Konten dari Pengguna

Hilirisasi Korupsi dan Kultur Elitisme

Muhammad Abdul Aziz
Guru Pesantren, Div Riset dan Inovasi IAPPI dan Alumni Connect PPI Dunia
19 Januari 2025 14:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Abdul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hilirisasi Korupsi dan Elitisme I Dok: https://www.shutterstock.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hilirisasi Korupsi dan Elitisme I Dok: https://www.shutterstock.com.
ADVERTISEMENT
Korupsi dan elitisme telah lama menjadi dua sisi mata uang yang saling mendukung dalam konteks pemerintahan di Indonesia. Seperti air yang mengalir ke hilir, korupsi tak hanya mengalir dari atas ke bawah, tetapi juga menyebar dan memperkuat akar di berbagai lapisan masyarakat. Fenomena ini disebut sebagai "hilirisasi korupsi," yang mencerminkan bagaimana praktik korupsi dari kalangan elite akhirnya mencemari seluruh lapisan pemerintahan dan masyarakat. Dikombinasikan dengan kultur elitisme yang mengakar kuat di kalangan pejabat, hilirisasi korupsi menciptakan lingkungan yang subur bagi penyalahgunaan kekuasaan. Melalui data dan analisis, mari kita lihat bagaimana proses hilirisasi ini terjadi, dampaknya, serta strategi untuk menghentikannya.
ADVERTISEMENT
Hilirisasi Korupsi dan Peran Kultur Elitisme
Hilirisasi korupsi dapat dipahami sebagai proses bagaimana korupsi, yang biasanya dimulai dari kalangan elite atau pusat kekuasaan, terus menetes dan meluas hingga ke lapisan pemerintahan yang lebih rendah, bahkan hingga ke lingkungan masyarakat. Data dari Transparency International tahun 2023 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) sebesar 34 dari 100, menempatkannya di urutan ke-110 dari 180 negara. Meskipun berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dijalankan, posisi ini tidak banyak berubah dari tahun ke tahun, menunjukkan adanya tantangan besar dalam memberantas korupsi secara menyeluruh.
Korupsi di kalangan elite sering kali lebih sulit diatasi karena keberadaan kultur elitisme, di mana pejabat atau mereka yang berkuasa berada dalam lingkaran eksklusif yang sulit disentuh oleh masyarakat umum. Kultur ini tidak hanya memperlebar jurang sosial antara pejabat dan rakyat, tetapi juga menciptakan perlindungan bagi para pelaku korupsi. Sebagai contoh, laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2022 menyebutkan bahwa mayoritas kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melibatkan pejabat tinggi dan elite politik, terutama dalam pengadaan barang dan jasa serta penyuapan terkait jabatan.
ADVERTISEMENT
Korupsi di Hilir: Ketika Korupsi Jadi “Budaya”
Hilirisasi korupsi menyebabkan dampak negatif yang signifikan di tingkat bawah, seperti di lembaga-lembaga lokal, pemerintah daerah, hingga ke layanan publik yang langsung berinteraksi dengan masyarakat. Ketika praktik korupsi di kalangan atas dibiarkan atau bahkan dianggap "wajar," maka tindakan ini akan ditiru oleh pejabat-pejabat di level bawah. Inilah yang disebut sebagai “trickle-down corruption” — di mana praktik korupsi di kalangan elite mengalir ke bawah, hingga menjadi bagian dari “budaya” pemerintahan dan masyarakat.
Data dari laporan Bank Dunia tahun 2021 memperlihatkan bahwa korupsi di level bawah, khususnya di sektor pelayanan publik, menyebabkan biaya tinggi bagi masyarakat. Sebagai contoh, dalam layanan perizinan usaha atau dokumen kependudukan, masyarakat kerap diminta membayar biaya tambahan yang tidak resmi sebagai "pelicin" agar urusan mereka cepat selesai. Dampak dari korupsi yang telah "mengalir" ke lapisan bawah ini sangat luas, mulai dari menurunnya kualitas layanan publik hingga meningkatnya biaya hidup bagi masyarakat yang sudah rentan.
ADVERTISEMENT
Dampak dari Kultur Elitisme dan Korupsi yang Mengakar
Kultur elitisme yang melingkupi pejabat tinggi semakin memperparah situasi ini. Ketika para elite hidup dalam lingkungan yang eksklusif dan menikmati privilese, mereka cenderung terpisah dari realitas yang dihadapi masyarakat umum. Menurut survei Indikator Politik Indonesia (IPI) tahun 2023, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik berada pada titik rendah, dengan hanya sekitar 45% dari masyarakat yang percaya bahwa pejabat benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Hilirisasi korupsi dan kultur elitisme ini menciptakan persepsi bahwa pemerintah tidak dapat dipercaya, yang pada akhirnya melemahkan demokrasi.
Dampak lainnya adalah penurunan kualitas pemerintahan di daerah-daerah terpencil. Dengan mengalirnya praktik korupsi hingga ke tingkat lokal, pejabat daerah lebih tertarik untuk memperkaya diri daripada meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Kultur elitisme di pusat juga menyebar ke daerah, di mana pejabat daerah yang memiliki kekuasaan sering merasa lebih tinggi daripada masyarakatnya dan enggan mempertanggungjawabkan kebijakan mereka. Sebagai hasilnya, daerah-daerah tersebut terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketertinggalan yang sulit diputus.
ADVERTISEMENT
Memutus Rantai Hilirisasi Korupsi: Apa yang Bisa Dilakukan?
Memutus rantai hilirisasi korupsi dan meruntuhkan kultur elitisme membutuhkan reformasi yang berani dan menyeluruh. Beberapa solusi yang bisa ditempuh mencakup langkah-langkah berikut:
1. Reformasi Sistem Rekrutmen dan Promosi Pejabat
Menyaring dan mempromosikan pejabat berdasarkan meritokrasi, bukan kedekatan atau loyalitas politik, adalah langkah awal yang penting. Sistem berbasis meritokrasi akan memastikan bahwa posisi penting diisi oleh individu yang kompeten dan berintegritas, mengurangi kemungkinan adanya praktik korupsi.
2. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas
Setiap pejabat publik harus diwajibkan untuk melaporkan kekayaannya secara rutin, dan laporan ini harus dapat diakses oleh masyarakat umum. Transparansi ini perlu didukung dengan audit rutin yang dilakukan oleh lembaga independen untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
3. Peran Aktif Masyarakat dalam Pengawasan
Masyarakat dapat dilibatkan secara lebih aktif dalam pengawasan terhadap pejabat publik. Platform digital bisa dimanfaatkan untuk menciptakan sistem pengaduan yang mudah dan aman, di mana masyarakat dapat melaporkan adanya dugaan korupsi atau ketidakwajaran di kalangan pejabat. Dukungan teknologi, seperti aplikasi pelaporan korupsi yang dikelola secara independen, dapat memperkuat upaya ini.
4. Pendidikan Antikorupsi di Semua Tingkatan
Pendidikan antikorupsi harus dimulai sejak dini di sekolah hingga tingkat universitas, guna menanamkan nilai-nilai integritas dan menolak budaya elitisme. Program ini dapat diperkuat melalui pelatihan dan seminar yang berfokus pada etika kerja di kalangan calon-calon pejabat.
Pada intinya hilirisasi korupsi dan kultur elitisme adalah dua masalah yang saling menguatkan dalam konteks pemerintahan di Indonesia. Ketika para elite yang berada di pusat kekuasaan tidak memberi contoh yang baik, dampaknya meluas ke bawah hingga tingkat lokal dan meracuni berbagai lapisan pemerintahan. Fenomena ini tidak hanya memperburuk kualitas pelayanan publik, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah ini, reformasi yang terfokus pada meritokrasi, transparansi, akuntabilitas, dan pendidikan antikorupsi sangat diperlukan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia bisa memutus rantai hilirisasi korupsi dan membangun pemerintahan yang benar-benar melayani rakyat.