Konten dari Pengguna

Tahun Politik: Janji Manis, Realitanya Asam

Muhammad Abdul Aziz
Freelance Writer, Guru - Alumni Islamic University of Madinah, Master of Education, Div Pendidikan Alumni Connect PPI Dunia & Dai Standardisasi MUI
5 Oktober 2024 12:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Abdul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ikustrasi Tahun Politik I Foto: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ikustrasi Tahun Politik I Foto: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap kali tiba tahun politik, suasananya bagaikan karnaval yang penuh warna. Para politisi berjejer rapi seperti penjaja permen kapas, masing-masing menawarkan janji manis yang membelai telinga pemilih. Mulai dari pengentasan kemiskinan dalam satu malam hingga janji bahwa "semua akan bahagia," semua terdengar begitu menggugah selera. Namun, seperti halnya permen kapas, janji-janji ini begitu manis di lidah tetapi cepat sekali larut begitu kita menggigitnya. Di akhir tahun politik, realitas yang kita temukan justru cenderung lebih asam, bahkan pahit.
ADVERTISEMENT
Politisi dan Janji, Bagaikan Nasi Uduk dan Sambal Kacang
Politik dan janji manis seperti nasi uduk dan sambal kacang; tak terpisahkan. Namun, apa yang menjadi menarik adalah cara para politisi menggunakan janji-janji ini sebagai senjata andalan mereka. Sebuah studi dari Global Election Database (2022) menunjukkan bahwa 78% dari janji kampanye politisi di negara-negara demokratis tidak sepenuhnya terlaksana. Di Indonesia, survei dari Litbang Kompas pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa lebih dari 65% janji kampanye tidak terealisasi atau hanya terealisasi sebagian setelah 5 tahun masa jabatan.
Lucunya, meskipun sebagian besar orang sadar bahwa janji-janji politik sering kali tak lebih dari angan-angan, kita tetap saja memilih untuk percaya, atau setidaknya pura-pura percaya. Fenomena ini sebenarnya bisa dipahami secara psikologis. Dalam kajian psikologi politik, ada istilah wishful thinking bias, yakni kecenderungan kita untuk mempercayai sesuatu yang kita inginkan, meskipun bukti-bukti faktual tidak mendukungnya. Jadi, ketika politisi datang membawa janji-janji manis, otak kita secara otomatis memilih untuk memfokuskan perhatian pada imajinasi kita tentang dunia yang lebih baik, alih-alih kenyataan yang tidak menentu.
ADVERTISEMENT
Janji Ekonomi: Dari “Surga” ke Dunia Nyata
Salah satu janji paling umum yang dilontarkan dalam setiap kampanye adalah soal ekonomi. Siapa yang tidak ingin ekonomi yang stabil, pertumbuhan yang melonjak, dan lapangan kerja yang melimpah? Pada 2019, sebuah laporan dari Indonesia Economic Forecast mencatat bahwa lebih dari 70% dari semua janji kampanye di Indonesia berkisar pada isu ekonomi. Menariknya, setelah pemilu berakhir, angka pertumbuhan ekonomi jarang sekali sesuai dengan janji para calon. Dalam laporan tahun 2022 dari World Bank, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mencapai 5,3%, tetapi angka ini masih jauh dari proyeksi ambisius beberapa kandidat yang berani menjanjikan pertumbuhan hingga 7-8%.
Contoh lain adalah janji-janji terkait penurunan tingkat pengangguran. Pada masa kampanye 2019, beberapa kandidat menjanjikan penurunan angka pengangguran hingga setengah dari jumlah saat itu. Namun, data dari *Badan Pusat Statistik* (2023) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran hanya turun sekitar 1% dalam 4 tahun, dari 5,01% pada 2019 menjadi 4,3% pada 2023. Ini tentu jauh dari angka yang dijanjikan. Janji-janji seperti ini biasanya dilupakan begitu kursi kekuasaan sudah diduduki, seolah kita sedang menunggu film sekuel yang tidak pernah dirilis.
ADVERTISEMENT
Janji Infrastruktur: Jalan Tol Langit dan Kesejahteraan yang Terbang
Selain ekonomi, infrastruktur selalu menjadi daya tarik kampanye politik. Slogan-slogan tentang "membangun dari desa" atau "mempercepat pembangunan" selalu menyentuh hati pemilih. Kita dibombardir dengan peta-peta yang menampilkan rencana jalan tol baru, jembatan, dan proyek-proyek monumental lainnya. Pada pemilu 2019, janji terkait infrastruktur berkontribusi pada lebih dari 40% materi kampanye di Indonesia (Litbang Kompas, 2019). Namun, setelah pesta demokrasi selesai, kenyataan sering kali menunjukkan bahwa proyek-proyek tersebut berjalan lebih lambat dari ekspektasi, atau bahkan mangkrak di tengah jalan.
Kasus jalan tol adalah salah satu contoh menarik. Berdasarkan data dari Kementerian PUPR dari ratusan kilometer jalan tol yang dijanjikan pada kampanye pemilu, hanya sekitar 60-70% yang benar-benar terealisasi dalam periode 5 tahun. Sisanya? Tertunda, terhenti, atau bahkan tak pernah terdengar kabarnya lagi.
ADVERTISEMENT
Janji Manis untuk Rakyat, Asam untuk Dompet
Salah satu janji yang sering terdengar adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, baik melalui subsidi, bantuan langsung tunai, atau kebijakan-kebijakan pro-rakyat lainnya. Namun, kenyataannya, program-program ini sering kali dibebani oleh keterbatasan anggaran dan ketidakefisienan birokrasi. Sebuah studi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada tahun 2022 menyebutkan bahwa banyak program bantuan sosial yang dijanjikan dalam kampanye sering kali tidak tepat sasaran, atau terhambat oleh korupsi dan mismanajemen.
Di sisi lain, banyak janji manis untuk rakyat justru berujung pada kebijakan yang memberatkan, seperti kenaikan harga bahan pokok atau tarif dasar listrik. Ibaratnya, kita diberi permen saat kampanye, tapi setelah pemilu, kita ditagih untuk membayarnya—dan harganya lebih mahal dari yang kita kira.
ADVERTISEMENT
Mengapa Kita Selalu Tergiur?
Dengan semua janji-janji manis yang berujung asam ini, muncul pertanyaan: Mengapa kita tetap saja percaya? Alasannya mungkin sederhana: harapan. Politik selalu berhubungan dengan masa depan, dan masa depan adalah sesuatu yang kita semua harapkan lebih baik. Kita tahu realitas mungkin mengecewakan, tetapi kita tetap menaruh harapan di tangan politisi, meskipun sudah berkali-kali dikecewakan.
Dalam tahun politik, janji manis memang menjadi mata uang utama para politisi. Namun, sebagai pemilih yang cerdas, kita perlu lebih kritis. Alih-alih sekadar terbuai oleh janji yang memabukkan, mari kita dorong politisi untuk memberikan program yang realistis dan terukur. Lagipula, janji manis boleh saja, tapi kita tentu tak ingin berakhir dengan rasa asam di kemudian hari.
ADVERTISEMENT