Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Politik Dinasti, Positif atau Negatif?
20 Januari 2018 12:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Melky Jakhin Pangemanan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Praktek politik dinasti di tanah air kerap kali menjadi perbincangan yang hangat dalam setiap momentum pemilihan umum. Pilkada serentak tahun ini pun politik dinasti tak bisa dihindari dalam ruang demokrasi elektoral.
ADVERTISEMENT
*(Ketua DPW PSI Sulawesi air kerap kali menjadi perbincangan yang hangat dalam setiap momentum pemilihan umum. Pilkada serentak tahun ini pun politik dinasti tak bisa dihindari dalam ruang demokrasi elektoral.
Saat ini dari 57 pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan mengikuti Pilkada serentak 2018, ada 6 pasangan calon yang merupakan anggota keluarga dari incumbent. Geliat politik dinasti pun tidak lepas dalam pemilihan kepala daerah ditingkat kabupaten/kota.
Politik dinasti sebenarnya paling identik dengan sistem monarki, karena dalam sistem monarki jelas terjadi adanya kelanggengan kekuasaan secara turun temurun, contoh ayahnya seorang raja tentunya setelah dia melepas kekuasaannya itu, maka tampuk kekuasaan secara otomatis diberikan ke anaknya.
Akan tetapi di alam demokrasi terbuka, seperti di Indonesia, politik dinasti pun tetap langgeng dan tumbuh subur. Konsep demokrasi yang ideal dan terbuka sebenarnya diharapkan dapat mengikis terjadinya politik dinasti tak seperti sistem monarki.
ADVERTISEMENT
Menurut saya politik dinasti yang saat ini berkembang merupakan sesuatu yang alamiah dalam konteks demokrasi yang terbuka. Stigma dan kekhawatiran memonopoli kekuasaan dan pelanggaran norma dan etika dalam masyarakat membuat politik dinasti cenderung dilihat secara negatif.
Politik dinasti tak bisa dipisahkan dari dinamika politik yang ada dan merupakan hasil dari dinamika demokrasi prosedural yang memiliki legitimasi karena melalui suatu proses politik yang diakui bersama.
Politik dinasti, mengapa bisa terjadi? Karena, di era demokrasi istilah ini menjadi "contradictio in terminis", kedua kosakata ini bertentangan, yakni politik dinasti dan demokrasi.
Sebab sejatinya tidak ada dinasti dalam era demokrasi, karena sangat bertentangan dengan hakikat demokrasi itu sendiri yang memberi kesempatan bagi siapa saja untuk berekspresi.
ADVERTISEMENT
Proses demokrasi yang terbuka seperti Indonesia sangat memungkinkan terjadinya politik dinasti. Apalagi konstitusi kita pun menjamin setiap warga negara memiliki hak yang sama, dalam hal ini hak politik untuk dipilih dan memilih sebagai warga negara.
Pertanyaannya apakah dengan stigma negatif terkait politik dinasti lantas "membunuh" hak politik seseorang untuk berkarya dan mengabdi bagi negeri? Apakah salah jika seseorang dilahirkan dari orang tuanya yang merupakan seorang pemimpin?
Muhammad Irham Fuadi (2010) dalam tulisannya “Berkembangnya Dinasti Politik di Indonesia” mengatakan bahwa ada potensi abuse of power dalam dinasti yang akan menimbulkan korupsi yang diikuti oleh kolusi dan nepotisme. Hal ini sinkron dengan teori Lord Acton bahwa Absolutely power tends to corrupt.
ADVERTISEMENT
Tulisan tersebut seharusnya dijawab dengan membangun sistem pengawasan yang baik di pemerintahan dan penguatan pola rekrutmen yang baik pula dalam tubuh partai politik serta edukasi politik secara terus menerus kepada masyarakat sehingga bisa melahirkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas dalam ruang demokrasi terbuka.
Politik dinasti acap kali menjadi polemik ketika mulai meletakkan nilai etika. Ada yang melihat bahwa etika mesti dikedepankan dengan mengesampingkan nilai keadilan sehingga politik dinasti tidak merajalela. Tapi juga etika sangat bersinggungan dengan nilai keadilan dan kesetaraan di masyarakat, tak bisa diabaikan begitu saja. Soal politik dinasti adalah sesuatu yang dilematis jika berbicara soal nilai-nilai etika.
Bagi saya, politik dinasti bukan hanya soal etis atau tidak etis, baik atau tidak baik, suka atau tidak suka tapi lebih pada apakah para politisi dinasti memiliki kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas jika kelak dipercayakan menjadi pemimpin.
ADVERTISEMENT
Hal ini yang seharusnya menjadi tolak ukur partai politik dan konstituen dalam menentukan calon yang akan diusung dan dipilih. Sepanjang calon tersebut memiliki kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas maka tak elok menganggap politisi dinasti adalah sesuatu yang tak etis dan negatif.
Sebaliknya kecenderungan politisi dinasti yang rekam jejaknya kurang baik, cenderung menyalahgunakan kewenangan, belum teruji kemampuan kepemimpinan dan berorientasi pada kepentingan pribadi, maka layak untuk "diadili" dan mendapatkan "sanksi politik" dalam pemilihan umum.
Menurut saya solusi terkait polemik politik dinasti adalah dengan cara "Pengendalian Politik Dinasti". Mengapa politik dinasti perlu dikendalikan? Paling tidak, perlu ada solusi yang membuat politik dinasti tidak menjadi alat untuk “abuse of power” yang bisa terjadi secara turun-temurun.
ADVERTISEMENT
Penguatan regulasi merupakan salah satu bentuk pengendalian politik dinasti dengan tetap memperhatikan hak, kesetaraan dan keadilan masyarakat.
Partai politik pun menjadi salah satu sarana paling aktif untuk bisa mengendalikan politik dinasti. Minimnya kaderisasi di partai politik menjadi cikal bakal bertumbuhnya politik dinasti.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, Pasal 29 ayat 2, sudah jelas mengatakan, rekrutmen terhadap bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh partai politik terhadap warga negara Indonesia secara demokratis dan terbuka.
Partai politik selayaknya menjalankan pola rekrutmen dengan berbasis kaderisasi, demokratis dan terbuka agar dapat menghasilkan calon pemimpin yang melalui tahapan yang selektif bukan berdasarkan kekerabatan semata dan karena faktor kekuatan finansial.
ADVERTISEMENT
Demokratisasi harus lebih dulu dijalankan oleh partai politik. Partai politik jangan hanya sebatas kendaraan politik yang dimiliki sebagian elit tapi partai politik harus dibangun dengan kedaulatan penuh seluruh anggota dan pengurusnya.
Penguatan fungsi partai politik akan menghindari praktek kolusi dan nepotisme dalam perekrutan calon. Partai politik tidak bisa bersikap eksklusif tapi harus inklusif sehingga dapat menghindari pragmatisme politik dan bisa mengubah wajah demokrasi Indonesia serta bisa "mengendalikan" politik dinasti.
Melky Pangemanan, S.IP., MAP., M.Si
(Ketua DPW PSI Sulawesi Utara)