Konten dari Pengguna

Dalihan Na Tolu: Mengenal Filosofi Kekerabatan Batak Toba

Kamila Meilina
Jurnalis lulusan Antropologi Sosial UI 2024
6 Juli 2022 14:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kamila Meilina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Batak Toba. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Batak Toba. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Masyarakat Batak, khususnya Batak Toba, memegang falsafah hidup Dalihan Na Tolu sebagai prinsip hidup bermasyarakat. Filosofi sosio-kultural tersebut menjadi sebuah kerangka yang membingkai pertalian kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, masyarakat Batak menganut suatu sistem kemasyarakatan dengan pola yang bisa kita ibaratkan sebagai negara-kota atau dalam konteks ini merupakan negara-desa (huta). Satu huta masyarakat Batak dikuasai oleh satu klan atau marga yang mana berarti mereka masih merupakan bagian dari satu keluarga yang sangat besar. Interaksi antar-huta yang mereka lakukan dengan sesamanya bukan hanya membawa identitas individu, melainkan juga membawa identitas marga. Hal tersebut membentuk kebersamaan dan ikatan keluarga internal, terutama ikatan semarga, menjadi sangat erat. Karena itu juga, ikatan antarmarga pun menjadi sebuah hubungan sakral yang berkaitan dengan nama baik marga, serta dipelihara melalui rasa saling menghormati antarkeluarga.
Melalui sistem kemasyarakatan dan pola interaksi masyarakat Batak tersebut, dikenalah suatu landasan kekerabatan bernama Dalihan Na Tolu yang memiliki nilai filosofis mendalam bagi masyarakat Batak Toba.
ADVERTISEMENT
Dalihan Na Tolu berasal dari kata 'dalihan' yang artinya sebuah tungku batu. Filosofi yang jika diterjemahkan ini memiliki arti “tungku yang berkaki tiga”. Suatu filosofi tungku berkaki tiga ini mengibaratkan satu tungku yang disangga oleh tiga kaki mewakili tiga aspek penting dalam kebudayaan Batak. Akibatnya jika satu kaki rusak, kedua kaki lainnya tidak akan mampu menopang tungku dengan baik.
Ketiga aspek penting itu ialah (1) somba marhula-hula, yaitu marga atau klan tempat istri dari laki-laki Batak berasal; (2) elek marboru, yaitu berarti lemah lembut kepada boru (anak perempuan); (3) Manat mardongan tubu/sabutuha, yakni sikap berhati-hati kepada sesama marga.

Somba Marhula-Hula

Hula-hula dalam adat Batak merupakan posisi keluarga lagi-laki dari pihak perempuan--ibu ataupun istri. Posisi ini lazim juga disebut tunggane (ipar) bagi suami atau tulang (paman) bagi anak.
ADVERTISEMENT
Adat Batak mengadopsi sistem paternalistik sehingga pinangan atau lamaran akan dilakukan oleh pihak laki-laki. Pihak perempuan menjadi sangat dihormati dan dimuliakan karena dianggap sebagai sosok yang melahirkan penerus rantai keturunan marga pihak laki-laki. Oleh sebab itu, penghormatan ini diberikan kepada keluarga perempuan tidak hanya pada tingkatan ompung (orang tua), melainkan hingga ke tingkat seterusnya.

Elek Marboru

Boru adalah kelompok orang dari saudara perempuan atau saudara perempuan dari laki-laki. Boru biasanya menjadi pihak yang memegang andil besar dalam menyukseskan pesta pernikahan atau acara adat lainnya.
Dalam masyarakat Batak, dikenal istilah 'elek marboru' yang artinya saling mengasihi kepada saudara perempuan agar mendapatkan berkat.

Manat mardongan tubu

Dongan tubu sendiri berarti saudara satu marga. Dengan status yang terdekat adalah kakak atau adik. Selain itu, kawan satu marga juga termasuk dalam ikatan persaudaraan ini.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi psikologi, pada satu sisi ikatan persaudaraan bisa sangat erat dan di sisi lainnya bisa merenggang hingga menimbulkan perkelahian seperti perumpamaan 'angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna'. Manat mardongan tubu mengingatkan adanya potensi pertikaian dalam saudara satu marga sehingga perlu saling menjaga dan berhati-hati satu sama lain.
Ketiga falsafah hidup tersebut dipegang erat dan diimplementasikan salah satunya melalui ikatan perkawinan. Hal ini karena mereka percaya bahwa perkawinan pada orang batak umumnya merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat dalam suatu hubungan yang tertentu, yaitu kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat dari si wanita (Koentjaraningrat, 2002).
Seorang laki-laki Batak Toba hakikatnya menempati tiga status berbeda. Pertama sebagai hula-hula ketika anak saudara perempuannya menikah. Kedua sebagai boru dari pesta marga istri. Ketiga sebagai dongan tubu saat teman semarganya mengadakan pesta.
ADVERTISEMENT
Ikatan marga dan filosofis Dalihan Na Tolu menjadikan mereka percaya bahwa memuliakan dan membantu sesama merupakan sebuah kewajiban, karena nilai filosofis tersebut dapat menjadikan mereka ada di posisi mana saja, baik sebagai hula-hula atau kerabat dari perempuan, maupun sebagai kerabat laki-laki.

Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. (2002). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan.