Tepatkah Kita Memaki dengan Nama Hewan?

Meicky Shoreamanis Panggabean
Penulis biografi Munir dan Basuki Tjahaja Purnama.
Konten dari Pengguna
21 Maret 2020 20:50 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meicky Shoreamanis Panggabean tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi marah. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi marah. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Banyak orang Indonesia ketika marah meluapkannya dengan meneriakkan nama hewan seperti ‘anjing’ dan ‘babi’. Tulisan ini tidak membahas kenapa dua kata itu kerap dipakai. Penulis akan mengajak pembaca untuk melihat sekilas sejarah dan natur kedua hewan ini. Lalu marilah kita pikirkan apakah penggunaan dua kata itu sebagai bentuk sumpah serapah benar-benar sudah tepat.
ADVERTISEMENT
Seorang seniman bernama Christien Meidertsma menulis buku berjudul ‘Pig 05049’. Ia melakukan riset dengan responden tungga seekor Miss Piggy. Di forum Ted-X, Meiderstma menjelaskan bahwa kandungan babi bisa ditemukan pada beragam barang. Sebagian daftar ada di bawah dan perlu kiranya digarisbawahi bahwa penjelasan tidak menggunakan kondisi atau kultur di Indonesia melainkan mengambil Eropa sebagai setting karena Mediderstma berasal dari Belanda.
Mediderstma mengatakan bahwa asam lemak dalam sabun mengandung rebusan lemak tulang babi. Shampoo, conditioner, body lotion, dan odol juga mengandung Miss Piggy. Protein dari bulu babi dipakai sebagai pengembang adonan sedangkan ubin-ubin beton sebenarnya mengandung protein dari tulang babi. Kereta api buatan Jerman, bagian remnya terbuat dari abu tulang babi. Kue keju, mousse coklat, tiramisu, puding vanila, dan banyak makanan lainnya, mengandung gelatin. Ini juga dari babi.
ADVERTISEMENT
Lepas dari kekurangan babi, kita setuju bahwa dalam hidup yang penting bukanlah durasi melainkan kontribusi. Nah, babi dengan sangat baik mengejawantahkan makna kalimat tersebut.
Sekarang, bagaimana dengan anjing?
Pat Shipman, Professor Antropologi di Pennsylvania State University, menjelaskan bahwa saat manusia masih mengumpulkan makanan dengan cara berburu, anjing membantunya dengan cara mengidentifikasi tempat hewan yang diincar. Anjing juga menjaga tempat tinggal dan memberi sinyal saat musuh datang. Waktu itu senjata belum ditemukan dan keberadaan anjing membuat resiko perburuan jadi lebih rendah.
Pada zaman Mesir Kuno, anjing dinilai sangat tinggi. Basenji, salah satu jenis anjing tertua di dunia, bahkan dianggap sebagai model dari Anubis, dewa yang mengantarkan jiwa-jiwa ke dunia lain setelah manusia meninggal. Oleh karena itulah setelah anjing mati, mereka dijadikan mumi dan pemiliknya akan menunjukkan duka dengan cara mencukur rambut termasuk alis mata.
ADVERTISEMENT
Ada lagi yang lebih heboh: Undang-undang pemerintah Romawi Kuno. Siapa sangka bahwa salah satu pasalnya menetapkan anjing sebagai hewan penjaga keluarga dan ternak?
Di level pemerintahan, tahun 28 SM anjing pernah berperan besar karena menyelamatkan senator Sabinus dari amukan rakyat Romawi. Dia dilempar ke sungai namun seekor anjing melompat dan menyeretnya ke tepi.
Zaman sekarang, fungsi anjing naik berlipat ganda: Menunjukkan jalan ke kaum tuna netra, membantu polisi dan tentara, menjadi sahabat penderita depresi, dan lain-lain. Sedangkan berbagai cerita menunjukkan bahwa anjing adalah hewan setia.
Nah, kalau manusia bagaimana?
Holocaust. Perang dunia. Politik identitas. Pandemi virus corona yang dimanfaatkan sebagai isu politik. Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan watak manusia yang sesungguhnya. Ini semua membuat penulis berpikir, buat apa manusia menggunakan nama hewan saat memaki? Kayak kita kebagusan aja, sih.
ADVERTISEMENT
Di hadapan hewan, sesungguhnyalah manusia telah kehilangan muka.
Silahkan tanya Donald Bebek, Sco0by-doo, Kermit, atau hewan lain. Mungkin di dunia semut, rakyat yang marah karena ratunya malas kerja akan berteriak,”Dasar orang!” Adapun induk kucing yang melihat anaknya seharian hanya menjilat kaki bisa jadi akan berkomentar dengan sengit, ”Mau jadi apa kalau sudah besar? Jadi manusia???!!!”
Mungkin, sebenarnya sudah bertahun-tahun mereka heran kenapa kita menyebut nama mereka sebagai kata makian padahal sejarah menunjukkan bahwa kitalah yang layak dijadikan kata sumpah serapah.
Pada akhirnya, suka atau tidak suka, kita harus menyetujui ungkapan penyair Spanyol Michelangelo Saez, “Binatang itu ya, Sayangku, kerap lebih beradab dan bisa bersikap lebih manusiawi dibandingkan manusia itu sendiri.”
ADVERTISEMENT
*www.gurupenulis.weebly.com
"Kadang manusia lebih hewani daripada binatang dan binatang lebih manusiawi daripada manusia,"tutur penulis Amerika Latin, Michelangelo Saez.