Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
"BOM WAKTU" DEMOKRASI INDONESIA!
25 Oktober 2017 13:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Melky Jakhin Pangemanan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca Pilkada DKI Jakarta dengan kekalahan Ahok-Djarot saya menulis sebuah tulisan dengan judul "Darurat Demokrasi Indonesia". Bukan karena saya dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendukung Ahok-Djarot lalu kalah dan kecewa dengan hasil Pilkada DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Alasannya adalah karena kemenangan Anies-Sandi diwarnai dengan isu SARA yang menyerang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Identitas digunakan sebagai “senjata politik" untuk mengalahkan lawan politik. Ini tentu sangat membahayakan kelangsungan demokrasi Indonesia.
Dalam suatu pidato Barrack Obama dihadapan anak-anak muda Virginia, dia mengatakan, "If you have to win a campaign by dividing people, you are not gonna be able to govern them". Ungkapan tersebut sangat tepat buat Anies-Sandi sebagai konsekuensi atas apa yang mereka lakukan saat Pilkada DKI Jakarta.
Pada tahun 2015, Indeks Demokrasi Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 73,04. Pada 2016, angka tersebut menurun menjadi 72,82 dan pada tahun ini, angka tersebut kembali turun ke 70,09. Hal ini diakibatkan munculnya isu SARA dan hoax saat kontestasi demokrasi berlangsung khususnya saat Pilkada DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Analisis saya pasca kekalahan Ahok-Djarot bahwa demokrasi Indonesia sedang darurat dan berada dititik terbawah. Sekarang ini saya melihat demokrasi kita tinggal menunggu "kehancuran" karena ada "Bom Waktu" yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Solusinya adalah lawan kelompok dan pemimpin yang radikal dan intoleran dengan begitu Bom Waktu bisa dimatikan! Saat ini kekuatan kelompok radikal dan intoleran dapat berkuasa dan dengan mudah mengalahkan kekuatan kaum nasionalis Indonesia.
Mendikotomikan "Pribumi & Non Pribumi" adalah cara untuk merusak kelangsungan demokrasi Indonesia. Ambisi pribadi mengorbankan kepentingan publik dan berpotensi memecah belah bangsa. Ini jelas lebih membahayakan! Anies Baswedan bisa membahayakan demokrasi Indonesia.
Langkah politiknya tidak berubah sekalipun telah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta. Gemar sekali memainkan kata-kata yang memecah belah bangsa dan mencederai semangat kebhinekaan kita padahal jauh lebih penting kerja dan fokus pada tanggung jawabnya sebagai Gubernur ketimbang berbicara apalagi merasahkan publik.
ADVERTISEMENT
Dulu Ahok suka diserang karena gaya bicaranya yang kasar meskipun kerjanya benar dan profesional. Sekarang ketika Anies "meresahkan" masyarakat dengan pidatonya mengenai Pribumi, malahan publik diminta untuk melihat konteks. Sungguh terlalu...!!!
Waspadai Anies Baswedan! Sang Gubernur tentunya memiliki ambisi politik yang besar. Sasarannya adalah Pemilihan Presiden 2019. Masih ingat ketika dia mengikuti konvensi calon Presiden dari Partai Demokrat? Ambisi politiknya perlu diapresiasi, tapi caranya mungkin keliru dan bisa mencederai demokrasi Indonesia.
Anies Baswedan sadar bahwa momentumnya adalah sekarang ini. Diucapkannya kata Pribumi saat pidato adalah strateginya untuk menaikkan popularitas dan menjaga kepercayaan kelompoknya yang kemarin memenangkannya saat Pilkada DKI Jakarta.
Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Principe atau Sang Penguasa, menguraikan tentang tindakan yang bisa atau perlu dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Baginya seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan. Sehingga nama Machiavelli diasosiasikan dengan hal yang buruk, untuk menghalalkan cara demi mencapai suatu tujuan.
Siapa yang melakukan tindakan seperti pandangan Machiavelli, menghalalkan segala cara untuk suatu tujuan disebut "Makiavelis", sedangkan bukunya sendiri Il Principe sering dijuluki orang sebagai “Buku petunjuk untuk para diktator”.
Sang Gubernur dan kelompoknya mungkinkah bisa disebut Makiavelis? Apakah Sang Gubernur suka membaca buku tersebut sebagai suatu petunjuk melatih kediktatorannya?
Jangan biarkan Anies Baswedan memanfaatkan "kata-kata" untuk memprovokasi dan menimbulkan perpecahan serta rapatkan barisan untuk melawan intoleransi dan ketidakadilan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Anies Baswedan dan kelompok pendukungnya telah mampu menumbangkan kepemimpinan Ahok yang jujur dan anti korupsi dengan cara-cara yang tidak bermartabat dan merusak demokrasi kita.
Anies Baswedan ingin mengulang langkah Presiden Joko Widodo menang Gubernur DKI Jakarta dan setelah itu sukses menjadi Presiden. Jangan sampai kita mengorbankan satu lagi anak bangsa yang jujur dan anti korupsi kalah dalam pertarungan di Pilpres 2019.
Dukung Joko Widodo, jangan biarkan Anies memanfaatkan situasi ini. Ahok sudah berkorban demi kepentingan publik. Berdirilah bersama Jokowi. Saatnya bersuara dan lawan cara-cara yang memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Saya bersama Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah berkomitmen untuk tetap setia bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan berjuang menuruskan nilai-nilai moral yang diajarkan Ahok, lawan korupsi dan intoleransi.
ADVERTISEMENT
PSI juga telah mendeklarasikan dukungan kepada Joko Widodo (Jokowi) untuk Pemilihan Presiden tahun 2019 dan siap mengawal Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
Salam Solidaritas!
Melky Pangemanan, S.IP., MAP., M.Si
(Ketua DPW PSI Sulawesi Utara)