Konten dari Pengguna

Apakah “Esok Kan Masih Ada” untuk Pembiayaan Defisit?

melekapbn
Komunitas yang fokus dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan anggaran negara (APBN) beserta kebijakan yang relevan. Artikel yang kami publikasikan di Kumparan merupakan opini pribadi tim peneliti kami
2 Maret 2021 20:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari melekapbn tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Esok kan masih ada, esok kan masih ada…”
Masih ingat dengan lagu ini? Kalau masih, tandanya Anda sudah cukup berumur, hehehe. Lagu Utha Likumahuwa ini menceritakan sebuah optimisme tentang keberadaan hari esok untuk kesempatan kedua bagi semua. Tanpa terkecuali para pengambil kebijakan ekonomi. Hampir semua berharap akan ada kesempatan kedua bagi kebijakannya untuk bekerja.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah pembiayaan defisit (deficit financing). Istilah ini mengacu kepada metode yang digunakan pemerintah untuk mendanai belanja publik yang lebih besar dari penerimaan. Metode-metode tersebut adalah penerbitan obligasi atau mencetak uang (Investopedia, 2020). Namun, masihkah ada kesempatan kedua untuk melakukan keduanya?
Mari kita lihat situasi defisit APBN kita terlebih dahulu. Saat ini, defisit APBN 2021 sudah mencapai Rp1.006,4 Triliun. Ini sama dengan 5,70% dari PDB kita (Tim Kementerian Keuangan, 2021:7). Jumlah ini sudah melampaui batas maksimal defisit APBN kita sebesar 3% dari PDB di masa kenormalan lama. Hadirnya pagebluk COVID-19 membuat batasan legal ini dibuang sementara lewat Perpu No. 1 Tahun 2020 (Rosana, 2020).
Situasi di atas menunjukkan bahwa defisit kita sudah sangat lebar. Dia harus dipotong sesegera mungkin untuk menjaga kesehatan perekonomian. Tidak hanya itu, pembiayaan yang dipilih juga harus yang paling prudent. Kita tentu bisa mencetak uang dari udara untuk menutup defisit anggaran secara teori. Tetapi, langkah ini memiliki risiko yang sangat tinggi dan sukar untuk dimitigasi. Pengalaman hiperinflasi Indonesia pada tahun 1963-1965 membuktikan kesukaran tersebut. Negeri ini sampai trauma dibuatnya.
ADVERTISEMENT
Maka, jalan satu-satunya adalah berutang. Utang itu sendiri berbagai rupa. Ada obligasi yang bisa diterbitkan kepada masyarakat umum. Selain itu, pemerintah juga bisa meminjam kepada organisasi seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, dan lain sebagainya. Lantas, bagaimana dengan kondisi utang kita?
Seiring dengan tren global, Indonesia juga mengalami kenaikan rasio utang yang signifikan. Selama 2019-2020, rasio utang Indonesia naik dari 29,8% menjadi 38,68% (Anggraeni, 2020). Bahkan, Bank Dunia memprediksikan bahwa rasio utang kita akan melesat menjadi 43% dari PDB (Sugianto, 2020). Jika dilihat secara partikular, tren ini jelas berbahaya.
Ceritanya langsung berbeda jika dilihat secara global. Dibandingkan dengan rata-rata dunia, Indonesia masih lebih berhati-hati. Utang pemerintah secara global ternyata naik dari 89% PDB global pada tahun 2019 menjadi 105% (Lu, 2020). Bayangkan, kenaikan sebesar 16% dalam satu tahun! Bandingkan dengan lompatan kita yang “hanya” kurang lebih 9%. Sebagai perbandingan, rasio utang pemerintah RRT naik 10%, Inggris naik 20%, dan Amerika Serikat naik sebesar 25% (Lu, 2020).
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB secara hukum di Indonesia adalah 60%. Angka 43% yang diproyeksikan juga jauh dari batas ini. Bahkan, Uni Eropa sebagai yurisdiksi pertama yang menerapkan batasan tersebut sudah mencapai 105%. Begitu pula dengan rata-rata negara berkembang yang melambung hingga 60% (Lu, 2020). Akan tetapi, ini bukan berarti kita bisa lenggang kangkung dalam manajemen pembiayaan defisit. Kita malah dituntut berpikir semakin keras dibandingkan sebelumnya.
Ibarat musafir, bangsa kita berada di persimpangan jalan. Simpangan ini memiliki dua jalan yang berbeda. Apa saja jalan tersebut? Jalan pertama adalah bertahan pada paradigma lama yang berlandaskan kehati-hatian fiskal (fiscal prudence). Jalan kedua adalah berpindah menuju paradigma baru yang berlandaskan Modern Monetary Theory (MMT). Apa bedanya?
ADVERTISEMENT
Jalan pertama mengatakan bahwa hari esok bagi utang adalah terbatas. Keterbatasan itu muncul karena utang adalah sumber daya dari masa depan yang “diambil” untuk penggunaan masa kini. Dampaknya, pemerintah didorong untuk membatasi rasio utang terhadap PDB. Dengan pembatasan ini, maka berbagai efek negatif dari pembiayaan defisit seperti naiknya suku bunga pasar, inflasi, dan volatilitas indikator makro bisa dikurangi.
Jalan kedua malah berkata sebaliknya. Esok kan selalu ada bagi utang pemerintah. Bagi MMT, batas atas utang pemerintah adalah tidak terhingga. Premis ini muncul karena utang pemerintah dianggap sebagai surplus tabungan masyarakat. Diasumsikan bahwa semua tabungan masyarakat akan digunakan untuk membeli surat utang pemerintah. Jadi, semakin banyak utang pemerintah, semakin tinggi tingkat tabungan masyarakat dalam surat utang (Mueller, 2019).
ADVERTISEMENT
Sekarang, mari kita buktikan kedua asumsi ini. Ketika pembiayaan defisit meningkat, maka permintaan pemerintah terhadap tabungan masyarakat meningkat. Kemudian, permintaan ini memicu kenaikan suku bunga pasar. Maknanya, biaya yang dibayar debitur untuk memeroleh pendanaan investasi semakin besar. Kenaikan tersebut membuat investasi sektor privat berkurang. Pengurangan investasi inilah yang membuat ukuran kue sektor privat mengecil.
Pembuktian di atas menunjukkan dua hal. Ternyata benar bahwa pembatasan utang pemerintah bisa mengurangi dampak negatifnya bagi sektor privat. Lebih lanjut lagi, tabungan masyarakat meningkat dalam bentuk utang pemerintah karena investasi privat dalam sektor riil berkurang drastis. Inilah yang disebut sebagai erosi kapasitas sektor privat sebagai wealth creators.
Seandainya kita memilih untuk menempuh jalan MMT, erosi itulah yang akan terjadi. Peran pemerintah membesar, sementara peran swasta menciut. Membesarnya peran pemerintah pasti membuat belanja sektor publik membengkak. Akibatnya, pembiayaan defisit menjadi semakin besar dan siklus defisit-utang-penurunan investasi privat terulang lagi. Fiscal prudence masih lebih aman.
ADVERTISEMENT
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hari esok masih ada untuk pembiayaan defisit. Meski begitu, hari esok itu terbatas, sangat terbatas. Kita perlu kembali kepada anggaran berimbang atau bahkan surplus ketika siklus bisnis kembali pulih. Jika tidak, maka kita akan tenggelam menuju siklus yang membahayakan efisiensi sektor privat.
Kridit?! Heh ember lu belon lunas! Mau kridit mikrolet lagi!” Omelan Babe Sabeni dalam si Doel inilah yang mesti diingat para pengambil kebijakan di kala melakukan pembiayaan defisit. Jangan sampai kita menyusahkan anak-cucu karena imprudence, apalagi expediency.
Penulis : Rionanda Dhamma Putra (Peneliti Melek APBN)