Konten dari Pengguna

Politik Dinasti di Indonesia: Kepentingan Rakyat atau Kepentingan Keluarga?

meidi Mardia Pane
Meidi Mardia Pane merupakan mahasiswi semester 1 jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
7 November 2024 18:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari meidi Mardia Pane tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Meidi Mardia Pane*
ilustrasi by canva
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi by canva
Di negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi yang ideal, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Atas dasar prinsip inilah rakyat memiliki hak dalam partisipasi politik dan pemerintahan suatu negara tanpa memandang latarbelakang keluarga dan hubungan kedekatan dengan elite politik.
ADVERTISEMENT
Namun, realitas yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa fenomena praktik Politik Dinasti sudah menjadi hal biasa bahkan bukanlah hal yang memalukan lagi untuk dilakukan. Kita dapat menyaksikan bagaimana seorang pemimpin yang hendak habis masa jabatannya, menyokong sang anak untuk maju sebagai calon pemimpin selanjutnya dengan melanggar aturan hukum yang berlaku demi melanggengkan kekuasaan. Di negara demokrasi, seharusnya jabatan bukanlah menjadi “warisan” yang diturunkan dari orang tua kepada anak, dari suami kepada istri, atau bahkan kepada kerabat – kerabat dekat lainnya.
Fenomena politik dinasti ini menimbulkan pertanyaan besar tentang esensi demokrasi yang sesungguhnya. Apakah praktik ini mencerminkan kepentingan rakyat atau justru hanya menguntungkan segelintir keluarga elite politik? Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada lingkaran keluarga tertentu, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil lebih berorientasi pada kepentingan dinasti daripada kesejahteraan masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Beberapa dampak negatif dari politik dinasti yang dapat kita amati antara lain:
1. Tertutupnya kesempatan bagi kandidat potensial lain yang mungkin memiliki kapabilitas lebih baik
Politik dinasti memungkinkan untuk merusak sistem meritokrasi suatu negara dikarenakan terhalang nya orang-orang potensial untuk maju sebagai pemimpin selanjutnya.
Sistem politik yang tidak memberi ruang bagi munculnya kandidat-kandidat baru merupakan sebuah kemunduran dalam berdemokrasi. Ketika kesempatan untuk berkompetisi dalam kontes politik tertutup rapat, kita kehilangan potensi hadirnya pemimpin-pemimpin berkualitas yang mungkin memiliki visi, kapabilitas, dan integritas lebih baik. Hal ini ibarat mengunci pintu inovasi dan kemajuan, dimana masyarakat dipaksa untuk selalu memilih dari pilihan-pilihan yang itu-itu saja, tanpa memberi kesempatan pada sosok-sosok baru yang mungkin membawa perubahan positif. Fenomena ini tidak hanya merugikan para kandidat potensial yang terhambat langkahnya, tetapi juga merugikan masyarakat luas yang kehilangan hak untuk mendapatkan pemimpin terbaik melalui proses seleksi yang benar-benar terbuka dan demokratis.
ADVERTISEMENT
2. Melemahnya sistem check and balance dalam pemerintahan
Melemahnya sistem check and balance dalam pemerintahan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi di negeri ini. Ketika lembaga-lembaga negara yang seharusnya saling mengawasi dan mengimbangi justru kehilangan independensinya, kita berisiko tergelincir ke dalam sistem pemerintahan yang otoriter. Fenomena ini ditandai dengan dominasi eksekutif yang terlalu kuat, parlemen yang seolah kehilangan fungsi pengawasan, serta lembaga yudikatif yang tidak lagi tegas dalam menegakkan keadilan. Lebih mengkhawatirkan lagi, media dan organisasi masyarakat sipil yang seharusnya menjadi kontrol eksternal pun mulai tumpul dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Jika dibiarkan terus berlanjut, kondisi ini bisa membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi sistemik, dan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
ADVERTISEMENT
3. Potensi terjadinya konflik kepentingan dalam pengambilan kebijakan
Menguatnya potensi konflik kepentingan dalam pengambilan kebijakan publik menjadi alarm yang memekakkan telinga bagi masa depan tata kelola pemerintahan yang bersih. Ketika para pengambil keputusan memiliki berbagai kepentingan pribadi atau kelompok yang bersinggungan dengan kebijakan yang mereka buat, objektivitas dan keadilan dalam pelayanan publik menjadi taruhan besar. Situasi ini semakin diperparah dengan lemahnya mekanisme pencegahan dan penindakan konflik kepentingan, ditambah minimnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan seringkali lebih menguntungkan segelintir elite daripada masyarakat luas, mulai dari pemberian izin usaha, penetapan regulasi sektor strategis, hingga pengelolaan anggaran negara. Jika dibiarkan, praktik ini tidak hanya akan menggerogoti kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga berpotensi menciptakan kerugian negara yang masif dan ketimpangan sosial yang semakin menganga.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, para pendukung politik dinasti kerap berargumen bahwa pengalaman politik dalam keluarga justru menjadi nilai plus dalam kepemimpinan. Mereka mengatakan bahwa regenerasi dalam keluarga politik dapat menghasilkan pemimpin yang lebih siap dan memahami seluk-beluk pemerintahan. Namun, argumentasi ini sebenarnya justru mencerminkan kelemahan sistem kaderisasi politik di Indonesia.
Sebagai mahasiswa yang peduli dengan masa depan demokrasi Indonesia, kita perlu mengkritisi fenomena ini secara objektif. Politik dinasti bukanlah sekadar masalah legal atau ilegal, melainkan terkait dengan kualitas demokrasi yang kita inginkan. Ketika akses terhadap kekuasaan politik dibatasi oleh hubungan kekeluargaan, maka hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan kesempatan yang menjadi fondasi demokrasi.
*Meidi Mardia Pane adalah mahasiswa pengantar Ilmu Politik, Prodi Kom, FISIP Untirta
ADVERTISEMENT