Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Putusan No. 7/PUU-XI/2013, Penyelamatan 3 Lembaga Negara
8 September 2024 14:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mehaga L Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hak Konstitusionalitas wajib ditegakkan demi terciptanya kondisi ketatanegaraan yang baik dan sehat.
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 7/PUU-XI/2013 yang selanjutnya disebut putusan No. 7 MK tampaknya merupakan salah satu putusan terbaik yang boleh dikeluarkan oleh mahkamah konstitusi selaku lembaga peradilan yang menegakkan konstitusi. Dalam putusan ini, MK kembali menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal UU MK bertentangan dengan konstitusi. UU MK yang notabenenya mengatur MK itu sendiri tampaknya tidak mencerminkan konstitusionalitas dalam pengaturannya. Sehingga MK sebagai the guardian of constitution wajib untuk “membasmi” setiap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi, termasuk UU yang mengatur MK itu sendiri.
ADVERTISEMENT
UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan perubahan dari UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi topik diskusi hangat dalam isu ketatanegaraan saat itu. Setidaknya ada 2 perkara yang berkaitan dengan UU 8/2011 ini yaitu perkara 49/PUU-IX/2011 dan perkara 7/PUU-XI/2013. Ini membuktikan bahwa UU 8/2011 ini termasuk problematik dalam pengaturannya. Dalam perkara 7/PUU-XI/2013 yang akan kita bahas kali ini, MK melalui putusan No. 7-nya telah “menyelamatkan” hak konstitusional 3 lembaga negara yaitu Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden.
Pada perkara 7/PUU-XI/2013, kedua pemohon yang merupakan dosen mengajukan permohonan Judicial Review UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Konstitusi. Pada permohonannya, para pemohon merasa keberatan dengan adanya pasal 15 ayat (2) UU 8/2011. Pada pasal 15 ayat (2) huruf d, seorang calon hakim MK harus berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun. Kemudian pasal 22 UU 8/2011 menentukan bahwa dalam satu kali masa jabatan, hakim MK menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Kemudian pasal 23 ayat (1) huruf c UU 8/2011 menyatakan bahwa usia pensiun hakim MK adalah 70 tahun. Pasal-pasal tersebut menjadi pokok permohonan pemohon dalam upaya judicial review UU 8/2011 itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari ketentuan pasal-pasal diatas, jelas terdapat pertentangan mengenai pengangkatan calon hakim konstitusi. Jika usia maksimal untuk menjadi hakim MK adalah 65 tahun dan usia pensiun adalah 70 tahun, berarti peluang bagi hakim MK yang sudah berusia lebih dari 65 tahun ketika ingin menjabat untuk kedua kalinya menjadi tertutup. Juga ini mengakibatkan hakim MK yang telah berusia lebih dari 65 tahun yang sebelumnya dinilai berprestasi dan bekerja dengan baik, ketika ingin diajukan untuk menjabat kedua kalinya menjadi terhalang oleh karena ketentuan pasal 15 ayat (2) UU 8/2011 tersebut. Pemohon menilai bahwa ketentuan pasal 15 ayat (2) tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga dinilai bertentanagn dengan pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
ADVERTISEMENT
Maruarar Siahaan melalui kesaksiannya di depan persidangan menyatakan bahwa ketentuan dalam UU 8/2011 yang dijadikan dasar judicial review ini akan menjadi masalah ketika ketentuan tersebut tidak dimaknai sebagai pengangkatan hakim untuk pertama kalinya. Sehingga masalah timbul dari penafsiran bahwa ketentuan norma tersebut akan mereduksi hak seorang hakim konstitusi yang ingin menjabat untuk kedua kalinya. Tidak tertulis dengan jelas diksi “pengangkatan pertama” dalam pasal tersebut.
Sebelumnya, MK pernah menguji UU yang sama yaitu pada perkara 49/PUU-IX/2011. Dalam pasal 60 UU MK, menyatakan dengan jelas bahwa terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dilakukan pengujian kembali kecuali jika materi muatan dalam UUD yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Sehingga jika melihat secara eksplisit, maka perkara ini Ne Bis In Idem. Namun, kenapa MK menerima perkara ini? Karena materi muatan UUD yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pada perkara 49, dasar pengujian konstitusionalitas oleh para Pemohon adalah Pasal 28D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945. Sedangkan pada perkara 7, dasar pengujian konstitusionalitas oleh para pemohon adalah pasal 28D ayat (1) dan 28I ayat (2). Selain daripada dasar pengujian yang berbeda, isu konstitusionalitas kedua perkara ini juga berbeda. Pada perkara 49, isu konstitusionalitasnya adalah batas usia paling rendah untuk diajukan sebagai hakim konstitusi yaitu 47 (empat puluh tujuh) tahun, yang menurut para Pemohon perkara 49, seharusnya 40 (empat puluh) tahun sebagaimana ditentukan dalam UU MK sebelum perubahan. Sedangkan pada perkara 7, isu konstitusionalitas pada permohonan a quo adalah batas usia paling tinggi pada saat pengangkatan hakim konstitusi yang ditetapkan 65 (enam puluh lima) tahun. Dalam perkara a quo para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK tidak konstitusional secara bersyarat yakni jika tidak dimaknai “berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama”.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, MK menyatakan bahwa perkara ini tidak Ne Bis In Idem karena dasar pengujian dan isu konstitusionalitasnya berbeda. MK juga berpendapat bahwa ketentuan yang ada dalam pasal 15 ayat (2) UU 8/2011 tersebut akan mereduksi serta menghalangi hak konstitusional 3 lembaga negara yang berwenang untuk mengajukan hakim MK yaitu Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Dikarenakan ketika ketiga lembaga ini ingin mengajukan hakim MK untuk kembali menjabat satu periode berikutnya, maka mereka akan terhalang oleh ketentuan pasal 15 ayat (2) tersebut.
Akhirnya, Mahkamah Konstitusi mengucapkan amar putusan yang menyatakan bahwa ketentuan pasal 15 ayat (2) UU 8/2011 bertentangan secara bersyarat dengan UUD sepanjang tidak dimaknai, “Berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama” serta MK menyatakan bahwa ketentuan pasal 15 ayat (2) UU 8/2011 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama”. Sehingga MK mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
ADVERTISEMENT