” MK ini dipisahkan dalam UUD. UUD memisahkan 5 kewenangan MK ini menjadi 2 bagian yaitu “Wewenang” dan “Kewajiban”. Pada pasal 24C ayat (1), dimuat ketentuan mengenai wewenang daripada MK. Sedangkan di ayat (2), dimuat mengenai kewajiban MK. Kewajiban MK sendiri yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Kenapa kemudian UUD memisahkannya? Karena dalam hal “kewenangan”, MK disini boleh untuk menolak permohonan pemohon atau dengan kata lain, MK mempunyai hak kuasa mutlak untuk menolak ataupun menerima permohonan perkara oleh siapapun. Sedangkan dalam hal “kewajiban”, MK disini wajib menyidangkan perkara pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden atas pendapat DPR serta memutusnya. Artinya, MK tak boleh menolak penyidangan perkara ini. Sedangkan dalam konteks “kewenangan”, MK memiliki hak penuh untuk menolak ataupun menerima perkara untuk disidangkan.
Kita ketahui bersama bahwa dalam setiap perkara hukum, putusan merupakan tahap akhir dari setiap rangkaian acara formil persidangan. Tak terkecuali dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dalam melakukan persidangan baik itu perkara pengujian undang-undang, sengketa kewenangan lembaga negara, perselisihan hasil pemilu, dan perkara-perkara lainnya yang masih menyangkut wewenang dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri, putusan merupakan tahap akhir dari rentetan acara persidangan. Putusan MK sendiri bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun dalam menyikapi putusan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, ada satu prinsip yang bisa dikatakan mencolok dari aspek putusan Mahkamah Konstitusi yaitu adanya prinsip Ultra Petita. Ultra Petita sendiri terdiri dari 2 kata yaitu “Ultra” dan “Petita”. “Ultra” berarti melampaui, melebihi, atau melewati batas. Sedangkan “Petita” sendiri berarti hal yang dimohonkan (permohonan) dalam sebuah perkara hukum. Sehingga “Ultra Petita” berarti melampaui apa yang dimohonkan. Dalam sebuah perkara hukum khususnya perkara perdata, hakim tak boleh memutus melebihi daripada apa yang dimohonkan. Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) Rechteglement voor de Buitengewesten (RBg). Prinsip Ultra Petita ini tak bisa diterapkan dalam perkara perdata dikarenakan putusan perkara perdata sendiri hanya mengikat pihak yang berperkara saja. Sehingga ketika hakim memutus perkara dengan prinsip Ultra Petita, maka itu akan merugikan pihak yang bersengketa.
Lain halnya dengan konteks putusan MK. Hakim MK boleh memutus perkara melebihi ataupun melampaui dari apa yang dimohonkan oleh pemohon. Salah satu contoh terjadi pada perkara pengujian UU No. 20 Tahun 2002 Tentang ketenagalistrikan dan juga perkara pengujian UU No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dalam perkara tersebut, MK membatalkan seluruh UU melalui Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 dan Putusan No. 006/PUU-IV/2006. Dalam permohonan perkara tersebut, pemohon hanya memohonkan beberapa pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD. Namun, MK malah membatalkan seluruh UU tersebut. Jelas jika kita merujuk dari larangan Ultra Petitum, MK jelas sudah melanggar ketentuan itu. Tetapi ketika kita berkaca kembali kepada wewenang MK yang salah satunya adalah menjamin agat ketentuan-ketentuan UU dibawah UUD tidak bertentangan dengan UUD itu sendiri, maka ketika prinsip Ultra Petitum ini diberlakukan, jelas akan berpotensi menghambat terwujudnya kepastian hukum yang konstitusional sehingga berpotensi juga mereduksi supremasi MK sebagai the guardian of constitution. Juga dalam perkara pengujian UU, putusan MK pasti akan mengikat secara umum (erga omnes). Jadi, putusan MK tersebut tak hanya mengikat pihak yang berperkara saja, tetapi mengikat secara umum karena yang diuji adalah UU yang notabenenya adalah sebuah produk hukum yang mengikat semua orang.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara pengujian UU KKR dan UU ketenagalistrikan tersebut, MK menilai bahwa pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji bertentangan dengan UUD. Juga, MK menilai bahwa jika hanya membatalkan pasal-pasal yang dimohonkan, eksistensi pasal-pasal tersebut masih akan tetap melekat dalam UU tersebut karena MK menilai bahwa pasal-pasal yang dimohonkan merupakan jantung dari UU itu sendiri sehingga pasal-pasal tersebut mempengaruhi operasional UU. Dengan demikian, terwujudlah sebuah kepastian hukum yang konstitusional bagi warga negara. Mahkamah Konstitusi haruslah berani dalam menyikapi perkara apapun karena tiap perkara yang datang kepadanya merupakan perkara yang akan mempengaruhi sistem ketatanegaraan. The Guardian Of Constitution bukanlah kata belaka.