Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
PPN 12% Berbalik Menjadi Efisiensi APBN, Apa Latar Belakang dan Dampaknya?
10 Februari 2025 17:29 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Melany Putri Margana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Presiden Prabowo bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan persnya di Kantor Kementerian Keuangan Jakarta, pada Selasa, 31 Desember 2024 terkait tarif PPN untuk barang mewah. Sumber: presidenri.go.id/foto](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkqp4bzy1tbbhw1z90cbn6ex.jpg)
ADVERTISEMENT
Tentang PPN 12%
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang berlaku mulai 1 Januari 2025 merupakan salah satu amanat dari UU No.7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, bukan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo. Fenomena ini selayaknya yang terjadi pada 1 Januari 2022, dimana tarif PPN juga telah diatur dari 10% naik menjadi 11%.
ADVERTISEMENT
Kebijakan peningkatan tarif PPN ini menjadi salah satu upaya pemerintah dalam menambah penerimaan negara dan menjaga stabilitas fiskal. Selain itu, menaikkan tarif PPN secara bertahap dapat meningkatkan daya saing fiskal dan menarik investasi, juga memperluas basis perpajakan karena tarif tersebut mendekati standar internasional. Kebijakan ini juga dicanangkan secara bertahap sesuai dengan teori optimal taxation, dimana perubahan tarif dilakukan secara perlahan agar tidak terjadi shock pada perekonomian. Berdasarkan konsep Kurva Laffer juga, kenaikan tarif apabila terlalu tajam justru bisa menurunkan basis pajak karena insentif ekonomi yang juga turun.
Meski kebijakan peningkatan telah dipertimbangkan sedemikian rupa, masa transisi pemerintahan ditambah banyaknya kebijakan baru lainnya membawa berbagai kericuhan yang terjadi di masyarakat terkait penerapan amanat UU tersebut.
ADVERTISEMENT
Tarif Efektif PPN
Maka, dengan mempertimbangkan keberpihakan pada rakyat, pemerintah melalui PMK Nomor 131 Tahun 2024 menetapkan bahwa tarif efektif PPN sebesar 12% hanya diberlakukan untuk barang kena pajak yang tergolong mewah (barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau PPnBM).
Barang mewah ini meliputi kendaraan bermotor yang berupa kendaraan bermotor dengan konsumsi bahan bakar minyak tertentu dan berkapasitas isi silinder tertentu, kendaraan dengan motor listrik, serta kendaraan roda empat dengan teknologi tertentu, juga selain kendaraan bermotor yang berupa kelompok hunian mewah, balon udara, peluru senjata api, pesawat udara, dan kapal pesiar.
Di lain sisi, untuk selain barang mewah atau barang kena pajak yang tidak dikenai PPnBM, diterapkan metode perhitungan dengan cara mengalikan tarif PPN 12% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa nilai lain, yaitu sebesar 11/12 sesuai dengan Pasal 3 PMK 131/2024. Sebagai hasil akhir, akan diperoleh tarif efektif PPN sebesar 11% (12% x 11/12).
ADVERTISEMENT
Istilah “tarif efektif” ini merujuk pada tarif akhir setelah mengalikan tarif asli dengan nilai tertentu, dimana pemerintah menggunakannya sebagai “penengah” agar tidak merevisi undang-undang atau menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tetapi tetap dapat berpihak pada rakyat. Jadi, PPN 12% bukannya batal, melainkan disesuaikan DPP-nya supaya tidak memberatkan masyarakat.
Efisiensi APBN 2025
Meski menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat, pemberlakuan tarif efektif ini memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap penerimaan negara di bidang perpajakan. Menurut Riza Annisa Pujarama sebagai Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), kondisi ini menyebabkan pemerintah berpotensi kehilangan sumber penerimaan perpajakan sebesar Rp75,9 triliun. Walaupun ada estimasi penerimaan lainnya dari tarif efektif 12% yang berlaku pada barang mewah sebesar Rp1,5 triliun – Rp3,5 triliun, nominal ini tentu tidak dapat menutup kekurangan pada target penerimaan.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, ada proyek strategis pemerintah berupa Makan Bergizi Gratis (MBG) yang turut menciptakan tantangan baru bagi APBN. Anggaran awal MBG yang sebesar Rp71 triliun akan dinaikkan menjadi Rp171 triliun, ditambah adanya paket stimulus fiskal sebesar kurang lebih Rp30-40 triliun yang akan tetap digelontorkan oleh pemerintah untuk masyarakat maupun pelaku usaha. Masih ada pula insentif PPN sebesar Rp265,5 triliun berupa pembebasan dan pengecualian pungutan PPN bagi UMKM maupun barang/jasa tertentu.
Mempertimbangkan besarnya belanja negara dengan penerimaan yang terbatas, pemerintah memutuskan berhemat. Lewat Inpres No.1 Tahun 2025, Presiden Prabowo memberikan instruksi efisiensi belanja secara masif di seluruh jajaran pemerintahan, mulai dari pusat hingga daerah yang totalnya mencapai Rp306,7 triliun.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menilai bahwa efisiensi ini merupakan konsekuensi sekaligus solusi dari kondisi ruang fiskal yang kian terbatas. Perluasan struktur kementerian baru di era Prabowo tentunya juga meningkatkan belanja, sedangkan peningkatan penerimaan tidaklah mudah ketika kondisi masyarakat dan para pelaku usaha sedang tidak dalam kondisi optimal.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Awalil Rizky, seorang ekonom Bright Institute, berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya tidak menggunakan hasil penghematan secara penuh untuk dialokasikan pada program strategis Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis. Menurutnya, penghematan ini lebih baik murni sebagai upaya penyehatan APBN dan pengontrol defisit.
Dampak Efisiensi APBN
Meskipun efisiensi APBN menjadi solusi yang paling mungkin dilakukan dalam menjaga stabilitas fiskal dan mengalokasikan dana pada program prioritas, timbul dampak signifikan yang memengaruhi ketersediaan sumber daya hingga pelayanan publik. Contohnya seperti ketersediaan gas LPG yang sempat mengalami kelangkaan karena penghematan belanja operasional juga alokasi subsidi yang diperketat, sehingga menyebabkan masyarakat kian resah, terutama kelompok dengan pendapatan rendah yang sangat bergantung pada LPG untuk memasak hingga berjualan.
ADVERTISEMENT
Adanya pemangkasan anggaran pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga berpotensi menyebabkan informasi terkait cuaca, iklim, hingga tsunami menjadi tidak akurat, yang tentunya dapat mengancam keselamatan masyarakat Indonesia.
Selain itu, terjadi juga Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK pegawai kontrak/Non ASN di berbagai lembaga, seperti TVRI (Televisi Republik Indonesia) Jogja dan RRI (Radio Republik Indonesia) demi melakukan penyesuaian terhadap penghematan biaya. Kondisi ini tentunya bukan sesuatu yang diharapkan sebagai salah satu benang merah efisiensi anggaran, dimana rakyat kecil justru semakin menderita. Meskipun penghematan diperlukan dalam upaya mengurangi beban fiskal, pemotongan anggaran pada sektor-sektor penting dan sektor-sektor penyerap tenaga kerja perlu ditinjau ulang agar tidak merugikan rakyat.
Sumber: @MiskinTV_ on X
ADVERTISEMENT
Strategi efisiensi APBN 2025 perlu ditinjau dari dua sisi, yakni sisi evaluasi program strategis pemerintah dan sisi menjaga standar pelayanan publik serta dampak berkelanjutan dari adanya penghematan. Program-program strategis pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis perlu mendapat atensi untuk evaluasi efektivitas dan alokasi anggarannya. Sedangkan pelayanan publik harus dijaga kualitasnya agar tetap sesuai standar, juga dampak berkelanjutan dari efisiensi seperti terjadinya PHK perlu dikaji lebih dalam.