Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Relevansi Pemikiran Marxist dalam Studi Hubungan Internasional Kontemporer
6 September 2023 20:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Meirza Luthfi Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tulisan ini awalnya berangkat dari keresahan penulis dalam memahami posisi marxisme pada konteks hubungan internasional. Mengingat ada stigma negatif yang meliputi marxisme ketika berbicara mengenai konteks historis yang pernah dialami Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun pada saat mengkaji marxisme dalam ranah hubungan internasional, penulis menyadari bahwa kita atau khususnya yang berkecimpung di dunia akademik mesti memandang marxisme melalui kacamata yang lebih objektif demi kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan.
Terdapat beberapa hal yang kemudian menjadi pertanyaan terkait marxisme, yakni apakah marxisme dapat digolongkan sebagai sebuah aliran pemikiran tersendiri? Atau justru apakah marxisme hanya merupakan bagian kajian dari pemikiran ekonomi politik internasional semata? Dan bagaimana relevansi marxisme sebagai basis untuk menganalisis isu-isu terkini yang menyangkut hubungan internasional?
Setelah melakukan refleksi terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis setidaknya memperoleh dua pemahaman. Pertama, pandangan seputar marxisme harus dipisahkan terlebih dahulu dari marxist sebagai bentuk klarifikasi. Sebab, penambahan imbuhan “-isme” pada kata marx merupakan sesuatu yang sifatnya ideologis. Ideologis disini berarti ia dapat dikatakan merupakan dogma politik yang mesti dianut oleh pengikutnya. Ketika ditempatkan sebagai dogma, maka marxisme akan secara otomatis menghilangkan potensi pengikutnya untuk mendiskusikan atau bahkan mendebat marxisme itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sedangkan frasa marxist ternyata justru lebih konkret untuk digunakan sebagai konsep pemikiran studi hubungan internasional. Dengan menambahkan imbuhan “-ist” pada kata marx, maka ia berubah menjadi pemikiran yang bisa berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, di sini penulis mesti memahami bahwa frasa marxist merupakan istilah yang lebih sesuai untuk menjawab pertanyaan penulis.
Kedua, aliran pemikiran marxist di sini umumnya masih berkaitan erat dengan teori kritis, sehingga ia tentunya secara tidak langsung masih memiliki relevansi untuk mengkaji isu-isu kontemporer seputar hubungan internasional. Maka, pemikiran marxist tidak serta-merta dimasukkan ke dalam kategori pemikiran ekonomi politik internasional, melainkan mesti dianggap sebagai aliran pemikiran yang berdiri sendiri.
Berpijak pada pemahaman awal atas konsep marxist tersebut, penulis lantas berupaya melacak kembali kemunculannya dalam perdebatan besar yang meliputi kajian hubungan internasional.
ADVERTISEMENT
Kemunculan Pemikiran Marxist dalam Studi Hubungan Internasional
Pada prinsipnya pemikiran marxist berbicara mengenai penguasaan ekonomi yang sifatnya relatif dalam struktur distribusi materi yang tidak adil (Smith, 2013).
Pemikiran marxist muncul dengan maksud untuk mengkritisi tatanan lama yang dominan dan berupaya memberikan cara-cara untuk membebaskan individu-individu yang terbelenggu dari struktur dominan tadi (Smith. 2013). Dengan begitu, pemikiran marxist hendak menciptakan kondisi yang emansipatoris.
Dalam konteks studi hubungan internasional, pemikiran marxist mulai mendapat tempat ketika terjadi perdebatan besar ketiga atau yang umum disebut sebagai ‘‘interparadigm debate’’ dari kurun waktu 1970-an hingga 1980-an.
Situasi “interparadigm debate” mengindikasikan adanya pluralisme intelektual antara pemikiran marxist bersama dengan pemikiran pluralist dan realist yang sudah lebih dulu mendapat tempat dalam studi hubungan internasional.
ADVERTISEMENT
Alasan dibalik terjadinya “interparadigm debate” adalah dikarenakan antara penganut masing-masing teori tersebut belum memiliki satu kesepakatan mutlak tentang bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan serta memahami bekerjanya fenomena internasional (Kurki & Wight, 2013).
Kondisi “interparadigm debate” tersebut setidaknya penting untuk ditinjau kembali secara singkat demi memahami sifat keilmiahan yang dimiliki oleh studi hubungan internasional saat ini serta guna mengetahui relevansi suatu teori khususnya marxist pada masa kini.
Relevansi Pemikiran Marxist dalam Studi Hubungan Internasional Kontemporer
Mulanya memang sifat keilmiahan ilmu sosial secara umum tidak menjadi persoalan lantaran asas positivisme telah umum disepakati sebagai tolok ukur metodologis (Kurki & Wight, 2013). Hal ini juga berlaku pada studi hubungan internasional, meski muncul suara minor yang kontra terhadap penggunaan asas positivisme.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, persoalan lanjutan lantas muncul terutama mengenai pilihan teori yang sepatutnya digunakan dan perbedaan antara masing-masing teori yang sejatinya tidak dapat diperbandingkan. Persoalan ini sejalan dengan gagasan Kuhn (dikutip oleh Kurki & Wight 2013) yang telah membagi fase perkembangan ilmu pengetahuan menjadi dua jenis, yakni fase revolusioner dan fase normal.
Fase revolusioner memiliki ciri berupa adanya fragmentasi teoritik yang tidak menghasilkan progres optimal dalam hal produksi pengetahuan. Sementara dalam fase normal terindikasikan muncul satu paradigma yang bisa menegasikan perseteruan teoritik demi memproduksi pengetahuan secara lebih optimal sehingga terjadi progres.
Namun rupanya penjelasan tersebut tidak cukup mengurai perbedaan antara pilihan teori yang sepatutnya dipakai dan dibandingkan, termasuk juga teori marxist. Sebab sesuai pandangan Kuhn (dikutip oleh Kurki & Wight 2013), sebelum muncul satu paradigma yang universal, maka teori-teori yang berbeda mesti dibandingkan terlebih dahulu. Setelahnya, baru akan terlihat mana teori yang bisa menjadi rujukan bagi teori lain untuk diadopsi.
ADVERTISEMENT
Maka tak mengherankan apabila para pengkritik Kuhn seperti pandangan Lakatos (dikutip oleh Kurki & Wight 2013) menganggap bahwa pilihan teori merupakan sebatas persoalan estetika dari masing-masing sarjana hubungan internasional.
Implikasinya, menurut Lakatos (dikutip oleh Kurki & Wight 2013) cara untuk mendamaikan persoalan ini adalah dengan menyematkan tendensi untuk menghasilkan “research programme” pada masing-masing teori agar bisa dinilai secara ilmiah.
Tulisan ini pada akhirnya berkesimpulan bahwa adanya perbedaan pemikiran dalam studi hubungan internasional, termasuk juga marxist merupakan hal yang mesti diterima apa adanya.
Sebab yang lebih penting ketimbang hanya memperdebatkan pilihan teori adalah memastikan bahwa sifat keilmiahan mesti muncul saat mengkaji fenomena-fenomena internasional sehingga dapat muncul sumbangsih keilmuan yang berguna bagi perkembangan studi ini di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, selama pemikiran marxist dapat memproduksi pengetahuan dalam bentuk “research programme” yang ilmiah maka ia masih memiliki relevansi untuk digunakan sebagai alat kajian isu-isu hubungan internasional.