Alih Terminologi Tenaga Kerja Indonesia

Fenny Melisa
ASN Kementerian Ketenagakerjaan
Konten dari Pengguna
7 Oktober 2020 16:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fenny Melisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.ilmu-ekonomi-id.com/2016/09/tenaga-kerja-indonesia.html
zoom-in-whitePerbesar
https://www.ilmu-ekonomi-id.com/2016/09/tenaga-kerja-indonesia.html
ADVERTISEMENT
Nama adalah doa. Kira-kira inilah yang pas menjadi filosofi perubahan terminologi Tenaga Kerja Indonesia menjadi Pekerja Migran Indonesia. Perubahan terminologi ini diamini dengan perubahan regulasi yang menjadi dasar pelaksanaan tenaga kerja Indonesia agar dapat bekerja ke luar negeri, yang semula Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Judul pun berubah, jika Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 berjudul Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Kata ‘penempatan’ yang seolah-olah identik dengan ‘barang’ bukan orang, hilang diganti menjadi ‘pelindungan’ saja. Tentu pengutamaan kata ‘pelindungan’ ini lagi-lagi adalah doa agar tidak ada lagi kasus-kasus tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang menyayat hati.
Ilustrasi tenaga kerja Foto: Pixabay
Kembali ke soal terminologi, perubahan istilah Tenaga Kerja Indonesia menjadi Pekerja Migran Indonesia memiliki beberapa perbedaan yang substantif. Pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 pasal 1, Pekerja Migran Indonesia—agak sulit disingkat PMI karena telah ada akronim PMI untuk Palang Merah Indonesia— adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.
Pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, yang disebut TKI yang terpenting adalah bagaimana memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, yang ditekankan bukan sekadar pemenuhan standar syarat bekerja di luar negeri, tapi lebih ditekankan pada spesifikasi waktu yaitu akan, sedang, dan telah bekerja di luar negeri. Artinya bahwa pelindungan—bukan pe(r)lindungan menurut ahli bahasa pada sidang paripurna revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004— diutamakan pada setiap proses pelaksanaan Pekerja Migran Indonesia untuk bekerja di luar negeri baik ketika akan berangkat, sedang di negara penempatan, dan setelah kembali ke tanah air.
ADVERTISEMENT
Mengadopsi Konvensi Internasional
Sesungguhnya, kata ‘migran’ pada terminologi Pekerja Migran Indonesia mengadopsi konvensi internasional yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pengesahan International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) yang juga menjadi dasar hukum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017. Bukan hanya mengadopsi kata ‘migran’ saja, substansi konvensi internasional ini pun diadopsi banyak pada substansi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017.
Misalnya kita lihat pada ketentuan umum masing-masing undang-undang. Pada ketentuan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tidak disebutkan soal keluarga TKI namun pada ketentuan umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, dimuat tentang keluarga Pekerja Migran Indonesia yaitu suami, istri, anak, atau orang tua Pekerja Migran Indonesia baik yang berada di Indonesia maupun yang tinggal bersama Pekerja Migran Indonesia di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Artinya memang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 yakni memperhatikan posisi juga hak keluarga Pekerja Migran Indonesia dan menjadikan keluarga Pekerja Migran Indonesia sebagai support system pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Sebagai contoh, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 pasal 6 ayat (3) setiap keluarga Pekerja Migran Indonesia memiliki hak memperoleh informasi mengenai kondisi, masalah, dan kepulangan Pekerja Migran Indonesia, menerima seluruh harta benda Pekerja Migran Indonesia yang meninggal di luar negeri, memperoleh salinan dokumen dan Perjanjian Kerja Calon Pekerja Migran Indonesia/Pekerja Migran Indonesia, dan memperoleh akses berkomunikasi.
Keluarga sebagai Support System
http://www.koran-jakarta.com/manfaat-program-desmigratif/
Tidak hanya itu, keluarga pun menjadi support system pelindungan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 ini. Misalnya dalam pemberkasan dokumen, agar dapat bekerja ke luar negeri, Calon Pekerja Migran Indonesia harus memiliki surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah.
ADVERTISEMENT
Mengapa harus diketahui oleh kepala desa atau lurah? Karena banyak kasus sebelumnya, surat izin ini banyak dipalsukan oleh oknum. Dengan diketahuinya oleh kepala desa atau lurah ini diharapkan bahwa pelindungan Calon Pekerja Migran Indonesia dimulai dari keluarga dan lingkungan terdekatnya yaitu desa/lurah tempat tinggal.
Selain menjadikan keluarga Pekerja Migran Indonesia sebagai support system, keluarga menjadi objek yang turut dilindungi dalam spirit Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017. Seperti tertuang pada Permenaker Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberdayaan Komunitas Pekerja Migran Indonesia di Desa Migran Produktif yang sejalan dengan spirit Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017.
Pada peraturan menteri tersebut, Desa Migran Produktif (Desmigratif) memberdayakan keluarga Pekerja Migran Indonesia dengan memfasilitasi pembentukan komunitas pembangunan keluarga antara lain memberikan pelayanan pelaksanaan bimbingan konseling, bimbingan pengelolaan keuangan, bimbingan baca, tulis, hitung, kesenian, olahraga, internet sehat, dan kerohanian untuk anak.
ADVERTISEMENT
November 2020 ini terhitung 3 (tiga) tahun sudah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 berlaku. Hampir 3 (tiga) tahun pula alih terminologi TKI berubah menjadi Pekerja Migran Indonesia. Meski berjalan cukup lama, namun masih ada yang menggunakan TKI sebagai terminologi dalam penyebutan pekerja Indonesia yang bekerja ke luar negeri. Karena buatan manusia, tentu saja undang-undang ini tidak sempurna namun paling tidak lebih baik dari regulasi sebelumnya. Sehingga sesuai judulnya, pelindungan Pekerja Migran Indonesia benar-benar tercipta. Semoga.