Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten dari Pengguna
Mewujudkan Kesetaraan Gender pada Teknologi AI
16 Februari 2025 11:42 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Meirza Luthfi Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tulisan ini hendak membahas mengenai perjuangan para penggiat studi gender dalam mengurangi bias pada penggunaan teknologi “artificial intelligence” (AI).
ADVERTISEMENT
Berangkat dari premis Leavy (2018) yang menyatakan bahwa keberadaan AI dapat mengancam progres kesetaraan gender (gender equality), maka penulis berargumen bahwa topik ini cukup menarik untuk diangkat.
Sebagai awalan, tulisan ini merasa perlu untuk setidaknya merujuk terlebih dahulu pada agenda penelitian yang menjadi fokus pada studi gender. Sejatinya terdapat tiga poin utama yang kerap diperdebatkan oleh studi gender tatkala menghadapi suatu fenomena.
Pertama, alasan mengapa konstruksi sosial berbasiskan gender dapat muncul pada suatu konteks. Kedua, mengenai kepentingan apa yang sedang dilayani atau diuntungkan dari adanya proses konstruksi berbasis gender. Ketiga, implikasi seperti apa yang akan terjadi.
Berpijak pada tiga poin analisis gender seperti di atas, tulisan ini akan berupaya mengaitkannya dengan fenomena empiris berupa terjadinya bias dalam penggunaan teknologi AI.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui bersama, saat ini AI memiliki peranan besar dalam memengaruhi opini-opini serta perilaku masyarakat di kehidupan sehari-hari (Leavy, 2018).
Melalui basis data yang diperoleh dalam jumlah besar, AI kemudian mampu mengolahnya secara fungsional untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu sesuai perintah manusia (Leavy, 2018).
Secara sekilas mekanisme operasional AI di sini tampak objektif. Akan tetapi, pada praktiknya AI hanya dapat bertindak sesuai dengan data yang diberikan oleh manusia. Perihal pemberian data oleh manusia inilah yang acapkali turut memuat nuansa-nuansa subjektif dari manusia (Leavy, 2018).
Berbeda dengan manusia yang dapat berpikir secara kritis agar tidak terjebak dalam perangkap subjektivitas, AI di satu sisi belum memiliki kemampuan demikian. Implikasinya kemudian memungkinkan untuk terjadi bias dalam penggunaan AI (Leavy, 2018).
ADVERTISEMENT
Sebagai teknologi yang mampu memengaruhi opini serta perilaku manusia, maka ketika kondisi AI sarat akan nuansa subjektivitas, hal ini lantas memicu kekhawatiran pula dari penggiat studi gender. Sebab terdapat potensi berupa terjadinya praktik diskriminasi baru pada wanita (Leavy, 2018).
Melalui data yang penuh “stereotyping” sebagai input terhadap AI, lantas hasilnya dapat muncul bias yang terkonstruksikan secara masif—yang memiliki tendensi untuk memarginalisasikan wanita (Leavy, 2018).
Terlebih juga lantaran mekanisme AI sangat bergantung pada pembuatnya—yang utamanya didominasi oleh kaum pria, maka dapat juga tercipta representasi berlebih dari kaum pria itu sendiri dalam konteks tindakan yang dilakukan oleh AI. Imbasnya, kesetaraan gender menjadi terancam (Leavy, 2018).
Tulisan ini lantas sepakat pada respon dari para penggiat studi gender yang telah mempromosikan agar tercipta keberagaman representasi nilai pada data-data yang hendak digunakan sebagai input penggunaan teknologi AI.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut umumnya dilakukan dengan memodifikasi algoritma AI dan disertai penambahan kemampuan mendeteksi segi linguistik dari data yang diperoleh AI (Leavy, 2018).
Sebagai penutup, tulisan ini berkesimpulan bahwa meski AI merupakan teknologi jenis baru dengan tingkat kecerdasan melebihi mesin biasa, akan tetapi pada praktiknya AI sama seperti teknologi lama—yakni berpotensi ditunggangi kepentingan sosial politik oleh aktor atau pembuatnya, khususnya yang berhubungan dengan persoalan diskriminasi atau bias gender.
Namun demikian, seiring dengan semakin canggihnya perkembangan studi gender, respon yang muncul dari kalangan intelektual tersebut tidak lagi hanya bersifat reaktif seperti dahulu, namun juga berciri preventif selagi momentum perkembangan AI belum mencapai puncaknya.