Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Pelecehan Seksual Ravi Zacharias?

Meicky Shoreamanis Panggabean
Teacher-educator, penulis biografi Munir dan Basuki Tjahaja Purnama.
Konten dari Pengguna
13 Februari 2021 21:20 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meicky Shoreamanis Panggabean tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar:Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Gambar:Wikimedia Commons
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ravi Zacharias adalah apologist yang amat dihormati dalam kekristenan. Acaranya sering dipadati oleh puluhan ribu orang. Ravi mematahkan argumentasi kaum skeptik dan ateis, membawa ribuan orang percaya kepada Yesus Kristus, dan telah menulis 30-an buku.
ADVERTISEMENT
Ravi kerap berkhotbah di hadapan pemimpin dunia serta ngobrol dengan para syekh. Ia bahkan pernah berbincang-bincang dengan pemimpin Hamas.
Tahun 2017, seorang perempuan melaporkan bahwa Ravi melecehkannya secara seksual. Hal ini disanggah Ravi dan timnya yaitu Ravi Zacharias International Ministry (RZIM). Tahun 2020, beberapa bulan sesudah Ravi meninggal, muncul cerita serupa lalu RZIM menunjuk Miller & Martin PLLC untuk melakukan investigasi.
Kita mutlak harus bersimpati terhadap keluarga Ravi serta para korban. Dalam 12 halaman laporan firma hukum ini, Miller & Martin PLLC, menunjukkan bahwa laporan para perempuan itu benar.
Lalu, apa yang bisa orang Kristen pelajari dari peristiwa ini ?
1. Menyadari bahwa kita tak lebih baik dari Ravi.
ADVERTISEMENT
Banyak orang Kristen merasa mereka lebih baik dari Ravi karena dosa seksual dipandang lebih parah dibandingkan dosa jenis lain misalnya dosa ekologis atau dosa finansial. Dari segi dampak, dosa seksual kerap punya sifat paling destruktif. Di dalamnya ada banyak jenis diskriminasi: Diskriminasi kelas, ras, gender, dan lain-lain.
Namun, jika kita hendak mengulik subtansi dosa, semua dosa sesungguhnya mengandung inti serupa: Pelanggaran terhadap hukum Allah (1 Yoh 3:4).
2.Dalam konteks ini, percayalah pada pesan yang dibawa, bukan kepada si pembawa pesan.
Orang Kristen yang hilang iman karena kecewa terhadap Ravi mungkin berpendapat ‘Percayalah kepada sebuah pesan karena yang membawakan pesan tersebut bisa dipercaya’.
Pertanyaannya: Dipercaya dalam hal apa, oleh siapa, dan mengapa ia bisa dipercaya? Haruskah kita percaya terhadap orang kepercayaan seorang penipu, misalnya?
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika ada sosok yang dipercaya oleh banyak orang bodoh yang baik, apakah ia layak dipercaya? Apakah orang kepercayaan orang yang tidak bisa dipercaya, bisa dipercaya?
Seseorang pernah berkata,”Pemimpin adalah pembawa pesan sekaligus pesan itu sendiri.” Hmm…Pemimpin orang Kristen adalah Yesus dan bukan Ravi, betul begitu?
2x2 akan tetap 4 siapapun yang mengatakannya.
3. Sebelum percaya, lakukan evaluasi.
Sebelum percaya, entah obyek rasa percaya kita adalah si pembawa pesan atau pesan itu sendiri, berpikirlah dengan cermat. Yesus memerintahkan kita untuk mengasihiNya dengan segenap akal budi (Matius 22:37) sedangkan Tesalonika 5:21 mengatakan, ”Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
Iman Kristen bersifat rasional. Alkitab terbuka untuk diuji. Lee Strobel, Michael Licona, Nabeel Qureshi, sudah melakukannya. Mereka bimbang, berpikir, mencari, berdoa, dan tidak berhenti mencari sampai mereka mendapatkan. Keraguan yang berproses dengan baik membuat fondasi iman semakin kuat.
ADVERTISEMENT
4. Berpikir ulang,”Mengapa saya jadi Kristen?”
Jawaban orang Kristen bervariasi tapi biasanya terangkum dalam kalimat, ”Orang tua saya Kristen.” Padahal, itu adalah jawaban untuk pertanyaan ‘bagaimana’, bukan ‘mengapa’.
Sebagian orang Kristen malas berpikir dan memilih untuk meletakkan iman di atas pengalaman pribadi serta mukjizat. Padahal, Yesus adalah Pemikir Ulung.
Yesus membiarkan pendengarNya berproses untuk menemukan jawaban: Ia mengajukan pertanyaan a la buah simalakama (Lukas 20:4), menggunakan silogisme hipotetis (Matius 10:40), dan menerapkan a fortiari argument ketika bicara tentang hari Sabat (Lukas 13:15-16).
Yesus tidak mengabaikan logika. Beriman dengan cerdas adalah cara beriman yang dibutuhkan dalam era ini, era ketika semua keburukan rohaniwan bisa viral hanya dalam hitungan menit.
ADVERTISEMENT
Iman menipis karena perbuatan Ravi? Bertanyalah pada diri sendiri, ”Mengapa saya jadi Kristen?”
5. Mengakui rasa sakit korban.
Tahun lalu seorang mahasiswi diperkosa hingga hamil. Orang tua si mahasiswi minta anaknya memaafkan si pemerkosa. Ia tak diberi waktu untuk menyembuhkan luka. Padahal, apa sih yang didapat dari memaksakan diri memberi pengampunan selain perasaan bahwa diri sendiri sudah bersih dan siap masuk surga?
Hal ini kerap terjadi di kalangan umat Kristen. Mungkin ini pengaruh budaya instan: Biasa mengenyam hasil tanpa mengerti proses. Bisa juga, ini lebih tinggi tingkat kemungkinan terjadinya, penyebabnya adalah karena Yesus menyuruh pengikutNya untuk mengampuni dan mendoakan musuh.
Surat terbuka RZIM ditulis oleh Board of Directors RZIM (bit.ly/ravidua). Izinkan penulis menganggap mereka sebagai perwakilan RZIM sehingga untuk seterusnya penulis akan menggunakan istilah 'RZIM.'
ADVERTISEMENT
Dalam suratnya, RZIM mengakui rasa sakit korban, meminta maaf, dan menunjukkan simpati. RZIM menyampaikan bahwa mereka tak layak dimaafkan dan kalau pun korban bisa memaafkan, tentulah butuh waktu.
Kepekaan ini menunjukkan kematangan spiritual: Layak ditiru oleh sebagian orang Kristen yang yakin bahwa ayat Alkitab bekerja secepat kilat bagai magic.
6. Menjunjung tinggi etika.
Kita sering mendengar kalimat seperti ini, ”Payah, ke gereja tiap minggu tapi kelakuannya kayak begitu” namun tak pernah mendengar, ”Waduh, main bola setiap hari tapi kok tingkahnya seperti itu.”
Tuntutan moral terhadap orang yang aktif dalam kegiatan beragama memang sangat tinggi. Di Kristen apalagi. Jangankan menikah lagi, melirik pasangan orang lain saja sudah dianggap berzinah.
ADVERTISEMENT
RZIM menetapkan ekspektasi yang tinggi. Mereka paham bahwa keleluasaan Ravi dalam melakukan pelanggaran menunjukkan bahwa bukan hanya individu seorang Ravi yang bermasalah melainkan juga kultur kerja dan perangkat kebijakan di kantor.
Mereka juga menggandeng psikolog untuk memberi edukasi kepada para pemimpin tentang trauma korban dan menyewa konsultan untuk mereformasi struktur dan peraturan RZIM. Mereka aktif menolong korban untuk memperoleh keadilan dan menyembuhkan luka.
Mereka mempraktikkan standar etika yang tinggi. Surat terbuka RZIM mungkin akan jadi parameter: Setiap ada pemimpin lembaga agama melakukan kesalahan besar, tim dari pemimpin tersebut akan dituntut untuk bersikap setransparan dan seetis RZIM.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa RZIM telah menjalankan perannya sebagai garam dunia dengan sangat baik. Dan cara mereka yang amat terdidik dan elegan dalam menyelesaikan masalah sensitif ini, layak untuk dicermati dan dipelajari prinsip-prinsipnya.
ADVERTISEMENT
*Penulis tak memiliki latar belakang formal teologi. Tulisan lain terkait kekristenan:
Surat pernyataan RZIM dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia:
bit.ly/ravidua
Menelaah Surat RZIM tentang Pelecehan Seksual Ravi Zacharias
http://bit.ly/ravitiga
Orang Kristen dan Pekerja Rumah Tangga
http://bit.ly/OrangKristendanPRT