Konten dari Pengguna

Revitalisasi Peran Pengantar Kerja dalam Mengurangi Pengangguran

Fenny Melisa
Freelance Writer
31 Agustus 2022 14:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fenny Melisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengangguran seakan menjadi momok hari ini. Bagaimana tidak, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Sakernas Februari 2022, pengangguran berjumlah 8,40 juta orang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang menjadi indikator untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja menunjukkan angka 5,83%. Artinya, dari 100 orang angkatan kerja enam orang di antaranya adalah pengangguran.
ADVERTISEMENT
Enam orang pengangguran tersebut, boleh jadi terdiri dari angkatan kerja laki-laki. Mereka tinggal di perkotaan, berusia 15 sampai dengan 24 tahun, dengan pendidikan paling tinggi adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Hal tersebut disimpulkan dari data hasil Sakernas Februari 2022 yang menunjukkan persentase TPT tertinggi untuk kategori jenis kelamin jatuh pada angkatan kerja gender laki-laki dengan persentase 6,31%. Untuk kategori menurut daerah tempat tinggal persentase tertinggi jatuh pada angkatan kerja yang tinggal di perkotaan yaitu sebesar 7,61%.
Untuk kategori kelompok umur, persentase tertinggi jatuh pada angkatan kerja kelompok umur muda yaitu 15-24 tahun. Sedangkan untuk kategori pendidikan tertinggi yang ditamatkan jatuh pada angkatan kerja dengan pendidikan tertinggi SMK yaitu sebesar 10,38%.
ADVERTISEMENT
Ditambah dengan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dalam kurun waktu dua tahun belakang turut membuat pengangguran menjadi hal yang jamak. Berita Resmi Statistik (BRS) BPS merilis dampak Covid-19 terhadap penduduk usia kerja periode Februari 2021 sampai dengan Februari 2022 sebanyak 11,53 juta orang. Dari jumlah tersebut, 0,96 juta orang menganggur akibat Covid-19.
Padahal, jumlah angkatan kerja pada Februari 2022 sebanyak 144,01 juta orang. Jumlah tersebut meningkat sebesar 4,20 juta orang jika dibandingkan dengan data pada bulan Februari 2021.
Fakta berdasarkan data ini sangat disayangkan apalagi jika bonus demografi yang digadang-gadang akan dialami Indonesia terjadi di saat jumlah pengangguran masih terasa terus bertambah. Pengangguran membuat bonus demografi alih-alih berkah, malah menjadi musibah.
ADVERTISEMENT
Peran Pengantar Kerja
Menilik permasalahan pengangguran ini memang tidak bisa dari satu sisi. Pengangguran merupakan akumulasi dari permasalahan-permasalahan klasik.
Hulu pengangguran bukan hanya soal kemiskinan, melainkan juga soal kurangnya pendidikan, atau kurangnya keterampilan. Karena faktanya, berdasarkan data BRS BPS pada Februari 2022, penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi masih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) ke bawah yaitu sebesar 39,10%. Artinya mereka yang paling banyak bekerja saat ini adalah mereka yang tamatan SD atau belum tamat SD atau bahkan belum pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Selisihnya pun signifikan antara penduduk yang bekerja dengan pendidikan tertinggi tamatan Diploma I sampai dengan S1 (12,60%) dengan penduduk yang bekerja dengan pendidikan tertinggi tamatan SD (39,10%) yaitu sebesar 26,5%.
ADVERTISEMENT
Persentase penduduk bekerja tamatan SD tersebut pun mengalami peningkatan sebesar 1,69% jika dibandingkan dengan Februari 2021. Hal ini berbanding terbalik dengan data penduduk yang bekerja dengan tingkat pendidikan SMP sampai dengan S1 yang justru mengalami penurunan persentase (terutama pada pada pendidikan SMA/SMK) yaitu sebesar 0,57%.
Melihat data-data tersebut, pengangguran mungkin terjadi bukan hanya karena pendidikan. Sebab faktanya yang paling banyak bekerja hari ini adalah mereka yang jenjang pendidikannya hanya sampai sekolah dasar.
Jika seperti ini, maka mungkin saja pengangguran terjadi karena hilirnya yang tersumbat yaitu penyerapan pengangguran pada lapangan kerja yang ada belum berjalan lancar. Hal ini dibuktikan dengan penurunan terserapnya penduduk yang bekerja untuk tamatan SMP sampai dengan S1 berdasarkan data BRS BPS Februari 2022 yang dirilis 9 Mei 2022 lalu hanya sebesar 0,57%.
ADVERTISEMENT
Hal ini boleh jadi disebabkan kurang maksimalnya peran profesi Pengantar Kerja dalam melaksanakan antar kerja yang menjadi mandat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 39 Tahun 2016 tentang Penempatan Tenaga Kerja.
Antar kerja dalam permenaker tersebut adalah sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi pelayanan informasi pasar kerja, penyuluhan dan bimbingan jabatan, dan perantaraan kerja. Objek dari tiga kegiatan tersebut adalah mereka yang belum bekerja atau pengangguran.
Dalam menjalankan sistem tersebut, peran seorang Pengantar Kerja amat mulia yaitu mengantarkan seseorang untuk dapat bekerja melalui tiga kegiatan yang disebutkan dalam antar kerja.
Pengantar Kerja menurut Permenaker Nomor 39 Tahun 2016 adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pelayanan antar
Pengantar Kerja bersama dengan Sekjen Kemenaker RI Bapak Anwar Sanusi (Dokumentasi Direktorat Bina Pengantar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan)
kerja. Yang menjadi golnya adalah perantaraan kerja yaitu mempertemukan pencari kerja dengan pemberi kerja sampai terjadinya hubungan kerja.
ADVERTISEMENT
Namun, saat ini, dari tiga hal inti pelaksanaan antar kerja, Pengantar Kerja lebih dominan melakukan kegiatan pertama yaitu pemberian pelayanan informasi pasar kerja. Pelayanan pemberian informasi pasar kerja dalam bentuk pemberian informasi lowongan kerja ini sangat baik. Hanya saja perlu dukungan secara legal dalam penguatan peran Pengantar Kerja untuk mendapatkan informasi lowongan pekerjaan yang sahih, valid, dan tepercaya dari perusahaan/pemberi kerja.
Sejauh ini, dukungan legal secara tidak langsung masih termuat dalam Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan di Perusahaan. Dalam regulasi yang terbit 42 tahun lalu itu, disebutkan bahwa setiap pengusaha atau perusahaan diwajibkan untuk melaporkan secara tertulis lowongan pekerjaan yang ada.
Namun, kewajiban pelaporan informasi lowongan pekerjaan tersebut tidak ditujukan pada Pengantar Kerja tapi kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Regulasi turunannya pun berupa Peraturan Menteri tidak kunjung terbit sehingga pelaksanaan pelaporan lowongan pekerjaan tersebut menjadi mandek. Pengantar Kerja pun hari ini tidak bisa ‘memaksa’ perusahaan melaporkan lowongan pekerjaan yang ada.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, saat ini jumlah Pengantar Kerja, jika dibandingkan dengan jumlah pengangguran yang ada, masih belum memadai.
Berdasarkan data Direktorat Bina Pengantar Kerja Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta dan PKK) Kementerian Ketenagakerjaan, per April 2022, Pengantar Kerja seluruh Indonesia berjumlah 1.051 yang berasal dari Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), dan satuan kerja yang membidangi ketenagakerjaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Dengan jumlah pengangguran saat ini mencapai 8,40 juta orang dan jumlah Pengantar Kerja yang ada yaitu 1051 orang, maka satu orang Pengantar Kerja menangani kurang lebih 7.992 orang pencari kerja. Tentu saja dengan logika sederhana ini dapat disimpulkan jumlah Pengantar Kerja belum memadai sehingga diperlukan penambahan jumlah Pengantar Kerja.
ADVERTISEMENT
Melihat hal tersebut, maka perlu dukungan dari banyak pihak di luar Pengantar Kerja agar Pengantar Kerja dapat dengan optimal mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Dukungan tersebut dapat dimulai dengan dukungan legal formal agar Pengantar Kerja untuk mendapatkan informasi lowongan kerja yang akurat dari perusahaan atau pemberi kerja hingga dukungan terhadap kuantitas Pengantar Kerja yang ada.