Konten dari Pengguna

HAM: Sejauh Mana Negara dan Institusi Pendidikan dapat Mempromosikannya?

Melly Arzeti Fisichella
Mahasiswi S1 Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana
13 Agustus 2023 16:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Melly Arzeti Fisichella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Lara Jameson/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Lara Jameson/Pexels
ADVERTISEMENT
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hal mutlak yang dimiliki setiap manusia dan diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Berbicara mengenai HAM, Indonesia sebagai negara hukum memberikan hak dasar kepada rakyatnya secara individu semenjak individu tersebut dilahirkan.
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian menjadi hak yang tidak dapat dirampas, dicabut dan wajib dihormati, serta dijunjung dan dilindungi oleh pemerintah Republik Indonesia. Dijaganya hak asasi manusia akan memberikan setiap orang kehormatan yang melindungi segenap harkat martabat manusia berlandaskan hukum yang diterapkan di Indonesia.
Hak Asasi Manusia dari pandangan Jan Materson merupakan hak-hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia. Dan, tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.
Secara pokok hak yang dimiliki atas manusia dianggap hak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun dan tidak ada kekuasaan manapun yang mampu melakukan itu. Negara wajib melakukan tanggung jawabnya dengan menjamin manusia yang ada di Indonesia untuk dilindungi dan memberikan sanksi terhadap pelanggar.
ADVERTISEMENT

Negara dan HAM: Relasi yang Rumit?

Tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, perlindungan atas Hak Asasi Manusia wajib dilaksanakan negara terhadap warga negaranya. Pada pasal 1 ayat 3 dari Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, menjadikan hukum di Indonesia adalah suatu hal pasti sehingga realisasinya dapat dipertanggungjawabkan.
Sifat HAM adalah universal. Hal ini juga dipertegas dalam bagaimana peran aktor negara dalam menyelaraskannya dengan perjanjian-perjanjian HAM internasional.
Kondisi ini juga dapat dilihat pada bagaimana hukum di Indonesia wajib untuk ditaati, karena Indonesia juga merupakan bagian dari pihak yang meratifikasi perjanjian internasional tentang penegakan HAM internasional. Namun pada realisasinya, pelanggaran dan penyelesaian HAM yang belum tuntas secara gamblang masih sering terjadi ketika unsur politik hadir di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Dari dasar ini, sebagai individu yang haknya melekat dan sebagai perwujudan dari tanggung jawab negara, banyak kasus HAM yang belum bisa dipertanggungjawabkan negara secara penuh terhadap masyarakat sebagai "pemilik" demokrasi negara.
Banyak rakyat Indonesia merasa bahwa hak yang dimiliki oleh mereka ini tidak dihormati sebagaimana mestinya. Reaksi yang ditimbulkan pun mencuri atensi karena tidak adanya pertanggungjawaban atas hilangnya hak mutlak mereka sebagai manusia dan rakyat Indonesia.
Pelanggaran HAM yang masih sering terjadi mendorong beberapa bentuk penegasan kekuatan hukum yang mendasarinya. Beberapa bentuk hukum positif yang dibuat dapat dirujuk ke dalam beberapa UU Republik Indonesia.
Beberapa di antaranya seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Hukum mengenai HAM ini kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 mengenai pengadilan pada pelanggaran yang terjadi pada hak asasi manusia khususnya pelanggaran berat.
ADVERTISEMENT
Baik melalui UU Republik Indonesia maupun pendapat para ahli, dapat diperjelas bahwa semua unsur HAM berkutat pada freedom from want, freedom from fear, dan freedom to live in dignity. Ketiga unsur tersebut mengarah pada apa yang kita pahami sebagai konsep human security. Di mana negara sebagai institusi utama wajib memberikan jaminan pada individu untuk mendapatkannya.

Institusi Pendidikan Sebagai Promotor Inklusivitas HAM?

Tidak dapat dihindari bahwa negara memang menjadi salah satu pemain inti dalam penegakan HAM. Meskipun demikian, banyak aktor non-negara yang saat ini juga memainkan peran krusial dalam mempromosikan dan mengarusutamakan konsep serta praktik HAM di level akar rumput. Mulai dari lembaga swadaya masyarakat, individu, swasta, hingga institusi pendidikan.
Institusi pendidikan memainkan peran sentral karena menjadi salah satu produsen utama kajian akademik dan intelegensia diskursus HAM. Banyak kajian secara teoritis dan prediktif hadir melalui institusi pendidikan.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, sudah semestinya institusi pendidikan bisa memainkan peran penting dalam mewujudkan praktik realisasi HAM, alih-alih hanya sebatas kajian teoritis.
Bentuk-bentuk realisasi tersebut dalam diwujudnyatakan ke dalam berbagai bentuk, seperti tegasnya institusi pendidikan dalam menangani kasus pelanggaran HAM di lingkungan kampus, yang bisa meliputi pelecehan seksual, pembunuhan, dan sebagainya.
Berkaitan dengan realitas dan apa yang seharusnya terjadi, masih banyak institusi pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga lingkungan perguruan tinggi masih menjadi pelaku utama kekerasan berbasis HAM secara struktural.
Kekerasan struktural ini meliputi pada bagaimana aktor yang terlibat di dalamnya secara sadar berusaha menutupi dan melanggengkan kekerasan-kekerasan berbasis pelanggaran HAM untuk tetap ada di lingkungan tersebut.
Biasanya kekerasan struktural ini bisa laten terjadi akibat adanya pengaruh sosial, politik, dan ekonomi yang menciptakan disparitas jelas mengenai siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran berbasis HAM terkadang terkungkung dalam dogma ringan dan berat. Namun, pada dasarnya semua itu merupakan sebuah pelanggaran yang sama beratnya jika secara sadar dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi atau merugikan HAM orang lain atas dasar isu-isu tertentu.
Pelanggaran-pelanggaran HAM "ringan" seperti dipaksanya siswa Kristen di Aceh Singkil belajar agama Islam (2016), siswi beragama Nasrani yang dipaksa memakai hijab di lingkungan sekolah negeri di Padang (2021), dan kasus pengeroyokan dan perundungan di berbagai sekolah.
Sementara dalam kasus pelanggaran HAM berat seperti kematian Akseyna yang belum dapat diselesaikan oleh negara. Itu menjadi beberapa bentuk nyata dari lepasnya tanggung jawab negara dan institusi pendidikan sebagai promotor HAM.
Bagaimana mungkin siswa yang nantinya terjun ke masyarakat bisa menjadi pelopor dan menjadi individu yang menjunjung tinggi HAM jika dalam lingkup institusi pendidikan saja tidak menjadi pelopor dari adanya penghormatan HAM.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan sebuah tindakan nyata mulai dari pendidikan dasar sebagai fondasi awal dalam perwujudan dan pengarusutamaan HAM di lingkungan masyarakat nantinya.
Mulai dari kasus-kasus pelanaggaran HAM "ringan" di lingkungan sekolah hingga kasus-kasus berat seperti kematian Akseyna yang belum selesai bisa dikatakan menjadi borok HAM yang perlu untuk dilepaskan.
Tanpa adanya tindakan nyata, banyak kasus-kasus Akseyna baru yang nantinya dianggap "wajar" untuk "tidak diselesaikan". Selain itu, dalam hal ini Pancasila sebagai cerminan dari pelaksanaan peraturan dinyatakan tidak terwujud.
Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat realisasi penegakan dan penjamin agar pendidikan yang disalurkan mampu menumbuhkan rasa hormat dan tanggung jawab pada kelangsungan hidup demi terwujudnya keamanan dan kedamaian. Malah belum sepenuhnya mampu menjadi promotor akan hal itu.
ADVERTISEMENT
Hubungan rumit antara institusi pendidikan, negara, dan unsur-unsur poltik, sosial, hingga ekonomi menjadi wujud nyata bahwa penegakan HAM universal masih terkendala banyak sekali masalah.
Komitmen negara dalam menjamin HAM mulai dari ratifikasi perjanjian internasional hingga perwujudan melalui berbagai konteks rujukan hukum nyatanya juga tidak menjadikan HAM sebagai sesuatu yang sama bagi semua orang dengan tidak peduli terhadap status sosial dan latar belakang yang dimilikinya.
HAM masih menjadi barang mewah dalam wadah "cacat" yang masih perlu mendapatkan banyak sekali polesan. Maka dari itu, keterlibatan antara negara, institusi pendidikan hingga individu memiliki ritme permainan yang sangat penting dalam mewujudnyatakan penegakan HAM universal.
Manusia sudah seharusnya memiliki hak melekat tentang itu sedari lahir yang tidak dapat dibagi dan dikurangi oleh siapapun. Ketika negara dan institusi pendidikan sebagai fondasi manusia mengenal HAM secara awal mampu untuk menciptakan pengarusutamaan ide dan kesadaran HAM.
ADVERTISEMENT
Maka dapat dikatakan bahwa institusi pendidikan dan negara telah secara aktif menjadi pelopor yang bertanggung jawab untuk memudarkan rumitnya hubungan antara faktor sosial, politik, dan ekonomi yang menjadikan HAM tidak lagi universal.
Negara sebagai pembentuk peraturan berkewajiban pula untuk melaksanakan keadilan bagi seluruh warganya. Tidak hanya membentuk peraturan, namun dari negara harus bisa menjamin bahwa setiap pelanggar peraturan juga harus mendapat hukuman yang pantas.
Hal ini diwujudkan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang berbicara mengenai penegakkan pengadilan bagi para pelaku yang ada.