news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kapan Sebaiknya Anak Mulai Belajar Bahasa Inggris?

Meicky Shoreamanis Panggabean
Penulis biografi Munir dan Basuki Tjahaja Purnama.
Konten dari Pengguna
8 Juni 2021 6:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meicky Shoreamanis Panggabean tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertanyaan di atas, "Kapan sebaiknya anak mulai belajar bahasa Inggris?" kerap diajukan oleh orang tua di kota besar, terutama para ibu, yang anak-anaknya masih berusia di bawah lima tahun. Maklum saja, sebagian dari kita tentu familiar dengan ungkapan,”Anak kecil kalau belajar bahasa, cepet banget.”
ADVERTISEMENT
Seiring dengan berjalannya waktu, penulis merasa pertanyaan di atas semakin jarang diajukan. Mungkin karena bahasa Inggris di Indonesia oleh banyak keluarga, yaitu mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas, telah menjadi bahasa kedua bahkan pertama.
Pada umumnya dulu keluarga yang menetap di kota besar berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Bahasa ini berperan sebagai bahasa pertama dan bahasa daerah sebagai bahasa kedua atau sebaliknya.
Kini, keluarga-keluarga dari generasi yang lebih muda beralih menjadi intensif menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Mereka yang ekonominya mapan bahkan cukup banyak yang menjadikan Inggris sebagai bahasa pertama.
Hal di atas tak luput dari perhatian Siane Indriani dan Keren Angelia Gunawan saat berbicara tentang kapan sebaiknya anak menggunakan bahasa Inggris. Webinar ini diselenggarakan pada 8 Mei 2021 oleh Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan yang bekerja sama dengan Fonik Asyik dan Teachnspire.
ADVERTISEMENT
Siane menyampaikan bahwa 80% pertumbuhan otak pada anak usia dini lebih besar pada usia lahir sampai sebelum usia 8 tahun. Sisanya, sebanyak 20%, ditentukan selama sisa kehidupan mereka setelah masa kanak-kanak berlalu.
Anak sudah mampu membentuk kata dan kalimat yang lebih terstruktur di rentang usia 2-5 tahun dan mereka bisa mendengar dua bahasa yang berbeda sekaligus meresponi keduanya sejak usia 1 tahun.
Lebih jauh lagi, kandidat doktor Linguistik dari Universitas Atmajaya ini mengutip ucapan Piaget,”Kualitas menyerap otak dari anak-anak di antara usia 0-5 tahun (golden age) secepat sponge menyerap air.” Siane lalu menjelaskan bahwa anak kecil memang menangkap bahasa lain selain bahasa ibu lebih cepat dari orang dewasa.
Siane mendukung para orang tua untuk mengajarkan anak mereka bahasa Inggris sedini mungkin. Ia yakin lewat belajar bahasa Inggris anak-anak akan mempelajari sesuatu yang baru, sesuatu yang banyak berbeda dari apa yang mereka pelajari dari belajar bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kemampuan berpikir mereka juga akan bertumbuh. Selain itu, belajar bahasa baru, dalam hal ini bahasa Inggris, akan memberi mereka kesempatan untuk belajar menghargai orang lain.
Bagaimanapun, Siane mengingatkan agar sebaiknya anak belajar bahasa ibu dan bahasa Inggris secara seimbang. Ibu dari putri berusia 7 tahun ini menyarankan agar orang tua terlibat aktif dalam mengajarkan anak mereka bahasa Inggris.
Ia berpendapat demikian karena baginya ini adalah kesempatan emas untuk memiliki quality time dengan anak. Bahasa Inggris oleh anak kecil bukanlah sesuatu yang dipelajari secara formal melainkan dipraktikkan secara natural.
Siane memberikan beberapa strategi belajar untuk dilakukan si anak dengan orang tua, dua di antaranya adalah melakukan aktivitas bersama seperti mendongeng serta main tebak-tebakan.
ADVERTISEMENT
Fakta yang disampaikan Siane, yaitu bahwa anak kecil sangat cepat belajar bahasa, disetujui oleh Keren Angelia. Pendiri Fonik Asyik ini adalah guru di sebuah sekolah internasional.
Sebagian besar muridnya juga menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi di rumah.
Kendati setuju bahwa anak memiliki kemampuan luar biasa dalam mempelajari bahasa baru, Keren menekankan perlunya orang tua melakukan pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan apakah anak batita mereka akan diajak untuk dominan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa ibu.
Hal di atas perlu dilakukan antara lain karena adanya perbedaan terkait pendekatan belajar bahasa.Belajar bahasa ibu dan bahasa asing membutuhkan pendekatan yang berlainan dan ini berpotensi membingungkan anak.
Keren menjelaskan bahwa belajar lebih dari satu bahasa tidak serta merta membuat kita lebih pintar, tapi membuat otak kita lebih sehat, kompleks dan aktif. “Setiap anak berbeda-beda. Perkembangan bahasanya juga berlainan,”tuturnya.
ADVERTISEMENT
Keren lalu mengutip definisi bahasa ibu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu “Bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya.”
Kedua pembicara menjawab pertanyaan di atas, kapan sebaiknya anak mulai belajar bahasa Inggris, dengan alur penjabaran yang berbeda. Siane menggunakan beberapa riset untuk memotivasi orang tua bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan cara menyenangkan. Putri tunggalnya yang berusia 7 tahun cukup fasih berbahasa Inggris.
Adapun Keren adalah guru TK yang setiap hari menghadapi siswa dari berbagai kewarganegaraan. Ia melakukan penelitian tentang pengajaran bahasa Indonesia.
Dengan bantuan YSEALI (The Young Southeast Asian Leaders Initiative), bersama timnya Keren sedang menggodok lahirnya alat bantu untuk guru dan orang tua. Alat bantu ini kelak akan digunakan saat mengajarkan anak-anak bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bisa disimpulkan bahwa kendati mereka bicara dalam webinar yang sama, mereka memiliki pendapat yang berlainan bahkan berlawanan. Keduanya sama-sama menyodorkan hasil riset dan pengalaman pribadi masing-masing mendorong mereka untuk memegang gagasan yang mereka yakini benar.
Dan, tepat, inilah sisi menarik dari belajar untuk berpikir independen: Don’t let the others do the thinking for us. Olah saja data yang kita terima dengan cermat. Pertimbangkan secara matang jawaban mana yang lebih sesuai dengan kondisi kita. Begitu bukan?
com-Ilustrasi ibu dan anak sedang belajar dari rumah. Foto: Shutterstock
*Penulis adalah pengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pelita Harapan