Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Guyonaan Kurikulum Merdeka di Negeri Wakanda (Indonesia)
2 Oktober 2024 7:49 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Abdul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah hebohnya transformasi pendidikan di Indonesia, sebuah istilah yang mulai ramai diperbincangkan di kalangan guru dan orang tua adalah Kurikulum Merdeka. Bukan, ini bukan tentang negara Wakanda dari film Black Panther—meski kadang sensasi kurikulumnya terasa mirip. Kurikulum Merdeka ini adalah upaya baru pemerintah untuk mereformasi pendidikan di Indonesia agar lebih fleksibel, relevan, dan terarah. Meski tujuannya mulia, tidak sedikit yang merasa pendekatan ini terlalu ambisius, seolah sistem pendidikan Indonesia mencoba mengejar level super canggih ala Wakanda.
ADVERTISEMENT
Jadi, apa sebenarnya guyonan (atau seloroh) yang muncul terkait Kurikulum Merdeka ini? Mari kita bedah dengan santai namun serius, bagaimana dinamika perubahan kurikulum ini telah menimbulkan berbagai reaksi dan pendapat lucu di lapangan.
Merdeka Belajar, Merdeka Bingung
Salah satu guyonan yang kerap muncul dari para pendidik dan orang tua terkait Kurikulum Merdeka adalah, “Merdeka Belajar, Merdeka Bingung.” Maksud dari seloroh ini adalah bahwa meskipun kurikulum ini didesain untuk memberikan kebebasan kepada siswa dan guru dalam memilih metode belajar dan materi ajar, faktanya banyak pihak justru kebingungan dalam mengimplementasikannya.
Kurikulum Merdeka menawarkan berbagai jalur belajar dan pilihan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Di atas kertas, ini terlihat sangat menarik. Namun, di lapangan, para guru sering kali merasa tidak memiliki panduan yang jelas tentang bagaimana kebebasan ini diterapkan. Bagi sebagian guru, kebebasan tersebut berubah menjadi tantangan baru karena kurangnya pelatihan dan kesiapan infrastruktur. Jika Wakanda memiliki teknologi super canggih untuk mendukung sistem mereka, maka Indonesia sepertinya masih bergulat dengan masalah klasik seperti akses internet dan ketersediaan perangkat belajar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meski kebijakan ini memberikan fleksibilitas bagi siswa, tidak sedikit orang tua yang merasa bingung dengan peran mereka dalam mendukung proses ini. Jika biasanya pendidikan bersifat linier dan terstruktur, kini dengan berbagai pilihan dan proyek, orang tua menjadi lebih terlibat, tetapi tidak selalu memiliki pemahaman yang memadai untuk membantu anak-anak mereka.
Guru Ala-ala Superhero, Tapi Nggak Punya Vibranium
Di Wakanda, para pahlawan memiliki vibranium, bahan langka yang bisa memecahkan segala masalah. Namun, di dunia nyata, terutama di sekolah-sekolah di daerah pedalaman, para guru tidak memiliki teknologi super canggih. Alih-alih vibranium, para guru berjuang dengan semangat dan dedikasi—kadang disertai sedikit rasa frustrasi.
Dengan Kurikulum Merdeka, guru dituntut untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam menyusun rencana pembelajaran. Mereka harus mampu menyesuaikan pendekatan sesuai dengan kemampuan, minat, dan kebutuhan siswa. Dalam teori, ini adalah konsep yang hebat, tetapi dalam prakteknya, banyak guru merasa beban ini semakin berat. Beberapa dari mereka bahkan merasa seperti “superhero yang tidak punya senjata”.
ADVERTISEMENT
Tantangan infrastruktur seperti akses ke internet, alat peraga yang memadai, dan bahkan ketersediaan ruang kelas yang layak masih menjadi masalah bagi sebagian besar sekolah, terutama di daerah terpencil. Guru di sana sering kali merasa tertinggal, bahkan ketika kurikulum telah berubah secara drastis.
Dunia Pendidikan Ala Wakanda: Hebat di Kota, Lesu di Desa
Salah satu guyonan lain yang sering terdengar adalah tentang kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Di kota-kota besar, sekolah-sekolah dengan sumber daya yang memadai mungkin sudah mampu mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dengan baik. Di sana, teknologi tersedia, guru-guru mendapat pelatihan yang cukup, dan siswa terbiasa dengan gaya belajar yang interaktif.
Namun, bagi sekolah-sekolah di pelosok, hal ini bisa terasa sangat jauh dari kenyataan. Di sinilah guyonan tentang Wakanda muncul, seolah-olah dunia pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua: satu sisi canggih dan maju, sedangkan sisi lainnya masih tertatih-tatih dengan keterbatasan yang ada. Di Wakanda, mereka mungkin bisa membuat pesawat antigravitasi, tetapi di sini, ada sekolah yang bahkan belum punya akses listrik yang memadai. Perbedaan ini menjadi ironi yang sering dijadikan bahan bercanda oleh para pengamat pendidikan.
ADVERTISEMENT
Proyek Seru atau Proyek Beban?
Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih kontekstual dan relevan bagi siswa. Namun, tidak sedikit yang bercanda bahwa proyek-proyek ini kadang lebih menjadi beban daripada pengalaman seru. Di beberapa kasus, siswa mengeluhkan bahwa proyek-proyek yang diberikan justru terlalu rumit dan memakan waktu, sementara guru-guru sendiri tidak memiliki cukup waktu untuk memberikan bimbingan yang memadai.
Salah satu lelucon yang sering terdengar adalah, “Proyek ini seru di film Wakanda, tapi di sini malah jadi proyek beban.” Mungkin ini adalah sindiran halus bagi pelaksanaan kurikulum yang ideal di teori, tetapi masih membutuhkan banyak penyesuaian di lapangan.
Kesimpulannya, Kurikulum Merdeka adalah langkah besar dalam reformasi pendidikan di Indonesia. Meskipun dihadirkan dengan niat baik, berbagai tantangan dalam penerapannya menjadi bahan diskusi, canda, bahkan kritik di kalangan masyarakat. Seperti di Wakanda, keberhasilan sistem pendidikan tidak hanya bergantung pada kebijakan yang canggih, tetapi juga pada kesiapan infrastruktur, sumber daya manusia, dan yang terpenting, dukungan dari seluruh elemen masyarakat.
ADVERTISEMENT
Guyonaan yang muncul bukan semata-mata untuk mengkritik, tetapi sebagai pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan agar Kurikulum Merdeka benar-benar menjadi "merdeka" bagi seluruh pelaku pendidikan.