Konten dari Pengguna

Peran Bansos Non-tunai (PKH) Sebagai Katalisator Inklusi Keuangan di Indonesia

melekapbn
Komunitas yang fokus dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan anggaran negara (APBN) beserta kebijakan yang relevan. Artikel yang kami publikasikan di Kumparan merupakan opini pribadi tim peneliti kami
10 September 2021 18:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari melekapbn tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah berkomitmen untuk meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia dengan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Melalui perpres baru ini, pemerintah bertujuan menciptakan sistem keuangan yang inklusif yaitu memperluas akses layanan keuangan formal kepada masyarakat. Menurut Rakhmindyarto & Syaifullah (2014), akses layanan keuangan seperti tabungan, kredit, asuransi, fasilitas pembayaran dapat membantu masyarakat berpendapatan rendah untuk meningkatkan pendapatannya, mengakumulasi kekayaan, dan mengelola risiko. Implikasi yang diharapkan yaitu mempercepat penanggulangan kemiskinan. Hal tersebut didukung dengan studi Asian Development Bank (2015), yang menyatakan bahwa peningkatan inklusi keuangan dapat menurunkan tingkat kemiskinan pada negara berkembang di Asia.
ADVERTISEMENT
Upaya meningkatkan akses keuangan pada masyarakat dapat dilakukan dengan strategi kebijakan. Strategi tersebut dapat berupa program Government to Person (G2P) dari tunai menjadi non tunai melalui rekening tabungan di perbankan. Salah satunya adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Pada tahun 2017, PKH mengarahkan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk pembukaan tabungan/Basic Saving Account (BSA) sebesar hampir 10 juta KPM. BSA dapat diakses melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang mana merupakan kartu debit yang dikeluarkan oleh Himpunan Bank Milik Negara (Bank Mandiri, BRI, Bank BNI, dan Bank BTN).
Disisi lain, menurut SMERU (2020), PKH dapat membantu KPM untuk mengurangi dampak pandemi melalui pengeluaran dan penyediaan pangan keluarga. Hal tersebut berdasarkan hasil pengolahan susenas 2019, yang menunjukan bahwa PKH memberikan kontribusi nilai pengeluaran makanan sebesar 25% bagi kelompok 20% termiskin.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, melalui strategi kebijakan tersebut pemerintah telah melakukan upaya penyelesaian dua permasalahan sekaligus. Pertama, bantuan non tunai akan bermanfaat sebagai social safety net bagi masyarakat miskin untuk membantu mengurangi dampak ekonomi dan sosial akibat Pandemi Covid-19. Kedua, sebagai katalisator inklusi keuangan. Dalam hal ini, KPM diharuskan membuka rekening untuk mencarikan dana bansos. Harapannya KPM juga memanfaatkan layanan keuangan lainnya yang akan berdampak sebagai penanggulangan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan untuk jangka yang lebih panjang.
Akan tetapi, sama dengan halnya kebijakan lain, bantuan sosial non tunai PKH juga tak luput dari permasalahan dalam pengimplementasiannya. Menurut temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2020, terdapat pengendapan saldo sebesar Rp 91,34 miliar di rekening KPM akibat dari 96.483 KKS tidak terdistribusi. BPK menduga bahwa terdapat masalah data di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini berisiko merugikan KPM yang seharusnya mendapatkan bansos, karena pencarian/penarikan tunai hanya dapat menggunakan KKS sebagai kartu debit rekening tabungan.
ADVERTISEMENT
Permasalahan implementasi juga ditemukan oleh Women's World Banking (WWB). Melalui survei yang dilakukan pada akhir tahun 2019, 79,3% total responden mengaku menarik seluruh saldo dengan cepat, memungkinkan KPM tidak memanfaatkan produk keuangan lainnya. Dari temuan tersebut setidaknya terdapat dua temuan yang disorot oleh penulis. Pertama, sebanyak 8,2% dari KPM beralasan menghemat ongkos dan waktu. Hal ini disebabkan tidak meratanya ketersediaan infrastruktur berupa anjungan tunai mandiri (ATM) dan kantor bank di seluruh pelosok daerah. Temuan ini, terkait dengan temuan BPK sebelumnya, yaitu permasalahan yang dapat diselesaikan dengan reformasi sistem infrastruktur yaitu teknologi mutakhir yang efisien bagi KPM maupun penyelenggara kebijakan.
Kedua, dari hasil survey yang sama, (WWB, 2019), sebanyak 73,4% dari KPM beralasan memerlukan uang tunai. KPM menggunakannya untuk keperluan pembayaran utang kepada saudara/tetangga dan keperluan mendesak seperti pembayaran biaya sekolah. Penulis beranggapan bahwa, hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan KPM atas fasilitas produk perbankan yang dapat digunakan, serta ekosistem pembayaran yang masih perlu menggunakan uang tunai.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, temuan dari BPK dan WWB dapat disebut sebagai barriers untuk mencapai inklusi keuangan. Hal tersebut didukung oleh studi (Fungacova & Weill, 2014), barriers tersebut terlihat dalam ungkapan Too far away, too expensive, lack of documentation, lack of trust, lack of money, religious reasons, dan family member has one. Sedangkan menurut (Shankar, 2013), aspek financial literacy merupakan barriers yang dilihat dari demand side. Dengan demikian, perlu adanya perbaikan oleh pemerintah untuk mengatasi barriers. Agar tujuan inklusi keuangan melalui strategi kebijakan G2P bansos nontunai tercapai.
Setidaknya terdapat 3 rekomendasi perbaikan yang diperoleh dari berbagai sumber. Pertama, transformasi G2P 4.0 dengan menggunakan Biometrik Wajah dalam penyaluran bantuan non tunai. Rekomendasi ini telah ditulis oleh TNP2K, AFTECH, dan Lembaga Demografi FEB UI dalam sebuah Policy Paper. Mereka juga melakukan uji coba skema pencairan/pengambilan tunai. Dengan hanya otentifikasi wajah melalui aplikasi pada smartphone milik merchant, KPM dapat melakukan verifikasi, menarik tunai, dan pembayaran menggunakan saldo bansos yang dimiliki. Praktik ini telah dilakukan di India, dengan total transaksi menggunakan otentifikasi biometrik mencapai 44,6 miliar pada Juli 2021 (Unique Identification Authority of India, 2021).
ADVERTISEMENT
Rekomendasi ini, dapat menjadi solusi dari temuan BPK yaitu, fungsi KKS sebagai alat otentifikasi penarikan saldo dapat digantikan dengan aplikasi Biometrik Wajah. Hal ini menyebabkan KKS tidak digunakan untuk penyaluran bansos, serta menghilangkan risiko pengendapan saldo bansos akibat KKS yang tidak terdistribusi. Biometrik Wajah juga menjadi solusi dari temuan WWB tentang KPM menarik seluruh saldo karena menghemat ongkos dan waktu. KPM tidak perlu datang ke ATM/Kantor Bank untuk mencairkan bansos, melainkan dapat menarik tunai maupun transaksi menggunakan aplikasi Biometrik Wajah melalui sistem yang langsung terhubung ke rekening KPM.
Kedua, mendesain ulang pelatihan P2K2 untuk meningkatkan literasi keuangan. Rekomendasi yang dibuat oleh WWB ini, diperuntukan menjadi solusi atas temuannya yaitu KPM menarik seluruh saldo karena membutuhkan uang tunai. Dengan menunjukan manfaat penggunaan rekening untuk tabungan, transfer, dan pembayaran, nantinya KPM tidak hanya sekedar menggunakan rekening untuk mencairkan bansos. Sehingga manfaat dari menggunakan berbagai produk keuangan formal akan dinikmati oleh KPM.
ADVERTISEMENT
Ketiga, implementasi pendidikan keuangan di sekolah untuk program literasi keuangan jangka panjang. Rekomendasi yang dikembangkan (OECD, 2012), dilakukan dengan mengintegrasikan pendidikan keuangan ke dalam kurikulum sekolah sebagai bagian dari strategi nasional yang terkoordinasi. Sebagai solusi jangka panjang, hal ini bermanfaat agar KPM dimasa mendatang dapat memaksimalkan manfaat akses keuangan rekening PKH. Harapannya, pemanfaatan rekening tersebut sampai pada tahap menggunakan fasilitas kredit dan deposito.
Jika dilakukan perbaikan dengan serius, strategi kebijakan bansos PKH akan memberikan dampak secara maksimal sebagai katalisator untuk meningkatkan inklusivitas keuangan. Sebab secara tidak langsung ‘memaksa’ masyarakat untuk menggunakan layanan, jasa, dan produk perbankan. Jika partisipasinya mengalami peningkatan secara kualitas dan kuantitas, maka harapan untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan kesenjangan pun tercapai.
Penulis : Danu Firman Ardiansyah (Peneliti Melek APBN - Mahasiswa Universitas Islam Indonesia)