Mungkinkah Normalisasi Defisit APBN 2023?

melekapbn
Komunitas yang fokus dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan anggaran negara (APBN) beserta kebijakan yang relevan. Artikel yang kami publikasikan di Kumparan merupakan opini pribadi tim peneliti kami
Konten dari Pengguna
22 Januari 2022 17:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari melekapbn tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Defisit adalah kata yang cukup sering didengar, jika kita berbicara soal APBN. Istilah ini berarti bahwa belanja negara lebih besar dari pendapatannya. Fenomena ini lantas mendorong pemerintah untuk mencari cara selain pendapatan untuk memenuhi kebutuhan belanja. Cara tersebut memiliki dua cabang umum: Mencetak uang baru atau berutang.
ADVERTISEMENT
Kalau uang baru dicetak secara langsung, maka harga bisa bergejolak, apalagi dalam situasi krisis seperti COVID-19 ini. Alasan tersebut membuat utang menjadi opsi yang lebih memungkinkan. Jadi, bisa dikatakan bahwa utang pemerintah sebagai indikator solvency pemerintah yang panas dibahas adalah dampak dari defisit APBN.
Pantas saja jika pemerintah mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2020 pada awal krisis pandemi. Dalam legislasi ini, digariskan bahwa pemerintah akan melonggarkan peraturan batas maksimum defisit sebesar 3% dari PDB. Namun, dia hanya diberikan waktu sampai tahun 2023. Setelah itu, maka defisit harus kembali pada tingkat maksimum 3%.
Inilah yang disebut sebagai konsolidasi fiskal. Ibarat keran, laju debit belanja berusaha diperkecil, sementara laju penerimaan diperbesar. Kombinasi tersebut akan membuat defisit APBN menciut. Hal tersebut menjadi fundamen penting bagi reputasi solvabilitas pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Idealnya, hal tersebut sederhana untuk dilakukan. Potong saja berbagai belanja pemerintah yang tidak efisien dan rawan mengalami fraud atau pembengkakan. Kemudian, penerimaan negara ditunjang lewat menaikkan pajak yang sudah ada, atau menciptakan pajak baru. Mudah bukan? Sayangnya, realitas ekonomi Indonesia tidak semudah itu untuk diubah.
Upaya pemerintah untuk menaikkan pajak menemui protes, seperti naiknya PPN menjadi 11-12%. Rasio pajak (tax ratio) kita juga masih tertekan pada level 8,18%. Memang, ada pajak-pajak baru yang cukup memiliki potensi untuk mendongkrak seperti pajak karbon. Akan tetapi, kekhawatiran akan lebih kuatnya daya tarik dari rendahnya rasio pajak menjadi lebih besar. Mengapa demikian?
Mari kita tengok jumlah pembayar pajak di Indonesia. Berdasarkan jumlah pengisian SPT, ada 18,16 juta pembayar pajak yang mengisinya pada tahun 2021. Dari jumlah ini, hanya 10,97 juta yang taat mengisi SPT sejak 2015. Dari sini, kita bisa menarik fakta bahwa hanya ada kurang lebih 11 juta wajib pajak yang benar-benar memenuhi kewajibannya. Padahal, kita punya 280 juta penduduk dan 180 juta jiwa manusia berusia produktif.
ADVERTISEMENT
Masalah yang sama parahnya muncul dari sisi pengeluaran. Di tengah pagebluk ini, terjadi tekanan besar untuk menjaga, bahkan menaikkan level pengeluaran. Tekanan tersebut mencerminkan sebuah pepatah ekonomi tua bahwa, “We’re all Keynesians in the foxhole.” Semua pengambil kebijakan menggunakan trik pembiayaan defisit Keynesian ketika terjebak dalam lubang serigala bernama resesi.
Trik tersebut dilakukan karena dua alasan. Pertama, hancurnya kepercayaan diri sektor privat karena adanya over-pessimism terhadap perekonomian. Kedua, timbul tuntutan politik yang besar dari para konstituen untuk memperhatikan penderitaan rakyat. Dalam dunia ekonomi-politik, “perhatian” itu sama dengan “uang”. Tanpa kucuran uang lewat berbagai program, maka pemerintah akan dipandang bak orang tua tiri yang kejam.
Jadi, ada dua tekanan yang muncul dari tidak sempurnanya perilaku manusia sebagai agen ekonomi. Dari sisi ekonomi, pemerintah Indonesia menghadapi keterbatasan rasio pajak dan ketaatan wajib pajak yang masih rendah. Namun tekanan realpolitik memaksanya untuk menjaga tingginya level belanja pada saat krisis seperti sekarang. Ini membuat pemerintah seperti memakan buah simalakama. Atau maju kena, mundur kena.
ADVERTISEMENT
Belum lagi tekanan dari sisi kesehatan. Sekarang Indonesia sedang menghadapi badai gelombang ketiga karena varian Omicron. Per 20 Januari 2021, lonjakan kasus yang tadinya rendah dan stabil kembali lagi menuju level ribuan. Banyak yang kembali takut bahwa Omicron bisa kembali memaksa Indonesia menuju pembatasan mobilitas lebih ketat. Kalau mobilitas diikat, prospek pemulihan juga ikut terjungkal.
Ekonomi Indonesia secara makro seakan terjebak dalam sebuah tarik ulur ekonomi, politik, dan kesehatan. Pemerintah harus pintar-pintar dan luwes dalam menangani situasi ini. Komitmen konsolidasi fiskal pada tahun 2023 adalah sebuah tujuan yang kaku. Penulis melihat bahwa kekakuan tersebut membuat penciutan defisit sukar untuk dicapai.
Amit-amit jika Omicron sampai meledak, maka tuntutan penambahan belanja akan bertahan setidaknya hingga kuartal empat 2022. Ini tidak bisa diseimbangkan dari sisi penerimaan, bahkan ketika penerimaan negara meningkat seiring reformasi pajak yang mulai berlaku. Odds dari bertahannya level belanja negara untuk kasus krisis luar biasa tetap lebih besar. Padahal, defisit kita baru menurun dari 6,14% menuju 4,85% dari 2020 hingga 2022. Hasilnya, kemungkinan besar defisit APBN akan bertahan di atas 3% hingga 2023.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, masih ada kemungkinan kecil bahwa defisit APBN bisa mencapai target. Mencapainya memerlukan kehendak politik yang kuat dan berani. Mengapa? Pemerintah harus melawan tekanan populis dan memberikan pil pahit kebijakan fiskal ketat. Perlu pula kondisi eksternal berupa terkendalinya penularan COVID-19 dari sisi kesehatan. Menuntut ketiganya untuk eksis bersamaan adalah kondisi ideal yang sukar untuk dicapai. Adanya program booster vaksinasi hanya mendorong kemungkinan pencapaian itu.
Terakhir, bisa disimpulkan bahwa normalisasi defisit APBN 2023 adalah sebuah target dengan tanjakan terjal nan berbatu. Dia sukar dicapai dan memerlukan prekondisi ideal yang saling trading-off satu sama lain. Diperlukan kehendak politik, pengetatan kebijakan fiskal, dan pengendalian penularan yang ekstensif. Dua yang pertama berada dalam domain pengendalian pengambil kebijakan, namun faktor yang terakhir berada di luar kendali.
ADVERTISEMENT
Gonna take a miracle. I need a miracle, I need a miracle, I need a miracle.” Saduran lirik lagu Miracle dari Bon Jovi itu tepat menggambarkan dilema yang dialami pengambil kebijakan APBN kita. Perlu nothing short of a miracle untuk mencapai rasio defisit terhadap PDB 3% pada tahun 2023. Semoga keajaiban itu hadir seiring dengan usaha yang mahir.
Penulis: Rionanda Dhamma Putra (Mahasiswa FEB UI/Anggota Komunitas Melek APBN)