Konten dari Pengguna

Urgensi Konstitusi: Hukum Yang Diabaikan

Mehaga L Ginting
Mahasiswa Hukum Tata Negara FH USU
28 Maret 2024 15:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mehaga L Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
https://media.istockphoto.com/id/1057169494/id/vektor/desain-datar-elemen-sistem-hukum.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=H-CembBsgW_CZuBbLCywjUQWX9Ld6qyDyNRZiZ-HUPo=
zoom-in-whitePerbesar
https://media.istockphoto.com/id/1057169494/id/vektor/desain-datar-elemen-sistem-hukum.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=H-CembBsgW_CZuBbLCywjUQWX9Ld6qyDyNRZiZ-HUPo=

Konstitusi pada dasarnya adalah hasil perjuangan politik ketatanegaraan yang berdarah-darah di masa lampau.

ADVERTISEMENT
Jika kita melihat konstitusi dari berbagai sudut pandang, maka terbersit di benak akan definiendum dari konstitusi itu sendiri. Layaknya istilah-istilah pada umumnya, konstitusi juga memiliki batasan atau arti tersendiri. Konstitusi menurut K.C Wheare adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk serta mengatur sistem pemerintahan suatu negara. Dengan begitu dapat kita ketahui secara jelas bahwasannya konstitusi merupakan kaidah hukum dasar suatu negara yang dimana ia berfungsi untuk mengatur sistem ketatanegaraan serta tata pemerintahan suatu negara. Secara luas, konstitusi juga berperan dalam upaya pembatasan tindakan penguasa baik dari yang paling tinggi hingga paling rendah. Sehingga dengan adanya konstitusi maka kegiatan ketatanegaraan akan berjalan sebagaimana mestinya.
Indonesia sendiri, sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pastinya memiliki konstitusi. Konstitusi Indonesia secara formil tertuang di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945. Dalam UU No. 12 Tahun 2012 Tentang hirarki peraturan perundang-undangan, UUD NRI menempati posisi tertinggi sebagai aturan hukum nasional Indonesia. UUD NRI 1945 sering mengalami perubahan ataupun amandemen.
ADVERTISEMENT
Pasca reformasi 1998, UUD NRI 1945 mengalami 4 kali amandemen. Amandemen pertama dilakukan pada tanggal 14-22 Oktober 1999 dalam sidang umum MPR. Pada amandemen pertama ini, ada perubahan yang dilakukan pada beberapa pasal yaitu:
ADVERTISEMENT
Kemudian pada tanggal 7-18 Agustus 2000 dalam sidang tahunan MPR, UUD NRI 1945 diamandemen untuk kedua kalinya. Dalam amandemen kedua, ada beberapa bab yang diubah yaitu:
Selanjutnya muncul amandemen ketiga yaitu tanggal 1-9 November 2001 tepatnya pada sidang tahunan MPR. Amandemen ketiga ini melahirkan beberapa perubahan diantaranya yaitu:
ADVERTISEMENT
Lalu pada tanggal 1-11 Agustus 2002, amandemen keempat dilakukan. Sejauh ini, amandemen keempat merupakan amandemen terakhir yang dilakukan terhadap UUD NRI 1945. Adapun hasil amandemen keempat adalah sebagai berikut:
Empat kali amandemen yang dilakukan pemerintah Indonesia menandakan bahwa konstitusi pada dasarnya tidak sempurna. Konstitusi itu adalah hukum, dan hukum seyogyanya bersifat progresif. Artinya, dia selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Konstitusi juga demikian. Ia mengikuti pergerakan ketatanegaraan.

Konstitusi Sebagai Hukum

Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam KBBI adalah sekumpulan aturan dan ketentuan mengenai sistem ketatanegaraan suatu negara. Ketatanegaraan yang dimaksud disini adalah organisasi kenegaraan, keududukan pemerintah, warga negara beserta kedudukan dan hak asasinya dalam negara. Konstitusi dikatakan sebagai hukum karena ia memuat segala norma atau kaidah yang bersifat mengatur serta berisi ketentuan tentang sistem ketatanegaraan. Ia erat kaitannya dengan hukum tata negara sendiri. Dimana salah satu objek kajian hukum tata negara adalah konstitusi itu sendiri. Hukum tata negara menggunakan konstitusi sebagai objek kajiannya karena konstitusi sendiri adalah kaidah hukum ketatanegaraan.
ADVERTISEMENT

Urgensi Konstitusi Sebagai Hukum

Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat. Pasal multi tafsir yang termuat dalam konstitusi Indonesia. Jika kita kaitkan dengan pelaksanaan sistem pemerintahan, maka diksi "kedaulatan berada di tangan rakyat" adalah sebuah kebohongan besar. Lembaga perwakilan yang dibentuk dengan tujuan menyuarakan aspirasi rakyat demi terlaksananya kedaulatan rakyat itu bukanlah sebuah lembaga rakyat. Nyatanya, setiap kebijakan pemerintah melalui lembaga perwakilan rakyat sangat sedikit yang benar-benar berpihak pada rakyat. Para wakil rakyat lebih membuka hati dan telinga mereka kepada pimpinan parpolnya. Jika rakyat mengatakan "A" dan pimpinan parpol memerintahkan "B", maka "B" adalah keputusannya. Pemilu yang selama ini kita lakukan untuk memilih wakil rakyat nyatanya sia-sia. Jika ingin menjadikan lembaga perwakilan sebagai representasi kedaulatan rakyat, maka hapus saja parpol. Wakil rakyat independen nyatanya lebih merepresentasikan kadaulatan rakyat yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
"Negara Indonesia adalah negara hukum" (Pasal 1 ayat (3)) UUD NRI 1945. Pasal ini dibuat karena Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang mendudukkan hukum pada posisi tertinggi serta segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada norma hukum yang berlaku. Hal ini sangat baik dari segi regulasi namun cacat dari segi implementasi. Pelanggaran berbagai norma hukum demi kekuasaan politik. Satu diantaranya adalah korupsi. Korupsi adalah sebuah trend baru dalam lingkar kekuasaan Indonesia. Korupsi adalah representasi dari matinya supremasi hukum sebagaimana dimuat dalam kosntitusi.
Kemudian dalam pasal 33 ayat (3) menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini multi tafsir khususnya terhadap masyarakat adat. Sebelum negara berdiri, sudah ada masyarakat adat dengan tanahnya beserta asetnya. Kemudian melalui konstitusi, negara seolah merampas apa yang sudah menjadi milik masyarakat adat itu sendiri. Diksi "dikuasai" tersebut terlalu menunjukkan bahwa negara ingin semena-mena menguasai apa yang bukan miliknya. Kemudian diksi "Digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat" merupakan sebuah tanda tanya besar. Penguasaan kekayaan alam yang dilakukan pemerintah Indonesia nyatanya hanya untuk kesejahteraan penguasa dan pengusaha saja. Jika kita lihat beberapa kasus perampasan tanah rakyat, maka kita akan lihat bagaimana negara dengan santainya tanpa dosa merebut tanah rakyat untuk membangun tambang yang pastinya akan merusak alam tempat tinggal masyarakat asli di tempat tersebut. Siapa yang diuntungkan? Sudah jelas pengusaha. Jika pasal tersebut sudah diaplikasikan dengan baik, maka tidak akan ada masyarakat miskin mengingat kekayaan alam Indonesia begitu banyak.
ADVERTISEMENT
Masih banyak lagi bentuk-bentuk urgensi konstitusi sebagai norma hukum dasar dalam sistem ketatanegaraan. Baru-baru ini mengenai pemilu juga, seorang presiden yang menyatakan cawe-cawe dimana sikap seperti ini bertentangan dengan asas Luberjurdil pemilu yang termuat dalam konstitusi tepatnya dalam pasal 22 E UUD NRI 1945.
Konstitusi adalah hukum dasar, dan sebagaimana hukum dasar merupakan acuan bagi peraturan perundang-undangan lainnya. Jika norma dasarnya saja diabaikan, bagaimana dengan norma hukum lainnya. Mungkin konstitusi tidak "sepadat" norma hukum lainnya. Tapi, "padatnya" norma hukum lainnya tak akan bisa tercapai apabila tak ada konstitusi. Konstitusi harus tetap hidup, meski penguasa menghendaki ia mati untuk selamanya.