Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mencoba memahami bagaimana prediksi-prediksi COVID-19 dibuat
1 Mei 2020 8:53 WIB
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan besar dalam menghadapi COVID-19 adalah pembuat kebijakan harus mengambil keputusan dari berbagai macam informasi yang masih belum sempurna. Masih banyak sekali hal yang belum dipahami jelas oleh para ilmuan yang melakukan penelitian atau para petugas medis yang berjuang di garis depan terkait bagaimana “monster” ini menular. Covid-19 masih menyimpan banyak sekali misteri yang harus dijawab.
ADVERTISEMENT
Namun tentu saja ilmuan terus membuat kemajuan demi kemajuan dengan barbagai cara untuk lebih lanjut memahami virus corona baru ini. Selain dengan uji dan penelitian lab, salah satu cara yang digunakan para ilmuan adalah dengan memanfaatkan model simulasi matematis untuk membuat gambaran “pergerakan” virus.
Pernah membaca judul berita yang berbunyi, “Para ahli menyatakan bahwa COVID-19 di Indonesia akan berakhir pada akhir Juni? ” Ya, kawan. Tajuk berita seperti itu diambil dari pendapat ahli yang telah melakukan perhitungan matematika untuk meramalkan masa depan yang disebut pemodelan. Apa itu? Sebelum Anda memutuskan untuk lanjut membaca, pastikan Anda sedang tidak melakukan aktivitas yang menjengkelkan. Karena artikel ini selain menjengkelkan, juga sangat membingungkan. Nyalakan dulu playlist terbaik Anda untuk menemani membaca.
ADVERTISEMENT
Pemodelan matematika penyakit menular – Mathematical modelling of infectious disease
Istilah model matematis dari penyakit menular atau mathematical modelling of infectious disease merujuk pada model simulasi berbasis data dan rumus matematika yang mencoba untuk membuat prediksi atau ramalan tentang kemungkinan apa yang dapat terjadi di masa depan terkait sebuah penyakit menular.
Agar lebih mudah memahami apa itu model matematis tentang penyakit menular, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang model matematis ini dapat lakukan dan kenapa kita membutuhkannya.
Sebuah model matematis dari penyakit menular berfungsi untuk membuat proyeksi, ramalan, atau prediksi tentang bagaimana pergerakan virus atau penyakit menular di masa depan – seberapa banyak orang yang kemungkinan terdampak, berapa banyak orang yang diprediksi meninggal, dan skenario intervensi apa yang paling pas untuk diterapkan. Selain itu, membuat sebuah pemodelan dari penyakit menular juga dapat digunakan untuk menyusun dan memberikan rekomendasi intervensi yang tepat.
ADVERTISEMENT
Kita membutuhkan model matematis untuk memahami seberapa menularnya sebuah penyakit, bagaimana gambaran penyakit ini di masa depan, dan faktor apa saja yang berpotensi meningkatkan resiko naiknya kasus positif. Perumus kebijakan membutuhkan model matematis penyakit menular ini untuk merumuskan kebijakan intervensi ekonomi, sosial, pendidikan, dan berbagai sektor lain selama masa pandemi seperti ini. Dengan kata yang lebih ringkas, kita semua membutuhkan model matematis ini untuk memahami bagaimana sebuah penyakit menular berkembang di masa depan.
Namun demikian, kita tidak sepenuhnya membutuhkan model matematis penyakit menular ini untuk mengetahui seberapa berbahayanya virus yang sedang kita hadapi hari ini. Hanya dengan melihat data dari grafik yang banyak disajikan, kita dapat mengetahui bahwa COVID-19 ini adalah monster dalam mimpi buruk yang muncul ke dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Banyak ilmuan yang berfokus dalam bidang epidemiologi dan matematika membuat pemodelan COVID-19. Di Indonesia sendiri, beberapa ahli pun turut memodelkan virus ini. Sebagai contoh, pemodelan dari ITB yang dilakukan oleh Dr. Nuning Nuraini dengan tim SimcovID, menunjukkan bahwa karantina wilayah dalam waktu dekat disertai dengan rapid-test merupakan intervensi yang lebih baik dibandingkan hanya menerapkan pembatasan sosial.
Lebih jelasnya, pemodelan tersebut menyebutkan bahwa jika pemerintah hanya menerapan pembatasan sosial (social distancing), maka diprediksi puncak pertumbuhan kasus COVID-19 akan terjadi pada akhir bulan Agustus dengan jumlah kasus yang terlapor akan menyentuh angka 872.346 kasus. Sebanyak 504.752 pasien diprediksi meninggal (57%) dan 330.589 pasien diprediksi akan sembuh.
Prediksi itu dapat terjadi dengan beberapa syarat meliputi: penerapan pembatasan sosial dimulai pada 7 April, penegetatann pembatasan sosial di angka 30%, dan dilaporkan dalam jangka 14 hari. Jika penerapan pembatasan sosial ini terlambat satu bulan atau baru diterapkan 7 Mei 2020, jumlah kasus terkonfirmasi diprediksi akan menyentuh 914.983 kasus dengan 544.504 diprediksi meninggal, dan 356620 pasien diprediksi sembuh. Lebih lambat intervensi, lebih meningkat lagi jumlah kasus dan kematiannya.
ADVERTISEMENT
Sebagai perbandingan, jika pemerintah menerapkan karantina wilayah (lockdown) sebagai intervensi pada 7 April dan dilaporkan dengan masa 14 hari, maka kemungkinan puncak kasus terjadi pada akhir Juni dengan prediksi kasus terkonfirmasi sebanyak 46.425 di mana 25.297 pasien diprediksi meninggal dan 16.568 diprediksi sembuh. Ramalan tersebut mungkin terjadi dengan penerapan pengetatan karantina wilayah 50%.
Kesimpulannya, pembatasan sosial saja tidak cukup untuk menghasilkan angka R-naught (R0) kurang dari satu. Untuk menghasilkan angka R0 kurang dari satu diperukan upaya lebih, seperti karantina wilayah dibarengi dengan rapid test. Makin lambat penerapan kebijakan (baik pembatasan sosial atau karantina wilayah), akibatnya puncak endemi akan semakin tinggi. Untuk memberikan Anda gambaran seberapa besar perbedaan antara 872.346 dengan 46.425, lihatlah gambar di bawah.
Pemodelan lainnya, yang dilakukan oleh tim ahli dari UGM, Prof. Dedi Rosadi, memprediksi bahwa pandemi COVID-19 akan berakhir pada 29 Mei 2020 dengan minimal total sebanyak 6.174 kasus. Dari model tersebut juga diramalkan bahwa estimasi angka maksimal kasus COVID-19 terjadi pada minggu kedua bulan april 2020. Yaitu antara tanggal 7 hingga 11 April 2020.
ADVERTISEMENT
Beberapa model di atas memang sangat mencerahkan. Dengan perhitungan yang tepat dan teliti, para ahli dapat memprediksi secara spesifik bagaimana COVID-19 akan menyerang Indonesia. Hasilnya, pengambil kebijakan harus benar-benar teliti bagaimana seharusnya menerapkan intervensi pada masyarakat. Walaupun karantina wilayah diprediksi dapat menekan angka kasus, tapi hal tersebut juga masih tergantung oleh beberapa hal lain dan bagaimana resiko penerapan karantina wilayah terhadap banyak hal.
Inilah kesulitan dari membuat pemodelan matematika sebuah penyakit jahat yang menular seperti COVID-19 ini. Kita tidak benar-benar bisa memprediksinya secara tepat karena ada banyak sekali kemungkinan. Sungguh, ada banyak hal yang membuat prediksi ini tidak benar-benar bisa tepat dengan data sebenarnya.
Sebagai contoh, mari kita melihat data terbaru untuk membuat komparasi antara informasi yang sekarang ada dengan prediksi matematis oleh dua ahli di atas. Hingga 28 Maret 2020, terdapat penambahan sebanyak 415 pasien dari hari sebelumnya yang menjadikan total kasus di Indonesia berjumlah 9.511 kasus terkonfirmasi positif. Apa yang bisa kita pelajari dari penambahan ratusan kasus baru yang menjadikan totalnya ribuan ini?
ADVERTISEMENT
Dari penambahan kasus baru di atas setidaknya kita dapat mempelajari beberapa hal. Pertama, data yang terdapat sampai pada tanggal 28 April telah melebihi batas minimum angka prediksi dari Prof. Dedi. Terhitung dari tanggal 5 hingga 9 April saja, telah terdapat penambahan sebanyak empat ribuan kasus. Kedua, penerapan intervensi seperti yang digambarkan Dr. Nuning mungkin sebenarnya adalah langkah yang tepat untuk menekan angka penyebaran virus. Pemerintah mungkin seharusnya mengambil kebijakan untuk karantina wilayah dibandingkan PSBB (Karena kita bermain-main dengan prediksi, maka jangan bosan untuk membaca kata “mungkin”).
Setelah mengenal pemodelan matematika yang menakjubkan (dan merepotkan bagi orang yang tidak mengerti matematika) ini, kita akan membahas mengapa sulit sekali untuk membuat sebuah prediksi yang ”baik”.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, tujuan melakukan simulasi pemodelan matematika dari virus menluar ini bukan sepenuhnya untuk memprediksi masa depan secara tepat atau akurat. Lebih lanjut, tujuan pemodelan ini lebih untuk mempengaruhi masa depan dengan memilih tindakan yang tepat dengan resiko atau prediksi dari bagaimana virus ini akan berkembang. Dengan cara apa mempengaruhi masa depan? Tentu dengan menerapkan atau setidaknya mempertimbangkan intervensi yang ditawarkan oleh peneliti. Dengan menerapkan intervensi yang ditawarkan dari hasil sumulasi, kita mungkin dapat menekan angka kasus. Dengan mengabaikannya, kita bisa berkontribusi meningkatkan jumlah kasus. Begitulah bagaimana model matematis ini mempengaruhi masa depan. Dan begitulah model matematis ini bekerja.
Membuat sebuah pemodelan harus memperhatikan aspek biologi dan perilaku massa secara garis besar
Sebuah pandemi setidaknya merefleksikan tiga hal; perilaku sosial manusia, virologi (cabang biologi yang mempelajari virus), dan sistem kekebalan tubuh. Maka dari itu, ketika membuat sebuah pemodelan, tiga hal tersebut menjadi input penting untuk meramalkan pergerakan wabah. Tiga hal itu juga sebenarnya yang menjadikan pemodelan penyakit menular tidak bisa dikatakan mudah. Belum lagi dengan berbagai metode yang ada dan berbagai macam pendekatan yang digunakan, tidak jarang para ilmuan menemukan hasil pemodelan yang berbeda. Mari kita bahas satu persatu.
ADVERTISEMENT
Hal pertama yang patut kita bahas adalah dari sudut virusnya itu sendiri. Sebuah model penyakit menular tidak akan lengkap jika tidak memasukkan biologi dari virus yang akan dibuat modelnya. Hal itu dapat meliputi bagaimana virus ini muncul, bagaimana atau seberapa cepat virus menyebar, seberapa cepat gejalanya muncul, bagaimana mekanisme penyebaran dari manusia ke manusia. Sampai hari ini, pemodelan juga digunakan untuk menemukan angka R0 yang paling cocok pada sebuah negara. Dr. Nuning dengan pemodelannya sebagai contoh, menemukan bahwa angka R0 di Indonesia berada pada kisaran angka 3.3. Jika pemodelan ini benar, maka SARS-CoV-2 benar-banar menular.
Hal lain setelah virologi adalah sistem kekebalan tubuh manusia atau bagaiamana biologi manusia bekerja. Sebuah model wabah juga harus memperhitungkan bagaimana sistem kekebalan tubuh merespon terhadap virus, berapa orang yang benar-benar kebal terhadap virus ini, dan seberapa lama ia kebal. Jika memang ada manusia yang kebal terhadap sebuah virus, apa yang membuatnya berbeda dengan manusia lain. Selain itu seberapa banyak orang yang terinfeksi menyebarkan virus namun tidak pernah merasakan gejalanya (asymptomatic).
ADVERTISEMENT
Sebuah model juga seharusnya merefleksikan bagaimana masyarakat berfungsi. Hal terkait seperti seberapa banyak kita berinteraksi dengan orang lain setiap harinya, bagaimana interaksi sosial kita normalnya berjalan setiap hari, dan mungkin juga seberapa banyak manusia yang punya kebiasaan mencuci tangan atau mengenakan masker setiap hari. Interaksi dan perilaku manusia ini penting karena untuk mengambil dan menerapkan sebuah kebijakan, pejabat harus mengerti bagaimana masyarakatnya bekerja. Karena sebagaimana virus, perilaku manusia ini sangat sulit untuk diprediksi.
Apakah sebuah model harus mengandung semua itu? Tentu saja. Tapi ada berbagai hal lain yang juga harus diperhatikan sebelum membuat model dan meramalkan kapan kurva eksponensial akan mendekati akhir.
Hal penting lain sebagai tambahan adalah bagaimana keadaan atau kondisi fasilitas kesehatan; seberapa banyak ranjang untuk pasien COVID-19, apakah jumlah ventilator, ranjang, dan alat medis lain mencukupi untuk pasien, berapa banyak petugas kesehatan termasuk dokter dan perawat yang bisa melayani? Hal ini penting karena jika biologi dari virus belum diketahui, tugas manusia yang berada dalam situasi pandemi seperti sekarang ini adalah dengan menurunkan kurva. Mengapa? Karena tentu saja garis fasilitas kesehatan memiliki batas. Kita akan bahas hal ini di artike lain.
ADVERTISEMENT
Untuk merangkum, beberapa hal yang menjadi input model penyakit menular di atas dapat kita singkat menjadi; bagian biologi yang meliputi kekebalan tubuh dan virologi, dan perilaku massa yang meliputi kebiasaan dan interaksi antar individ atau kelompok.
Setelah mengetahui hal apa saja yang harusnya dimasukkan (menjadi input) dalam sebuah model, apakah kita sekarang sudah siap untuk membuat pemodelan sendiri? Belum. Masih banyak yang harus dipahami. Selanjutnya kita akan masuk kepada penjabaran kesulitan (beberapa artikel lebih menyukai kata tantangan dibanding kesulitan) apa yang dihadapi ketika ingin membuat sebuah pemodelan. Tentunya berbasis input di atas.
Tantangan pemodelan penyakit menular
Sudahkah Anda memahami dengan jelas pemodelan dari Dr. Nuning di atas? Seperti itulah pemodelan pada umumnya. Rumit memang bagi sebagian orang. Saya sendiri butuh waktu beberapa hari untuk setidaknya bisa sedikit membaca dan memahami laporan aslinya. Untuk mempermudah kita membahas tentang kesulitan yang dihadapi saat membuat sebuah pemodelan, saya akan meminjam sebuah contoh sederhana dari penjelasan Maggie Koerth, Laura Bronner, dan Jasmine Mithani sebagai pengantar dalam pembahasan ini.
ADVERTISEMENT
Tapi sebelumnya, perhatikan gambar dari twitter ini dan coba temukan alasan kenapa model “makan mie instan selama 41 tahun 7 bulan” ini mungkin memiliki kekurangan. Tidak untuk terlalu serius menanggapi candaan twitter ini, namun twit ini bagus sebagai pengantar.
Sudah Anda temukan? Baik. Mari kita jabarkan.
Dari uang sebanyak 80 juta, selama 41 tahun 7 bulan kita dapat memakan mie instan rendang sehari tiga kali masing-masing satu bungkus. Kekurangannya, model ini tidak menjelaskan bagaimana jika terdapat kenaikan harga Indomie setiap tahunnya. Jika setiap tahun harga Indomie mengalami kenaikan sebanyak 200 rupiah begitu di tahun-tahun selanjutnya hingga 41 tahun, jumlah kardus Indomie yang kita dapat pun tidak akan sama dengan prediksi. Pun kalau kita langsung membeli 1142 kardus Indomie secara langsung untuk menghindari kenaikan harga, kita tetap mendapatkan masalah dari tanggal kedaluarsa. Untuk apa mie instan yang kedaluarsa? Selain itu, faktor lain seperti kesehatan pun turut diperhatikan. Apa jadinya usus kita jika memakan Indomie dengan frekuensi lebih dari separuh usia kita?
ADVERTISEMENT
Setidaknya, hampir seperti itulah rumitnya membuat sebuah prediksi tentang penyakit menular. Karena masa depan penuh dengan berbagai hal dan ketidakpastian, sebuah model, sekali lagi, bukan untuk meramalkan dengan pasti bagaimana sesuatu akan terjadi di masa depan, tapi untuk mempengaruhi masa depan itu sendiri.
Siap untuk masuk ke materi utama?
Bayangkan sebuah model matematika sederhana untuk memprediksi dampak COVID-19. Jumlah orang yang akan meninggal adalah funsgi dari seberapa banyak orang yang terinfeksi, bagaimana virus ini menyebar, dan berapa banyak orang yang dapat meninggal karena virus ini. Dengan kata lain (yang lebih matematis) dapat dituliskan sebagai berikut;
N[kematian] = N[populasi yang rentan] * tingkat infeksi * tingkat kematian.
Gampang bukan? Anda hanya harus memasukkan angka dalam rumus tersebut dan didapatilah jumlah orang yang diprediksi akan meninggal dari virus SARS-CoV-2 ini. Tapi tunggu dulu. Apakah angkanya ada? Apakah datanya ada? Jika ada, apakah datanya valid?
ADVERTISEMENT
Inilah kerumitan (tantangan) yang pertama. Tentang data.
Data yang dikumpulkan oleh berbagai pihak berwenang dan terkait sampai hari ini belum bisa memberikan kepastian (validitas). Hal ini menjadi penting karena untuk membuat sebuah pemodelan yang baik dibutuhkan data dengan kualitas yang baik. Membuat pemodelan dengan data serampangan akan beresiko dalam pengambilan kebijakan jika itu diterapkan. Daniela De Angelis dalam Four Key Challenges in Infectious Disease Modelling Using Data from Multiple Source menjelaskan bahwa kualitas data yang didapatkan juga merupakan hal penting. Kualitas data yang dimaksud sangat berkaitan dengan kesalahan pengukuran dan bias.
Tidak adanya spreadsheet tunggal yang paling andal sebagai “kolam” data ini juga menjadi tantangan lain. Hal itu dikarenakan data yang dikumpulkan bisa jadi berbeda-beda dan tidak sama bagi setiap lembaga. Tidak ada negara yang benar-benar mengetahui jumlah orang yang terinfeksi COVID-19. Kebanyakan data yang ditampilkan dari berbagai negara adalah hasil atau status dari orang yang sudah dites. Hanya orang yang terinfeksi dan dikonfirmasi oleh laboratorium yang dihitung sebagai kasus terkonfirmasi positif.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, COVID-19 ini bukanlah penyakit menular sembarangan. Ia dapat menginfeksi orang tanpa merasakan gejala sama sekali. Padahal pada saat seseorang sudah terinfeksi, ia sangat berpotensi menyebarkan virus ini walaupun termasuk dalam golongan tanpa gejala. Selain orang tanpa gejala (asymptomatic), rentang waktu seseorang terinfeksi dan waktu merasakan gejala (periode inkubasi) yang sangat panjang, menjadikan semua orang terlambat menyadari keberadaan virus ini.
Pengumpulan data dengan kualitas yang baik sangat dibutuhkan. Hal ini akan sangat tergantung pada kesulitan kedua kita; frekuensi tes yang dilakukan.
Untuk mengumpulkan data terkait COVID-19 tentu sangat bergantung pada tes. Tidak ada tes maka tidak ada data. Tes adalah jendela untuk memahami bagaimana pandemi bergerak atau menyebar. Tanpa data tentang siapa saja orang yang terinfeksi virus dari hasil tes, kita tidak mungkin bisa memahami pandemi (ini sepertinya tidak perlu diomongkan, tapi banyak yang tidak mengerti pentingnya bagian ini). Semua hal yang sejauh ini kita pahami seperti R0, periode inkubasi, bahkan mengetahui virusnya sendiri, adalah hasil tes. Benar-benar penting .
ADVERTISEMENT
Beberapa negara memberikan tes kepada siapapun warga negaranya yang ingin dites. Beberapa negara lain, tidak. Beberapa negara ketat dalam urusan tes sedangkan beberapa negara lain masih meremehkan wabah ini. Sedangkan satu-satunya cara untuk mengetahui dengan pasti berapa orang yang mengidap COVID-19 dengan mengetes populasi. Serius. Semua orang harusnya, semestinya, dites untuk mendapatkan data yang ideal. Bagaimana data dikumpulkan dan apakah pengumpulannya dengan metode yang sama juga sangat penting.
Pengumpulan data dari tes ini sangat penting karena akan mempengaruhi variabel dari model sederhana kita di atas; tingkat kematian atau fatality/mortality rate.
Apa itu fatility rate?
Tingkat kasus kematian atau dalam bahasa inggrisnya disebut case fatality rate (CFR) merupakan frekuensi kematian pada populasi selama interval tertentu. CFR ini berguna untuk mengetahui seberapa banyak angka kematian dari jumlah orang yang positif terinfeksi virus. Dengan asumsi tersebut CFR merupakan jumlah orang meninggal dibagi jumlah orang yang positif terinfeksi (CFR = jumlah meninggal : jumlah orang terinfeksi). Sekali lagi, gampang kan? Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mempunyai panduan untuk menghitung frekuensi atau tingkat kasus kematian ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh yang paling mudah, jika dalam sebuah populasi terdapat 789 orang meninggal dari sebanyak 9.454 orang positif, berapa angka CFR-nya? Mari kita hitung. 789 dibagi 9.454 sama dengan 0.8. Jika dikalikan 100 maka akan didapatkan angka CFR = 8%.
Secara global, fatality rate COVID-19 menurut CDC adalah 1-3%. Bandingkan dengan fatality rate flu musim yang berada pada angka yang lebih kecil yaitu, 0.1%. Jika dengan CFR 0.1% flu musim dapat membunuh 60.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat, bayangkan berapa banyak pasien yang kemungkinan akan meninggal karena COVID-19 dengan CFR 1-3% itu.
Selain itu, angka CFR yang sudah didapatkan dari keseluruhan orang yang meninggal kadang juga harus “dibongkar” lagi untuk mendapatkan angka CFR dari subpopulasi. Sebagai contoh, tingkat pasien meninggal yang disebabkan oleh COVID-19 lebih tinggi beberapa persen pada mereka yang berusia tua dibandingkan usia muda. Contoh lainnya, angka fatality rate pada pasien laki-laki dengan COVID-19 lebih tinggi beberapa persen dibandingkan perempuan. Hal ini. Dua hal ini disebut sebagai age-specific mortality rate dan sex-specific mortality rate. CDC juga memiliki rumus penghitungan dari dua hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, karena perhitungan yang berbeda dari setiap data yang didapatkan masing-masing negara, CFR dari setiap negara akan berbeda. Hal itu menjadikan tidak adanya angka CFR tunggal selama perhitungan belum selesai. Hal tersebut bukan berarti melemahkan kegunaan dari CFR.
“Stop. Anda di atas mengatakan bahwa tes akan mempengaruhi CFR. Jelaskan hal itu”.
Baik mari kita masuk ke bagian itu.
Sejauh ini kita mengetahui bahwa data COVID-19 yang dikumpulkan dan dipaparkan adalah hasil dari orang yang dites dan mendapatkan label positif di laboratorium. Melakukan dan mengetahui siapa saja yang terinfeksi COVID-19, baik orang dengan gejala atau orang tanpa gejala (asymptomatic), tentu akan mempengaruhi besaran angka CFR.
Mari masuk ke contoh. Dalam sebuah desa ada 500 orang yang menunjukkan gejala positif COVID-19. Setelah dilakukan perawatan kepada 500 orang, 10 orang meninggal. Dari skenario tersebut, kita dapat menemukan bahwa angka CFR berada pada 2%. Namun, bagaimana jika sebenarnya masih ada 500 orang tanpa gejala lain di desa tersebut yang positif COVID-19? Jika 500 orang tanpa gejala ini kita masukkan dalam perhitungan CFR, maka angka CFR paling tepat dalam kasus ini adalah 1%. Di sinilah pentingnya pengetesan secara menyeluruh pada setiap populasi. Tujuannya, agar setiap orang dapat dipastikan apakah mereka terinfeksi atau tidak (ingat, karena SARS-CoV-2 ini adalah virus baru, maka semua orang beresiko terinfeksi).
ADVERTISEMENT
10/500 x 100 = 2% (CFR tanpa orang asymptomatic)| 10/1000 x 100 = 1% (CFR dengan orang asymptomati)
Salah satu studi kasus yang layak dipelajari jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana CFR dan tes ini sangat penting adalah dari kasus kapal pesiar Diamond Princes. Kapal tersebut setidaknya jadi salah satu “laboratorium hidup” dengan dokumentasi data yang sangat jarang ditemukan di belahan dunia manapun. Hampir semua orang yang ada di kapal tersebut dites (3.063 dari 3.711 orang). Dari pengetesan kapal Diamond Princes, para peneliti tidak hanya mendapatkan gambaran seberapa banyak orang yang positif terinfeksi COVID-19, tapi juga seberapa banyak orang yang terinfeksi tanpa gejala (pada tanggal 20 Februari, setidaknya 18% orang yang terinfeksi di dalam kapal tersebut tidak menunjukkan gejala).
ADVERTISEMENT
Data symptomatic ratio ini – seberapa banyak yang menunjukkan gejala dan seberapa banyak orang terinfeksi tanpa gejala, tentunya membuat perbedaan besar. Ketika hanya menggunakan data penumpang yang didiagnosa dan menunjukkan gejala positif COVID-19, fatality rate pada kasus kapal Diamond Princes berada pada angka 2.3%. Namun, setelah memasukkan data orang yang terinfeksi tapi tidak menunjukkan gejala (asymptomatic), CFR berada pada angka 1.2%.
Hal lain yang mempengaruhi fatality rate adalah kemampuan untuk mencegah kematian seseorang yang terinfeksi tingkat parah. Hal itu merujuk pada kapasitas dari fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh lembaga kesehatan suatu negara tentunya. Bayangkan jika kapasitas dari layanan kesehatan di seluruh dunia ini sangat besar dan dapat menampung berapapun orang yang terinfeksi. Tentu itu akan menjadi faktor untuk memperkecil kemungkinan kematian. Sayangnya, dunia ini tidaklah sempurna. Layanan kesehatan di seluruh dunia masih memiliki banyak kekurangan. Tidak semua rumah sakit mampu menangani kasus COVID-19 atau memiliki fasilitas untuk menampung pasien sakit dengan penyakit apapun. Hal inilah yang menyebabkan kita sekarang berada di rumah untuk karantina mandiri. Kita tidak bisa secara langsung menaikkan garis (increasing the line, atau meningkatkan layanan kesehatan), jadi kita harus menurunkan kurvanya.
ADVERTISEMENT
Setelah memahami fatality rate, variabel selanjutnya adalah infecton rate atau tingkat infeksi dari virus ini.
Semua apa yang telah kita pahami di atas baik itu dari pentingnya tes untuk kualitas data yang baik, tingkat kematian, dan symptomaticity ratio berlaku juga untuk infection rate.
Seperti yang telah kita bahas pada artikel sebelumnya , untuk memahami tingkat infeksi kita harus memahami angka reproduksi dasar atau R0 (dibaca R-naught). Intinya, angka R0 ini adalah untuk menentukan rerata infeksi baru dari orang yang telah terinfeksi sebelumnya. Julien Riou dan Christian L. Althaus dalam artikel penelitiannya yang dimuat dalam jurnal Eurosurveillance menyebutkan bahwa angka R0 dari COVID-19 adalah 2.2. Hal ini berarti secara rata-rata, satu orang yang terinfeksi SARS-CoV-2, dapat menyebarkan pada dua orang lainnya. Penelitian lain bahkan R0 COVID-19 berada pada angka 5.7.
ADVERTISEMENT
Sama seperti fatality rate, angka R0 atau penyebaran virus ini bisa jadi berbeda di setiap negara mungkin karena tergantung bagaimana masyarakat pada sebuah negara berinteraksi, bagaiman perilaku mereka atau kebiasaan sehari-hari, bagaimana kebijakan yang diambil, dan detail lingkungan masyarakat tersebut. Angka reproduksi dasar ini akan berubah tergantung bagaimana masyarakat bekerja untuk memerangi virus ini. Karena hal ini juga para peneliti yang melakukan pemodelan matematika COVID-19 harus mencoba berbagai macam skenario untuk memahami bagaimana virus ini menyebar.
Untuk menenmukan atau mengestimasi angka infection rate atau atau angka R0, kita setidaknya membutuhkan beberapa subvariabel meliputi rate of contact, rate of transmission per contact, symptomaticity ratio, dan juga memahami bagaimana virus itu sendiri bekerja (seberapa lama virus dapat bertahan di permukaan dan seberapa jauh virus ini dapat menyebar melewati udara dari percikan cairan mulut).
ADVERTISEMENT
Pertama rate of contact. Secara sederhana, istilah terakhir merujuk pada seberapa banyak orang yang berinteraksi dengan orang yang terinfeksi dalam periode waktu tertentu. Hal ini tentu berbeda pada masing-masing individu. Orang yang bekerja di bagian penjualan, mungkin akan memiliki rate of contact yang berbeda dengan orang yang terbiasa bekerja di belakang meja. Masalahnya, jika seseorang terinfeksi virus namun tak merasakan gejala, ia mungkin bebas berinteraksi dengan orang lain dan menyebarkan virus.
Lalu selanjutnya rate of transmission per contact. Jika rate of contact hanyalah menentukan seberapa banyak interaksi orang terinfeksi dengan orang lain, rate of transmission per contact merujuk pada seberapa banyak penularan yang disebabkan dari interaksi orang yang terinfeksi. Ingat R0 hanyalah angka rerata, virus tidak selalu menyebar secara teratur dari satu orang ke dua orang lain lalu ke empat orang lain dan seterusnya. Virus bekerja secara tidak teratur, satu orang yang terinfeksi dan datang ke konser musik berpotensi untuk menularkan ke orang yang lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Biologi dari virus ini juga harus dipertimbangkan. Rate of transmission adalah skenario penyebaran virus dari manusia ke manusia lain, tapi apakah benar virus ini hanya menyebar melalui manusia? Bagaimana jika ternyata virus ini juga dapat menyebar dari berbagai permukaan yang terkena cairan mulut orang yang terinfeksi? Inilah yang menjadikan berbagai tenaga kesehatan menyuruh kita untuk mencuci tangan, tidak menyentuh wajah, dan menggunakan masker. Kita belum tahu pasti bagaimana virus ini sebenarnya menyebar.
Subvariabel lainnya adalah durasi penularan atau duration of infectiousness – seberapa lama seseorang dapat menyebarkan virus ke orang lain, dan seberapa lama penyakit itu dapat dirasakan? Hal ini dapat merujuk pada periode inkubasi (masa antara seseorang terkena infeksi hingga seseorang merasakan gejalanya) yang panjang dari COVID-19. Para ahli menemukan bahwa periode inkubasi ini antara 5 sampai 6 hari, bahkan bisa sampai 14 hari.
ADVERTISEMENT
Hal lainnya yang perlu diperhatikan saat membicarakan infection rate adalah infeksi ulang. Istilah tersebut merujuk pada apakah seseorang yang sudah terinfeksi virus dan sembuh dapat terinfeksi ulang di lain hari. Kita belum tahu banyak apakah seseorang yang terinfeksi dan sembuh ini dapat terinfeksi lagi atau tidak.
Sudah siap membuat model Anda sendiri?
Membuat model matematika ibarat memasak rendang untuk raya Id. Kita harus mengerti betul apakah kunyit atau daun kunyit yang membuat rendang lebih nikmat. Selain itu berapa takaran santan, garam, apakah harus menggunakan bumbu lain seperti penyedap, serundeng kelapa, seberapa lama memasaknya, dan apakah lebih nikmat menggunakan santan instan atau santan dari kelapa parut? Semua itu menentukan rasa rendang yang nikmat.
ADVERTISEMENT
Saat membuat rendang, kita dapat memprediksi rasanya dari bumbu-bumbu yang digunakan. Dan ingat, dari mana bumbu itu digunkan akan sangat berpengaruh pada rasa rendang kita nantinya.
Untuk membuat sebuah model yang benar-benar baik, satukan semua hal membingungkan di atas yang meliputi fatality rate dan infection rate dengan berbagai subvariabelnya. Pastikan juga Anda mendapatkan data yang paling komperehensif (yang mana tidak mungkin karena kemampuan dan data tes yang terbatas), lalu hitung bagaimana kemungkinan kesalahan yang nantinya akan terjadi. Setelah mendapatkan semua bahan, masukkan ke dalam panci dan “masak” hingga matang. Yuk masak.