Konten dari Pengguna

Anak-Anak Diplomat Tidak Bercerita

Meidy Rahma Dhana
A diplo-mom: kadang diplomat, kadang mother-mother. Memulai menulis di Kumparan demi tugas Sesdilu (Sekolah Staf Dinas Luar Negeri).
5 November 2025 10:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Anak-Anak Diplomat Tidak Bercerita
Hidup yang tampak istimewa. Namun banyak cerita yang tidak pernah dibagi, mengenai perpisahan, rasa sepi, dan kebingungan akan jati diri.
Meidy Rahma Dhana
Tulisan dari Meidy Rahma Dhana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di luar terlihat menarik: berpindah negara, sekolah internasional, dan fasih beberapa bahasa sebelum usia dua belas tahun. Namun di balik paspor hitam penuh cap imigrasi itu, ada hal yang tidak diceritakan: rasa kehilangan, rasa kesepian, dan hilangnya identitas diri.
ADVERTISEMENT
Bagi kami para diplomat, perpindahan adalah tuntutan profesi yang memang kami pilih secara sadar. Namun bagi anak-anak diplomat, perpindahan adalah suatu keharusan; sebuah konsekuensi dari pilihan karir orang tua mereka.

1. Rasa Kehilangan: Hidup yang Selalu Siap untuk Berpamitan

Setiap beberapa tahun, kami harus kembali mengemas kehidupan kami ke dalam koper-koper. Namun tidak semua bisa dibawa, ada buku-buku yang belum selesai dibaca, tanaman kesayangan di jendela, cangkir-cangkir favorit di dapur, dan kardus-kardus penuh dengan mainan dan boneka. Belum lagi rumah dan sekolah yang baru saja terasa nyaman, tetangga yang mulai terasa seperti keluarga, dan teman-teman yang baru saja terasa akrab, semuanya tiba-tiba harus ditinggalkan.
Bagi kami para diplomat, perpindahan berarti tantangan baru di unit kerja yang baru. Namun bagi anak-anak kami, setiap penugasan berarti kehilangan sesuatu yang mereka cintai, lagi dan lagi. Kehilangan ini tidak selalu datang dengan tangisan atau protes, terkadang malah tidak disadari oleh kami orang tuanya.
Di balik senyum yang cerah, ada hati kecil yang belajar bahwa perpisahan seperti ini akan menjadi bagian dari rutinitas dalam hidupnya (dokumen pribadi).

2. Rasa Kesepian: Sejuta Teman, Sedikit Bercerita

ADVERTISEMENT
Orang sering berasumsi, anak diplomat pasti mudah bergaul. Mereka terbiasa bermain dengan anak-anak dari berbagai latar budaya yang berbeda dan berbicara dalam bahasa setempat. Mereka polyglot yang pandai bergaul, namun selalu urung untuk membangun kedekatan karena mereka tahu, sebentar lagi mereka harus berpamitan.
Kesepian mereka bukan karena tidak ada teman, tetapi karena tidak ada teman yang betul-betul memahami rasanya menjadi the third culture kids – anak-anak yang tumbuh di antara budaya, tapi tak sepenuhnya merasa menjadi bagian salah satunya. Selalu menjadi ‘baru’ terus menerus dan harus mencari tempat di sebuah kelompok yang sudah saling akrab jauh sebelum mereka datang - perasaan yang tidak semua orang bisa pahami.
ADVERTISEMENT
Bagi kami para diplomat, Perwakilan RI di belahan bumi mana pun selalu terasa familiar, ada bendera merah-putih di halaman dan lobi kantor, ada sapaan “selamat pagi” setiap kami tiba. Namun bagi anak-anak diplomat, mereka selalu terlihat berbeda di ruang kelas baru yang asing itu.
Di tengah keramaian, ia tampak percaya diri. Namun tidak banyak yang paham rasanya menjadi "anak baru", lagi dan lagi (dokumen pribadi).

3. Menentukan Identitas Diri: Tumbuh di Banyak Budaya, Tidak Ada Tempat untuk Berakar

Bagi anak diplomat, pertanyaan “Kamu orang mana?” tidak dapat dijawab dengan sederhana. Mereka mungkin lahir di New York, besar di Tokyo, lalu memulai masa sekolahnya di Nairobi. Mereka memiliki paspor Indonesia, tetapi tidak pernah sepenuhnya tumbuh besar di Indonesia.
Bagi kami para diplomat identitas kami jelas: kami tahu untuk Indonesia kami bekerja dan ke Jakarta kami harus pulang. Namun, bagi anak-anak diplomat, identitas adalah mozaik yang terus berubah, potongan dari berbagai tempat yang tak pernah benar-benar menjadi rumah. Ketika akhirnya kembali ke tanah air, mereka sering kali dianggap terlalu asing – bahasa Indonesianya terlalu baku, cara berpikirnya agak berbeda, dan selera humornya tidak selalu nyambung.
Dua bendera, dua bahasa, dua "rumah", dan satu anak kecil yang berada di antara keduanya (dokumen pribadi).
Di balik rangkaian privilege untuk dapat tinggal di berbagai negara, ada sisi yang jarang diperlihatkan: rasa kehilangan yang terus berulang, rasa kesepian yang tidak pernah dibagi, dan pencarian identitas diri yang tidak pernah benar-benar selesai.
ADVERTISEMENT
Hidup mereka memang istimewa, tetapi di setiap keistimewaan itu ada harga yang mereka harus bayar. Mereka belajar tersenyum di bandara, menahan tangis di ruang kelas baru, dan memanggil “rumah” pada tempat yang mereka tahu hanya untuk sementara.