Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Konsumsi, Penjualan, dan Peringkat Musik 2019: Dominasi Layanan Streaming
18 Februari 2020 8:25 WIB
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Evolusi mesin untuk mendengarkan musik
ADVERTISEMENT
Sejak maraknya penggunaan internet, setidaknya dua dekade terakhir, banyak hal dan cara yang telah berubah untuk menikmati sesuatu. Sebagai contoh (dan ini menjadi contoh yang paling klise) adalah cara kita mengirim pesan dan berkomunikasi dengan orang lain yang berkilo-kilo jauhnya terpisah. Dulu sebelum internet dan gawai pintar ramai digunakan, seseorang menulis surat untuk dapat bertukar kabar dengan sanak saudara yang terpisah. Bandingkan dengan sekarang. Informasi sudah tidak bisa dibendung dan setiap hari, sekurang-kurangnya, selalu ada notifikasi di aplikasi pesan instan seperti WhatsApp yang muncul.
Tidak terbatas pada online messaging yang mengubah cara kita berkomunikasi, cara kita mendengarkan musik pun sedikit banyak telah berubah. Bagaimana tidak? Sekali lagi, jauh satu abad sebelum gawai pintar dan internet merajalela seperti sekarang, orang-orang mendengarkan musik menggunakan alat yang disebut phonograph (fonograf) – alat untuk merekam dan memainkan musik. Thomas Edison, seorang jenius dari Amerika, disebut sebagai orang pertama yang menemukan phonograph pada 1877. Namun begitu, kualitas suara yang dihasilkan dari alat tersebut tidak dapat dikatakan bagus.
ADVERTISEMENT
Pada sekitar tahun 1880an di Laboratorium Volta Georgetown, Washington, Alexander Graham Bell membuat pengembangan dari phonograph dan memperkenalkan graphophone . Istilah terakhir merujuk pada sebuah alat atau mesin untuk mereproduksi suara dan musik yang direkam pada piringan hitam.
Lalu setelahnya vinyl, atau yang di Indonesia disebut piringan hitam, mulai marak digunakan. Sekarang piringan hitam sudah menjadi barang langka namun, pada beberapa tahun terakhir, minat untuk mendengarkan piringan hitam pada kalangan muda atau milenial mulai tumbuh kembali (akan dibahas di bawah).
Pada 1963 Phillips di Hasselt, Belgia memperkenalkan Compact Cassette atau secara sederhana disebut sebagai kaset, dan mulai digunakan untuk merekam dan mendengarkan musik. Kaset memainkan musik dari kiri ke kanan dan ketika satu sisi sudah habis maka harus dibalik untuk mendengarkan musik atau rekaman yang ada di sisi lain. Biasanya, sisi pertama pada kaset disebut side A, dan sisi kedua disebut side B. Lagu dari band legendaris Rolling Stones “(I Can’t Get No ) Satisfaction” dan “Nevermind” dari Nirvana mungkin tidak akan terdengar jika tak “ditolong” oleh teknologi kaset ini.
ADVERTISEMENT
Umumnya kaset diputar menggunakan walkman atau radio yang memiliki fitur khusus untuk memainkan kaset tape. Walkman sendiri dikembangkan dan dirilis oleh Sony sekitar tahun 1979. Walkman memungkinkan seseorang membawa musik mereka kemanapun mereka pergi, asal juga membawa kasetnya.
Berkembang lagi, CD (Compact Disk) diperkenalkan pada tahun 1982. Prototipe dari CD dikembangkan oleh Phillps dan Sony pada akhir tahun 1970an. CD selanjutnya mengalahkan kaset tape karena popularitasnya dan kemudahannya untuk melewati beberapa lagu dan secara langsung menuju ke lagu yang ingin pemirsa dengar.
Orang mendengarkan musik menggunakan CD atau kaset terbatas hanya dapat diputar di rumah saja – terkecuali walkman, yang hanya dapat memutar beberapa lagu tanpa skip. Namun kekurangan dari dua media itu adalah syarat penggunaan kaset yang hanya memungkinkan kita mendengarkan beberapa musik dari, bisa jadi, dari satu grup band saja.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, karena perkembangan teknologi yang masif, muncul MP3 Player. Media ini memungkinkan kita mendengarkan lagu apapun dan dapat menampung banyak lagu (tergantung dari kapasitas memorinya) berbentuk digital dari komputer. MP3 diperkenalkan sebagai audio coding standard pada 1994 dan pada 1997 MP3 Player pertama di dunia, MPMan F10, dikembangkan oleh perusahaan Korea Selatan, SaeHan Information Systems.
Datangnya iPod pada 2001 di pasar merupakan sebuah penanda berubahnya masyarakat menikmati dan mendengarkan musik. iPod, tanpa perlu dijelaskan lebih detail, adalah sebuah produk Apple Inc yang termasuk dalam kategori “digital hub” Apple. iPod pertama dirilis lebih tepatnya pada 23 Oktober 2001, delapan setengah bulan setelah iTunes untuk Macintosh dirilis.
iPod touch dirilis pada 2007 dan merupakan perangkat musik pertama yang dapat terkoneksi dengan Wi-Fi sehingga penggunanya dapat terhubung dengan iTunes Store dan mengunduh lagu lalu mendengarkannya secara langsung. Mesin inilah yang akhirnya memprakarsarai aplikasi streaming musik mulai berkembang.
ADVERTISEMENT
Para teknisi di berbagai perusahaan gawai seperti Nokia dan Sony Ericson pada masanya juga turut menyempurnakan dan melengkapi produk gawai mereka dengan fitur pemutar musik. Kelebihannya, memutar musik pun menjadi lebih praktis dalam satu genggaman. Namun begitu, masalahnya adalah gudang penyimpanan yang terbatas. Kita tak bisa menampung semua lagu pada satu gawai. Hanya musik yang kita unduh saja, dan selama ruang penyimpanan masih ada, yang dapat kita dengarkan.
Mungkin masalah ruang penyimpanan yang terbatas itulah yang akhirnya dilirik oleh banyak pengembang layanan musik streaming. Spotify, sebuah layanan untuk streaming musik, sebagai contoh, telah dikembangkan hampir bersamaan dengan iPod yaitu pada tahun 2006 di Stockholm, Swedia.
Aplikasi Spotify sendiri, diluncurkan pada 7 Oktober 2008. Menurut pendiri dan CEO-nya Daniel Ek, nama Spotify diambil dari gabungan kata “Spot” dan “Identify”. Ia mengaku bahwa pada awalnya, ketika memikirkan nama untuk perusahaan, Daniel Ek salah mendengarkan sebuah nama yang disebut oleh Martin Lorentzon, sebagai Spotify. Daniel lalu mencari kata “Spotify” dan menemukan hasil nihil dari nama tersebut. Ia pun akhirnya menggunakan nama Spotify.
ADVERTISEMENT
Dari mesin besar yang tak dapat dibawa kemanapun hingga aplikasi ringan yang dapat menyimpan jutaan lagu, cara kita mendengarkan musik sungguh telah berubah sepenuhnya.
Sekarang, semua orang dapat menikmati lagu yang mereka ingin dengarkan hanya dengan menggunakan kolom pencarian di Spotify atau YouTube dan klik tombol mainkan. Musik jenis apapun, di manapun, dan kapanpun selama kita memiliki jaringan internet dan terdaftar sebagai pelanggan, kita tak perlu repot membawa banyak alat atau mesin selain gawai pintar kita.
Evolusi perangkat untuk menikmati musik ini meneguhkan sebuah metafora kuno “Nanos gigantum humeris insidentes” yang berarti berdiri di atas pundak raksasa.
Dengan bergesernya cara masyarakat mendengarkan musik dan maraknya layanan streaming, bagaimana konsumsi publik akan musik di era digital? Bagaimana gambaran pendengar musik di era sekarang? Musik apa yang paling sering didengarkan? Beberapa pertanyaan tersebut akan sedikit kita ulas dengan data (karena semua orang hari ini membicarakan data).
Gambaran demografi penikmat musik streaming
ADVERTISEMENT
Berakhirnya 2019 menandai suatu permulaan baru bagi siapapun tak terkecuali dunia hiburan, khususnya musik. Dan sekali lagi, dengan cara mendengarkan musik yang telah berubah, pecinta musik kian dimanjakan untuk memilih musik apa yang ingin mereka dengar.
ADVERTISEMENT
Hasil lain dari survei IFPI menunjukkan bahwa pada tahun 2018, waktu yang digunakan untuk mendengarkan musik secara rata-rata adalah 17.8 jam. Sedangkan rerata waktu yang dihabiskan untuk mendengarkan musik perhari adalah 2.6 jam yang hal sama dengan mendengarkan 52 lagu berdurasi 3 menit.
IFPI juga menemukan rata-rata waktu yang dihabiskan untuk mendengarkan musik menggunakan layanan audio streaming setiap minggunya adalah 4 jam (4 jam/minggu). Sedangkan, durasi yang dihabiskan untuk mendengarkan musik melalui layanan video streaming sebanyak 3.5 jam setiap minggunya. Sebanyak 77 persen dari responden menggunakan YouTube sebagai layanan streaming video musik.
Ada tiga alasan utama yang diutarakan oleh para responden tentang mengapa mereka menikmati mendengarkan musik secara streaming. Alasan pertama, sebanyak 62 persen responden mengaku bahwa mereka menikmati musik streaming karena kemudahan akses instan pada jutaan lagu. 61 persen responden mengaku bahwa alasan mereka menikmati streaming musik karena mereka bisa mendengarkan apapun (musik) yang mereka mau, kapanpun mereka mau. Sedangkan sebanyak 47 persen mengaku bahwa layanan streaming merupakan cara ternyaman untuk mendengarkan musik.
ADVERTISEMENT
Perilaku penikmat atau “fanatik” musik pun turut disurvei oleh IFPI. Mereka menemukan bahwa responden survei berusia 16-24 tahun merupakan pecinta musik terbanyak dengan jumlah 63 persen. Sedangkan, lebih dari setengah responden survei (54 persen) mengaku sebagai fanatik terhadap musik. Hanya sebanyak 2.5 persen dari mereka yang mengaku bahwa musik tidak “penting” untuk mereka.
Dengan demikian, penelitian tersebut menunjukkan bahwa cara kita mendengarkan musik telah benar-benar berubah. Mayoritas (setidaknya responden dalam survei ini) telah mendengarkan musik melalui layanan on-demand streaming. Selain itu dapat juga disimpulkan bahwa kemudahan dalam hal akses musik merupakan alasan bagi mayoritas menyukai layanan on-demand streaming. Usia remaja merupakan usia dimana musik merupakan bagian dari hidup. Terbukti dengan banyaknya remaja (usia 16-24 tahun) yang merupakan pecinta musik terbanyak dan usia dewasa awal (25-35 tahun) mengaku bahwa mereka memiliki fanatisme terhadap musik.
Artikel ini sedikit panjang, Bisakah kita istirahat sebentar?
ADVERTISEMENT
Sure. Satu lagu dulu untuk Anda.
Mari kita lanjutkan.
Bagaimana Musik Dikonsumsi?
Bagian ini akan mengulas tentang bagaimana musik dikonsumsi oleh masyarakat. Pembahasan akan difokuskan dengan melihat jumlah konsumsi album dan lagu dari perkembangan atau penurunanya.
Perhatikan grafik di bawah ini.
Merujuk pada hasil survei IFPI yang menunjukkan ragam kebiasaan (cara) responden dalam pembelian musik, dari grafik di atas menunjukkan bahwa usia 25-34 tahun merupakan terbanyak dalam melakukan pembayaran untuk dapat mengunduh musik. Di lain sisi, usia 55-64 merupakan kategori usia yang paling sedikit membayar untuk mendapatkan musik.
Untuk urusan membeli CD/DVD, kategori usia 45-54 tahun menunjukkan hasil yang lebih dominan dari kategori usia lain. Rentang usia 55-64 merupakan kelompok yang termasuk dalam kategori rendah untuk urusan membeli CD/DVD musik disusul kelompok usia 16-24 tahun.
ADVERTISEMENT
Terakhir, selain dominasi mereka dalam urusan membayar untuk mengunduh musik, kelompok usia 25-34 menunjukkan kecenderungan membeli vinyl untuk mendengarkan musik.
Data lain dari Buzz Angle Music menunjukkan kecenderungan serupa. Dalam kategori penjualan album fisik, penjualan vinyl pada 2019 menunjukkan peningkatan sebesar 10.5% dengan angka 10.676.788 dibandingkan tahun 2018. Di lain sisi, penjualan kategori album fisik lainnya seperti CD dan kaset menunjukkan penurunan 26.0% dan 11.5% secara berturut-turut. Secara keseluruhan penjualan album fisik menurun pada 2019 sebesar 20.9%. Penjualan album digital juga menunjukkan penurunan yang cukup besar yaitu 26.6 persen. Secara garis besar, penjualan album pada 2019 menurun 23.2% yaitu pada angka 93 juta setelah sebelumnya pada 2018 juga mengalami penurunan 18% (perhatikan tabel di bawah/infografis).
ADVERTISEMENT
Selain penjualan album yang cenderung menurun, total penjualan lagu juga mengalami penurunan pada tahun 2019 sebesar 26.3% dibandingkan 2018. Kenaikan terlihat dari jumlah on-demand streams sebesar 24.8%. Lebih rinci, on-demand audio streams atau mendengarkan musik streaming dengan format audio mendapatkan kenaikan 32.0% pada 2019 dibandingkan tahun 2018. Sedangkan, on-demand video streaming mencatat kenaikan 10.6%. 47% transaksi penjualan album fisik dilakukan secara daring menggunakan layanan e-commerce.
Walaupun penjualan album menurun, namun hasil lain dari survei Buzz Angle Music menunjukkan konsumsi album pada 2019 mengalami kenaikan sebesar 13.5 % dari tahun sebelumnya dengan angka 795.9 juta konsumsi album. Hasil tersebut didapatkan dari perhitungan menggunakan rumus penjualan album + penualan lagu/10 + on-demand streaming/1500.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jumlah konsumsi lagu pun mengalami kenaikan yang lebih tinggi dibandingkan konsumsi album. Pada tahun 2019 jumlah konsumsi lagu bertambah 21% dari tahun 2018 dengan angka 7 miliar konsumsi lagu. Hasil tersebut dihitung menggunakan rumus penjualan lagu + on-deman streaming/1500.
Data di atas menunjukkan bahwa tren konsumsi musik, baik album atau lagu, yang cenderung naik, diiringi dengan penjualan album dan lagu yang menurun. Jumlah on-demand streams baik audio atau video yang cenderung bertambah juga dibarengi dengan penurunan pada penjualan lagu secara keseluruhan. Tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi musisi atau para pelaku di industri hiburan ini. Karena tentu saja musik selain mengandung unsur seni, juga tak boleh melupakan unsur bisnis yang terikat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Terlalu banyak angka? Tenang. Ada infografis yang kami harap memudahkan Anda membandingkan dan memahami bagian ini.
Tangga Lagu 2019 dan Dekade Ini
Setelah mengetahui angka-angka dari jumlah penikmat layanan on-demand streaming, berikutnya kita akan membahas tentang musik itu sendiri. Pada 2019 dan satu dekade ini, lagu apa yang paling banyak didengarkan, siapa artis terpopuler, lagu dan album terpopuler, hingga beberapa data tentang penjualan lagu atau album.
Pada bagian ini, sebagai sebuah pertimbangan, akan difokuskan dan dipersingkat mengulas terbatas hanya 5 posisi teratas dari sekitar 25 daftar pada setiap album dan lagu yang didapatkan dari hasil survei.
Survei Buzz Angle Music 2019 menemukan bahwa album “Hollywood’s Bleeding” dari Post Malone menempati peringkat pertama yang paling banyak dikonsumsi (didengarkan). Selanjutnya ada “WHEN WE ALL FALL ASLEEP, WHERE DO WE GO?” Billie Eilish di posisi kedua, “Lover” Taylor Swift di urutan ketiga, “thank u, next” milik Ariana Grande di urutan ke empat, dan “Free Spirit” milik Khalid pada urutan kelima. Peringkat konsumsi tersebut didapatkan dari perhitungan penjualan album + (penjualan lagu/10) + (on-demand streaming/1500)
ADVERTISEMENT
Dari jumlah penjualan album, “Lover” milik Taylor Swift menempati urutan pertama sebagai album paling laku. Posisi itu disusul “WHEN WE ALL FALL ASLEEP, WHERE DO WE GO?” milik Billie Eilish, “Happiness Begins” Jonas Brother, “Fine Line” Harry Styles, “A Star Is Born: Original Motion Picture Soundtrack 2018” dari Lady Gaga dan Bradley Cooper, menempati urutan kedua, tiga, empat, dan lima secara berturut-turut.
Setelah album, mari kita bahas lagu. Ditinjau dari total konsumsi, lagu “Old Town Road” dari Lil Nas X menempati urutan pertama disusul lagu “Sunflower” dari Post Malone & Swan Lee, lalu “Wow.” yang juga merupakan lagu Post Malone, “7 Rings” dari Ariana Grande, dan “bad guy” milik Billie Eilish. Hasil pemeringkatan tersebut didapatkan dari hitungan penjualan lagi + (on-demand streams/1500).
ADVERTISEMENT
Dari segi penjualan tidak banyak yang berubah dari urutan di atas. Lagu “Old Town Road” milik Lil Nas X tetap menempati urutan pertama. Di posisi kedua ada “Shallow” milik Lady Gaga dan Bradley Cooper dilanjutkan dengan “Truth Hurts” dari Lizzo, “Sunflower” dari Post Malone & Swae Lee, dan “bad guy” dari Billie Eilish.
Untuk masalah lagu terbanyak didengar secara streaming pada 2019, Spotify menempatkan lagu “Senorita” dari Camila Cabello dan Shawn Mendes di posisi pertama. Di bawahnya terdapat lagu “bad guy” dari Billie Eilish dan dilanjutkan “Sunflower” dari Post Malone dan Swae Lee, “7 Rings” dari Ariana Grande, dan “Old Town Road – Remix” Lil Nas X, dan Billy ray Cycrus menempati urutan kelima.
ADVERTISEMENT
Sedangkan laporan Buzz Angle Music menempatkan lagu “Old Rown Road” pada urutan pertama dari lagu yang paling banyak mendapatkan streams. Di posisi kedua ada “Sunflower” dari Post Malone dan Swae Lee, dilanjutkan “7 Rings” dari Ariana Grande, “Wow.” Dari Post Malone, dan “bad guy” dari Billie Eilish. Kita dapat melihat bahwa komposisi 5 teratas lagu yang paling banyak didengarkan streaming baik dari Spotify atau Buzz Angle Music tidak banyak berubah.
Baik Spotify maupun Buzz Angle Music juga merilis laporan musik dan musisi teratas selama satu dekade terakhir. Laporan dari Spotify merupakan data yang didapatkan dari layanan streaming tersebut dari tahun 2010 hingga 2019 sedangkan laporan dari Buzz Angle Music dari tahun 2014 hingga 2019.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini kita akan membandingkan data dari Spotify dan Buzz Angle Music untuk mengetahui perbedaan urutan artis secara global (Spotify) dan di Amerika (Buzz Angle Music) dari tahun yang berbeda. Spotify menempatkan Drake sebagai musisi atau artis yang paling banyak mendapatkan stream dekade ini secara global. Posisi Drake tersbut diamini oleh Buzz Music Angle yang juga menempatkannya di urutan pertama. Posisi setelah Drake pada daftar Spotify ditempati oleh Ed Sheeran, Post Malone, Ariana Grande, dan Eminem yang berturut-turut menduduki posisi kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Sedangkan sedikit berbeda dari Spotify, dafta Buzz Angle Music menempatkan Post Malone di posisi kedua disusul oleh Eminem, Future, dan The Weekend yang berturut-turut menempati posisi ketiga, keempat dan kelima.
ADVERTISEMENT
Setidaknya dari tahun 2014 sampai 2019, walaupun namanya tidak menempati daftar artis yang paling banyak mendapatkan streams, Adele menempati urutan pertama daftar top artis dari segi penjualan album. Dengan angka 7.555.334 penjualan album, Adele layak mendapatkan predikat tersebut. Pada posisi kedua ada Taylor Swift yang mencatatkan angka 5 juta penjualan album dilanjutkan oleh Ed Sheeran (2.180.896), Metallica (2.067.484), dan Chris Stapleton (1.939.216).
Album Adele “25” menjadi album dengan total penjualan terbanyak dengan jumlah penjualan 6,812,250. Album “1989” dan “reputation” dari Taylor Swift menempati urutan kedua (1.722.702) dan ketiga (1.684.088). Pada posisi keempat, ada Chris Stapleton dengan albumnya Traveller yang terjual sebanyak 1.371.482, dan di posisi kelima ada Beyonce dengan “Lemonade” yang meraih angka penjualan sebanyak 1.213.719.
ADVERTISEMENT
Lalu, dari pembahasan sebelumnya kita juga telah mengetahui bahwa terdapat peningkatan penjualan vinyl pada 2019.
Ternyata, sebesar 49% penjualan vinyl tersebut didominasi oleh genre musik Rock. Pada tahun 2018 penjualan vinyl album yang terjual adalah dari genre Rock sebanyak 42% turun dari 2017 yang memperoleh prosentase 54%.
Lagi-lagi, kita mendapati nama Billie Eilish sebagai top artis dengan penjualan album vinyl teratas bersama “WHEN WE ALL GO ASLEEP, WHERE DO WE GO?”-nya. Posisi kedua ditempati oleh band legendaris The Beatles dengan album “Abbey Road” disusul Queen dengan “Bohemian Rhapsody”, lalu dari soundtrack film Marvel “Guardian of the Galaxy,: Awesome Mix Vol.1”, dan “Lover” dari Taylor Swift. Setidaknya hal itu menunjukkan dominasi musik genre Rock dalam hal penjualan vinyl.
ADVERTISEMENT
Dengan data dan peringkat di atas, kita seharusnya tak perlu terlalu terkejut jika Billie Eilish mendapatkan banyak penghargaan di Grammy tahun ini. Tak tanggung-tanggung, Billie mendapatkan penghargaan Record of the Year untuk lagu “bad guy”, Album of the Year untuk “WHEN WE ALL FALL ASLEEP, WHERE DO WE GO?”, Song of the Year untuk “bad guy”, Best New Artist “Billie Eilish”, Best Pop Vocal Album untuk “WHEN WE ALL FALL ASLEEP, WHERE DO WE GO?”.
Baru-baru ini bahkan Billie Eilish telah mengeluarkan satu lagu yang akan menjadi soundtrack film mata-mata top Britania, agen 007, James Bond. Berjudul "No Time To Die" yang sama seperti judul filmnya, sampai artikel ini tayang, telah mendapatkan 25 juta view di YouTube. Akankah lagu ini juga yang akan mengantarkan Eilish meraih Grammy tahun depan? Mengingat rekam jejak penghargaan yang sangat baik untuk lagu-lagu tema James Bond dalam dekade terakhir, kemungkinannya menguntungkan bagi Eilish. Tapi, mari kita buktikan tahun depan.
ADVERTISEMENT