Konten dari Pengguna

Mungkin, Sudah Saatnya Para Guru Aktif di LinkedIn

Meicky Shoreamanis Panggabean
Teacher-educator, penulis biografi Munir dan Basuki Tjahaja Purnama.
13 September 2020 8:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meicky Shoreamanis Panggabean tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Situs untuk profesional, LinkedIn. Foto: Robert Galbraith/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Situs untuk profesional, LinkedIn. Foto: Robert Galbraith/Reuters
ADVERTISEMENT
Oleh:Meicky Shoreamanis Panggabean*
LinkedIn adalah platform yang dijadikan media rekrutmen oleh HRD perusahaan dan dimanfaatkan sebagai digital portofolio oleh pencari kerja. Didirikan tahun 2003, tujuan LinkedIn dibangun adalah untuk pengembangan karier dan perluasan jaringan profesional.
ADVERTISEMENT
Hawa LinkedIn lebih segar daripada beberapa platform lainnya karena fungsi setiap platform memang berbeda. Ambillah Facebook sebagai contoh.
Inti Facebook adalah koneksi antar keluarga dan teman jadi postingannya variatif: Ada yang memuji dagangan kawan, share video kelinci, berbagi cerita soal liburan, netizen memprotes koruptor, dan sebagainya.
LinkedIn fokus pada urusan profesional. Ini alasan pertama kenapa guru-guru sebaiknya membuat akun di LinkedIn: Isinya fokus pada hal positif di wilayah profesional.
Tugas utama guru adalah membangun manusia jadi guru perlu hidup dalam atmosfer yang positif. Untuk membangun manusia, kita perlu energi positif, bukan?
Alasan kedua, guru bisa menambah pengetahuan dari praktisi perusahaan. Postingan mereka biasanya tidak bersentuhan langsung dengan pendidikan. Bagaimanapun, inti sari atau prinsipnya banyak yang bisa diaplikasikan di berbagai bidang termasuk pendidikan.
ADVERTISEMENT
Hampir semua yang mereka posting tidak ada di training pendidikan, sekeren apa pun training itu: Training Diploma Program di King’s College misalnya, salah satu sekolah IB terbaik di dunia.
Sama saja sih sebenarnya. Sekeren apa pun The World Economic Forum yang harga keanggotaan dan tiket masuknya minimal USD 87,000 per kepala, tak akan pernah di dalam acaranya para peserta membahas essential agreement atau penggunaan flashcards.
Di LinkedIn, kita bisa belajar soal manajemen perilaku dari petinggi perusahaan-perusahaan besar dan bisa mengintip isi kepala marketers, HRD, dan para eksekutif. Dengan demikian, kita tidak hanya berkutat dengan pedagogi atau kurikulum.
Semakin luas wawasan seorang guru, semakin banyak ide yang ia miliki untuk membuat pelajaran kian kontesktual.
ADVERTISEMENT
Alasan ketiga, kolom “Experience” dan “Education” sebagian pendidik berpotensi membuat kita iri. Inilah jenis iri yang idealnya dimiliki seorang guru: Iri yang muncul setelah mencermati kualifikasi profesional, bukan karena melihat penampilan luar serta harta seperti halnya ketika sedang main Instagram.
Alasan keempat, kita terkondisi untuk menjadi netizen yang baik. Pengguna yang berstatus social climber sangat mungkin risih untuk pamer foto dengan pejabat di LinkedIn. Hampir mustahil juga pengguna LinkedIn membuat postingan playing victim, memaki presiden, membuka aib rumah tangga, dan sejenisnya.
Ini menguntungkan kalau suatu saat kita mengajar soal internet safety, digital bullying, digital privacy, dan sejenisnya. Kita jadi punya platform yang bisa dijadikan contoh ke murid tentang etika berinternet.
ADVERTISEMENT
Jadi, mereka tahu bahwa kita melakukan apa yang kita ajarkan dan mengajarkan apa yang kita perbuat (we walk the talk and talk the walk).
Walau berprofesi sebagai pendidik, kita bisa saja sesekali (atau berkali-kali?) terpeleset jadi netizen yang buruk di platform selain LinkedIn. Untuk bersikap aneh-aneh di LinkedIn rasanya sulit.
Secara instingtif kita sadar bahwa fungsi LinkedIn adalah untuk menunjukkan resume dan melebarkan 'jaringan profesional.' Dalam istilah yang sering muncul di artikel pendidikan, kita kerap menyebutnya dengan ‘Professional Learning Network.’
Alasan kelima, di LinkedIn kita bisa menambah koneksi baik dari kalangan pendidikan maupun dunia usaha. Di LinkedIn, penulis pernah konsultasi beberapa kali dengan direktur utama sebuah perusahaan yang produknya pasti kita semua sudah pernah pakai.
ADVERTISEMENT
Lewat LinkedIn jugalah penulis berkenalan dengan seorang teacher trainer dan dalam waktu dekat kami akan berkolaborasi di minimal dua acara.
Selain itu, penulis juga berkenalan dengan orang Indonesia yang mengajar di Jerman. Awal September, dengan 30-an guru kami ngobrol lewat Zoom. Topiknya mudah ditebak: Pendidikan.
Bagaimanapun, not everyone fits the mold. Tak semua orang cocok dengan satu hal yang sama. Instagram atau DevianArt pasti lebih pas dibandingkan LinkedIn bagi guru yang senang seni. Guru yang sering menulis panjang lebar mungkin lebih menyenangi citizen journalism platform seperti kumparan.
Belum lagi jika kita membahas masalah infrastruktur: Masih banyak guru yang tak tersambung dengan internet. Oleh karena itulah, seperti platform lainnya, LinkedIn hanya cocok untuk sebagian guru, bukan semua guru.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, jika pembaca adalah jenis guru yang merdeka dalam berinternet, aktif terlibat dalam komunitas pendidikan, senang kerja sama, tertarik dengan ide-ide baru serta suka mengembangkan diri, LinkedIn adalah tempat yang tepat.
Carilah guru yang mengampu mata pelajaran yang sama. Jika gemar kolaborasi, cari juga guru yang terlibat dalam kegiatan pendidikan di luar kelas: Aktif di program literasi, punya blog tentang edutech, gemar membuat vlog, dan sebagainya.
Terkoneksi dengan guru yang mengajar di luar negeri, baik dia orang Indonesia atau dari negara lain (jika kita bisa berbahasa Inggris), adalah juga hal yang menarik. Untuk meluaskan wawasan, terhubunglah juga dengan orang dari luar bidang pendidikan.
Jika hendak mengajak orang lain untuk kerja sama dan kita merasa harus tahu seperti apa karakter orang yang kita incar, LinkedIn tidak cukup. Jika ia aktif di sosial media, selidiki lewat akun lain.
ADVERTISEMENT
Facebook mungkin sumber yang bagus karena di sini sulit untuk konsisten jadi orang palsu. Jika kita cermat, asalkan ia sering posting, kita bisa punya gambaran tentang karakter dan kondisi kejiwaannya.
LinkedIn adalah digital professional portfolio jadi sifatnya kurang personal.
Di LinkedIn ada banyak kolom yang sebaiknya diisi. Browsing dulu: Cara membuat ‘About’ yang menarik seperti apa? Jika menulis dalam bahasa Inggris, sebaiknya pakai ‘I’atau ‘(s)he’? Jika serius ingin membangun resume di situ, berpikirlah dengan cermat soal diksi.
Menulis “menjadi wali kelas” atau “menjadi pembimbing OSIS” adalah hal yang baik. Bagaimanapun, akan lebih bagus jika keterampilan yang digunakan saat menjadi wali kelas dan pembimbing OSIS juga dicantumkan.
Dengan demikian para rekruiter, jika suatu saat guru si pemilik akun akan pindah mengajar atau mungkin alih profesi, langsung punya gambaran tentang kemampuan si pelamar kerja.
ADVERTISEMENT
*www.gurupenulis.weebly.com