Konten dari Pengguna

Buruh Bersuara, Negara Harus Dengar: Antara Keringat dan Ketidakadilan

Mely Evelyn Siahaan
Mahasiswi Jurusan Teknik Informatika, Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
9 Mei 2025 18:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Evelyn Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
“Kami bukan mesin, kami manusia. Dengarkan suara buruh, tegakkan keadilan!”.source: ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
“Kami bukan mesin, kami manusia. Dengarkan suara buruh, tegakkan keadilan!”.source: ChatGPT
ADVERTISEMENT
Di balik setiap gedung megah, jalan beraspal, dan produk yang kita konsumsi, ada keringat buruh yang tak pernah berhenti mengalir. Tapi sayangnya, pengakuan dan perlindungan terhadap buruh di Indonesia masih jauh dari kata layak. Mereka yang menjadi tulang punggung ekonomi justru sering diperlakukan sebagai beban—bukan mitra pembangunan.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa, saya melihat ada ketimpangan besar antara kontribusi buruh dan perhatian negara. Buruh dipaksa produktif, tapi tak pernah cukup dihargai. Upah yang minim, jam kerja panjang, kondisi kerja yang buruk, belum lagi ancaman PHK dan sistem kontrak yang tak berpihak. Pemerintah memang sering membanggakan UMR dan jaminan sosial, tapi realitas di lapangan jauh dari narasi itu.
Ironisnya, ketika buruh bersuara—melalui aksi, mogok, atau protes—mereka sering dicap sebagai pengganggu stabilitas. Padahal, yang mereka perjuangkan bukan kemewahan, tapi sekadar hidup yang manusiawi. Apakah menuntut upah layak, cuti yang adil, dan jaminan kerja adalah bentuk ancaman? Atau justru bentuk keberanian untuk mempertahankan hak?
Negara seharusnya menjadi penengah, bukan berpihak pada modal. Tapi kebijakan seperti UU Cipta Kerja justru menunjukkan arah sebaliknya. Kepentingan investor lebih dilindungi ketimbang kesejahteraan pekerja. Buruh seolah hanya angka statistik, bukan manusia yang punya keluarga, harapan, dan mimpi.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa, saya percaya perjuangan buruh bukan perjuangan segelintir orang. Ini adalah pertarungan melawan sistem yang terlalu lama diam atas ketimpangan. Dan jika kita, yang hari ini duduk di bangku kuliah, tak ikut bersuara, maka jangan kaget jika suatu saat kita pun akan menjadi korban dari sistem yang sama.
Mely Evelyn Siahaan Mahasiswi Jurusan Teknik Informatika, Universitas Katolik Santo Thomas Medan.