Mencoba memahami mengapa infeksi COVID-19 bergerak secara eksponensial

Mely Santoso
Savvy science reader.
Konten dari Pengguna
7 April 2020 20:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Catatan saya tentang 2019-nCoV
ADVERTISEMENT
Bulan Januari lalu, ketika sebuah media lokal di Malang mengadakan proses rekruitmen jurnalis, saya mengirimkan tulisan tentang virus Corona sebagai persyaratan. Sebenarnya, mereka meminta satu contoh tulisan berita apapun, tanpa spesifik harus membahas virus Corona. Seingat saya, pada bulan itu belum muncul istilah Covid-19, alih-alih virus itu masih disebut 2019-nCov. Artikel itu terpendam, seperti juga kesempatan saya bergabung menjadi jurnalis di media lokal tersebut.
Pada bulan itu juga, saya dan seorang kolega sedang mengerjakan sebuah infografis untuk kompetisi Kementrian Kesehatan yang membahas tentang anemia. Tugas saya mencari datanya, sedang kolega saya mengerjakan infografisnya. Setelah usai membuat infografis tentang anemia, tren musik 2019, dan beberapa artikel lain, kami berdiskusi daring sejenak tentang tema apa yang sepertinya layak untuk diulas dan dikerjakan.
ADVERTISEMENT
Tentu saya mengajukan tema coronavirus untuk dibahas. Namun beda saya, beda teman saya. Saat itu ia mengatakan, “Apa tidak terlambat membahas tema ini?”. Paham saya, karena pada saat itu virus ini belum diberi label pandemi maka, sebentar lagi mungkin akan berakhir dan penyebarannya tidak akan bertambah parah. Mungkin menuliskan tema Corona tidak relevan lagi. Namun setelah dua bulan kemudian, kasus orang yang terdampak virus ini semakin bertambah dan kami (atau saya), gagal memprediksi dan mempelajari ini. Dan setelah dua bulan juga, 2019-nCoV (baik, selanjutnya mari kita sebut Covid-19 alih-alih 2019-nCoV atau virus Corona), seakan menjadi fokus pemberitaan media massa yang paling sering diusung.
Kasus Covid-19 pada Januari awal belum terlihat akan mengalami loncatan secara eksponensial, atau setidaknya saya melihatnya begitu. Pada saat itu, atau sampai 23 Januari, jumlah kasus berada di angka 800an dan jumlah korban meninggal tidak lebih dari 30 orang. Belum ada laporan warga Indonesia yang positif mengidap Covid-19. Seseorang yang datang dari China memang sempat didiagnosa suspect namun segera diisolasi di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso. Saat itu juga banyak kalangan pejabat pemerintah Indonesia yang mengeluarkan pernyataan congkak dengan argumen politisnya. Kini, Indonesia benar-benar menjadi negara dengan kasus yang tidak bisa diremehkan. Benar-benar di luar dugaan.
ADVERTISEMENT
Ketika menuliskan artikel ini, daerah tempat saya karantina diri sekarang sudah diberi label sebagai zona merah. Terakhir, terdapat 13 kasus positif Covid-19, 202 ODP, dan 104 PDP. Dari 13 kasus positif, kecamatan saya menyumbang 1, 11 PDP dan 1 ODP. Benar-benar virus yang tidak teduga-duga datangnya.
Munculnya virus ini ibarat ujian kuliah dadakan tanpa persiapan. Umat manusia dipaksa untuk mempelajari dengan cepat bagaimana virus ini bekerja, pengendalian penyebaran, perawatan orang terdampak, pembatasan sosial dan lain-lain. Namun, seperti kebanyakan ujian tanpa persiapan, kita membencinya karena itu merepotkan.
Sebelum melanjutkan, mari berdoa semoga wabah Covid-19 ini segera berakhir. Semua yang terjangkit bisa kembali pulih. Semua tenaga kesehatan dan siapapun yang berjuang di garis depan diberikan kemudahan, kesehatan, dan kekuatan untuk melaksanakan tugasnya. Dan Semoga kita semua terbebas dari bahaya apapun yang mengancam.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya sampai sekarang pun, saya merasa terlambat untuk menuliskan artikel ini. Namun, daripada tidak sama sekali, saya ingin berbagi apa yang saya pahami sejauh ini tentang Covid-19. Tentu saja, karena tulisan ini terbatas dari apa yang saya pahami, jika Anda menemukan hal yang keliru, bisa dan sangat pantas dibenarkan. Sampaikan perbaikan pada kolom komentar dan mari kita diskusikan. Atau Anda bisa menemui saya di Twitter.
Banyak penelitian yang sedang berlangsung dan mungkin akan menghasilkan temuan yang sangat berbeda dari hasil penelitian yang dikutip dalam artikel ini, maka ingat bahwa artikel ini kapanpun siap diperbaharui sesuai dengan temuan baru. Kita masih harus banyak belajar tentang virus baru ini.
Mari kita mulai.
ADVERTISEMENT
Preambul
Penyakit yang disebabkan oleh virus terus bermunculan dan merupakan masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat. Dua puluh tahun terakhir, telah tercatat beberapa wabah yang disebabkan oleh virus di antaranya SARS-CoV (Severe acute respiratory syndrome coronavirus) pada 2002-2003, H1N1 influenza pada 2009, dan MERS-CoV (Middle East respiratory syndrome coronavirus) pertama teridentifikasi di Arab Saudi pada 2012. Penyakit-virus tersebut menyerang sistem pernapasan manusia.
Pada akhir tahun lalu, sebuah penyakit yang menyerang saluran pernapasan juga -serupa penyakit pneumonia, kembali muncul. Kasus pertama yang diidentifikasi di Wuhan dilaporkan kepada WHO pada 31 Desember 2019. Karena pada saat itu penyakit tersebut belum dapat diidentifikasi asalnya, kasus pertama tersebut diklasifikasikan sebagai “pneumonia dengan etiologi yang tak diketahui”. Setelah dilakukan investigasi yang insentif pada penyakit ini, ditemukan bahwa etiologi dari penyakit ini berasal dari virus baru yang termasuk dalam famili coronavirus (CoV).
ADVERTISEMENT
Pada awalnya virus baru dari famili coronavirus ini disebut sebagai 2019-nCoV. Sebutan itu merujuk pada tahun munculnya virus tersebut yaitu 2019, n = novel (baru) dan CoV merupakan akronim dari coronavirus. ICTV (International Committee on Taxonomy of Virus) menyebut virus yang menyerang sistem pernapasan itu SARS-CoV-2, karena kemiripannya dengan virus yang menyebabkan SARS pada 2002/2003.
Pahami bahawa penyakitnya disebut Covid-19 sedangkan virus yang menyebabkannya disebut SARS-CoV-2.
Wabah sebelumnya, SARS-CoV dan MERS-CoV setidaknya juga telah menelan banyak korban. Tercatat 8.098 kasus SARS-CoV terkonfirmasi, 774 kematian, 26 negara berkasus, dan 9,6% tingkat kematian. Sedangkan, MERS-CoV mencatatkan 2.494 kasus terkonfirmasi, 858 kematian, 27 negara berkasus, dan 34,4% tingkat kematian. Covid-19 sedikit mengejutkan. Data per-6 April 2020 telah mencatatkan 1,289,380 kasus terkonfirmasi, 70,590 kematian, dan hampir semua negara di Bumi mencatatkan kasus. Karena penyebarannya yang sangat cepat, grafik eksponensial banyak digunakan untuk menggambarkan peningkatan jumlah kasus setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Karena tidak bisa di-embeds di laman ini, coba lihat peta dan grafik penyebaran Covid-19 di link ini. Perhatikan dengan saksama baik grafik atau petanya.
Coronavirus telah menjadi penyebab utama dari wabah penyakit pernapasan yang muncul. Virus ini, umumnya ditemukan pada hewan dari semua jenis, bahkan pada beberapa kasus dapat berevolusi ke dalam bentuk yang dapat menginfeksi manusia. Beberapa pemberitaan menyebutkan kasus pertama di Wuhan terjadi ketika virus itu menginfeksi seseorang di pasar makanan laut.
Walaupun coronavirus umum ditemukan pada hewan, sampai sekarang belum jelas hewan apa yang menjadi akar penyebaran virus ini. Ilmuan dan para ahli berspekulasi bahwa coronavirus jenis baru ini kemungkinan berasal dari kelalawar yang berpindah ke inang mamalia lain sebelum akhirnya menjangkiti manusia.
ADVERTISEMENT
Pada 28 Februari 2020, WHO meningkatkan ancaman wabah Covid-19 ke level “sangat tinggi”. Sepuluh hari kemudian, tepatnya pada 11 Maret, WHO mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi. Hal tersebut merupakan respon dari WHO melihat kasus yang telah meningkat 13 kali lipat di luar China yaitu sekitar 118.000 kasus, di 114 negara dan 4.291 jumlah kematian.
Apa yang perlu disoroti?
Satu hal yang kita tahu setelah membaca data dan melihat grafik eksponensial Covid-19 di atas, yang dapat kita simpulkan adalah bahwa virus ini sangat-sangat menular. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, Covid-19 sudah mencatatkan 1 juta total kasus di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, pada 6 April 2020, tercatat 2,491 total kasus dengan 209 total kematian. Sangat, sangat mengerikan.
ADVERTISEMENT
Selain melihat grafik di atas, bagaimana menentukan label “sangat menular” pada Codiv-19? Bagaimana membuktikannya?
Para ilmuan menghitung tingkat penularan sebuah penyakit dengan angka rata-rata yang disebut R0 (diucapkan R-naught, saya akan bergantian menggunakan R0 atau R-naught agar Anda terbiasa). R0 atau the basic reproduction number, merupakan jumlah ekspektasi dari kasus kedua yang dihasilkan dari satu penderita yang mempunyai kemampuan menularkan penyakit, pada saat ia masuk dalam sebuah populasi yang semuanya sehat, selama masa menularnya atau masa infeksi. Demikian definisi ilmiah dari Diekmann dll. (1990).
Baik. Tanpa bermaksud menggurui, saya berasumsi bahwa tidak semua pembaca merupakan tipikal orang yang suka pelajaran matematika (apalagi bertemu rumus yang didefinsikan). Maka dari itu langsung saja masuk ke contoh agar lebih mudah memahami.
ADVERTISEMENT
Campak, merupakan salah satu penyakit yang sangat-sangat menular sepanjang sejarah manusia, atau setidaknya yang tercatat sejauh ini. Satu orang yang terkena campak dapat menularkan 12 hingga 18 orang lain yang sehat selama kurun waktu penyebaran campak. Nah, angka 12-18 dalam waktu penyebaran campak tersebutlah yang disebut R-naught, My Precious. Dapat idenya? Jadi, 1 orang yang terkena campak, berpotensi menularkan ke 12 hingga 18 orang sehat dalam kurun waktu tertentu.
Kasus lainnya sebagai contoh. Zika memliki R0 = 3 hingga 6.6. Hal tersebut berarti 1 orang yang tekena zika memungkinkan untuk menularkan pada tiga hingga enam orang lainnya. Flu atau influenza musim (seperti ketika musim dingin) memiliki R0 = 1.3 yang berarti seorang yang mengidap flu musim memungkinan penyebaran ke satu hingga dua orang. Pandemi yang sedang kita hadapi hari ini, Covid-19, memiliki R-naught = 2 hingga 2.5.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan dengan campak, perbedaan antara R0 flu musim dan R0 Covid-19 tidak terlalu jauh atau besar. Selain itu, gejala yang dimiliki oleh flu musim dan Covid-19 juga sangat bersinggungan. Keduanya memiliki gejala seperti demam, batuk; beberapa kasus ditemukan kelelahan dan juga pneumonia. Namun demikian, ternyata dampak dari perbedaan R0 flu musim dan Covid-19 yang kita lihat tidak sebesar cacar dan zika ini ternyata, nyatanya, memiliki perbedaan yang sangat kontras.
Apa artinya grafik eksponensial jika tidak bisa menjelaskan R0 Covid-19 = 2-2.5 ini.
Asumsikan dalam sebuah desa, seorang pria terkena influenza musiman. Ingat, karena R0 flu musim = 1.3, maka ia mungkin akan menulari satu atau dua orang sehat. Dengan demikian sekarang ada dua orang terkena flu. Lalu, karena R0 flu musim adalah 1.3, maka dua orang terjangkit flu musim tadi, masing-masing menularkan flu pada satu atau dua orang lainnya. Sekarang ada tiga orang terkena. Begitu seterusnya dan setelah delapan putaran, terdapat 29 orang terdampak flu.
ADVERTISEMENT
Bingung membayangkannya? Coba lihat GIF di bawah ini
Simulasi (GIF) penyebaran flu musim dengan asumsi R-naught/R0= 1.3 dan tanpa intervensi pada setiap individu
Jika model atau simulasi di atas diteruskan hingga sepuluh putaran, Anda akan mendapatkan sebanyak 56 orang sakit karena flu musim.
Sekarang bandingkan dengan kasus Covid-19 yang memiliki R0 = 2 hingga 2.5. Angka basic reproduction number tersebut berarti bahwa satu orang yang terkena Covid-19 berpotensi dapat menularkan virus pada dua orang sehat lainnya. dengan R0=2, coba bayangkan model animasi yang sama seperti GIF flu musim di atas. Berapa jumlah orang yang terkena Covid-19 setelah 8 putaran? Jawabannya 256 orang positif Covid-19. Dan setelah 10 putaran, jumlah tersebut menjadi 2,048. Sangat berbeda jauh dengan flu musim.
SImulasi (GIF) penyebaran COVID-19 dengan asumsi R-naught/R0= 2 dan tanpa intervensi selama masa penyebaran. Setelah 10 putaran, jumlah orang terdampak virus akan mencapai 2000an
Lalu bagaimana dengan campak yang memiliki R0 = 12 – 18? Anda bayangkan sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun tentu R0 ini menggunakan asumsi bahwa tidak adanya penanganan terhadap virus, atau sebelum terdapat vaksin atau obat yang dapat menangkal virus ini. Caitlin Rivers mengatakan pada Vox bahwa, “Salah satu miskonsepsi terhadap R0 adalah (dianggap) sebagai angka yang tetap – namun sebenarnya, (angka tersebut) bervariasi dari waktu ke waktu dan konteks”. Profesor di Johns Hopkins Center for Health Security tersebut melanjutkan bahwa, “Jadi, telah diketahui bahwa R0 penyakit ini, setidaknya sebelum kita menerapkan intervensi, lebih dari 2”.
Dengan demikian, apa yang kita lakukan setidaknya akan sangat menentukan untuk melandaikan kurva eksponen Covid-19. Mengutip dari laman yang sama, Dominique Heinke, seorang epidemiologis di Massachusetts mengatakan, “Jika kita bisa mendapatkan Re (menjadi kurang dari) 1 melalui pembatasan sosial, kekebalan alamiah, atau vaksin, maka kita (dapat) memutus siklus penularan, dan epidemi akan melambat atau ditekan”. Re atau effective reproduction rate, merupakan intervensi yang dilakukan untuk menekan angka penyebaran virus.
ADVERTISEMENT
Istirahat sebentar boleh?
Kenapa tidak? Satu lagu untuk Anda.
Hal merepotkan selanjutnya
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyebutkan bahwa gejala umum seseorang terpapar Covid-19 meliputi demam, suhu tubuh meningkat, batuk dan/atau napas yang pendek. Namun hasil temuan di lapangan menunjukkan gejala yang menjadi manifestasi seseorang mengidap Covid-19 tidak terbatas pada hal itu. Beberapa pasien yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 sangat mungkin memiliki gejala yang bahkan berbeda dari gejala umum yang ditemukan. Hal inilah yang membuat tenaga kesehatan kebingungan dengan cara apa sebaiknya merespon virus ini.
Kenapa gejala penting?
Gejala merupakan keadaan yang menjadi tanda-tanda sesuatu akan muncul. Pernah dengar cerita hari kiamat? Dalam Islam, hari kiamat diceritakan dengan beberapa peristiwa sebagai penanda seperti terbitnya matahari dari barat, munculnya Dajal, keluarnya Yakjuj wa Makjuj, nabi Isa turun ke bumi dan lain sebagainya. Beberapa hal itu dinamai juga sebagai tanda-tanda hari kiamat. Dapat idenya? Begitu juga dalam ilmu yang berurusan dengan penyakit fisik seperti kedokteran ataupun juga penyakit mental seperti psikologi. Setidaknya kedua ilmu itu bergantung pada gejala-gejala dan tanda-tanda yang muncul pada seseorang untuk sesegera mungkin dilakukan diagnosis gangguan. Dengan mengetahui dan memahami tanda-tanda, seseorang bisa mengetahui apa yang sedang terjadi.
ADVERTISEMENT
Salah satu manfaat penting dari mengetahui gejala-gejala adalah untuk melakukan pencegahan yang tepat. Dengan membayangkan hari kiamat akan datang besok, masihkah kita akan melakukan maksiat? Saya pribadi memilih tidak. Begitu juga dengan Covid-19, dengan membayangkan virus tersebut sangat dekat, maka kita tidak akan berpikir untuk melakukan hal yang dicegah oleh otoritas kesehatan. Kita, umat manusia, sudah cukup direpotkan dengan kanker yang gejalanya hampir tidak bisa dirasakan hingga pada fase agresif, dan sekarang coronavirus datang dengan gejala yang bisa jadi berbeda pada setiap pasiennya.
WHO menemukan bahwa gejala Covid-19 tidaklah spesifik dan persentasi (seseorang yang terpapar virus ini) dari penyakit ini dapat berkisar dari tidak ada gejala sama sekali (asymptomatic) hingga pneumonia berat dan kematian. Garis bawahi; bisa jadi tidak ada gejala sama sekali.
ADVERTISEMENT
Namun demikian bukan berarti tidak ada gejala umum yang dapat ditemukan dari Covid-19 ini. Berdasarkan dari 55924 kasus terkonfirmasi, WHO melaporkan (PDF) beberapa tanda dan gejala meliputi: demam (87.9%), batuk kering (67.7%), kelelahan (38.1%), muncul dahak (sputum production[33.4%]), nafas yang pendek (18.6%), sakit tenggorokan (13.9%), sakit kepala (13.6%), diare (3.7%) dan beberapa gejala lain. Penelitian yang dilakukan oleh Chaolin Huang, dkk ketika awal munculnya Covid-19 pada 41 pasien menemukan pneumonia yang abnormal pada dada setiap pasien. Studi yang dipublikasikan 30 Januari tersebut juga menunjukkan bahwa suhu tubuh mayoritas pasien berada di atas 37 derajat Celsius.
Menurut WHO juga, rata-rata orang dengan Covid-19 umumnya merasakan tanda dan gejala termasuk gejala pernapasan ringan dan demam adalah 5 sampai 6 hari setelah infeksi. Waktu antara seseorang pertama kali terinfeksi atau terpapar penyakit dengan waktu ia merasakan gejala-gejala ini disebut sebagai masa inkubasi. Sebagai contoh, A terpapar dan terinfeksi Covid-19 pada tanggal 23 Maret lalu. Ia baru akan merasakan gejalanya pada tanggal 28 atau 29 Maret (5 atau 6 hari setelahnya). Masa antara 23 Maret hingga 28/29 Maret itulah yang disebut periode inkubasi. Selama periode inkubasi tersebut, A bisa jadi tidak merasakan apapun yang salah dalam dirinya, namun ia sudah berpotensi menularkan virus itu ke orang lain.
ADVERTISEMENT
Yang paling mengkhawatirkan, masa inkubasi tersebut bisa berkisar hingga 12 sampai 14 hari. Hal itu berarti selama 14 hari, seseorang bisa jadi tidak merasakan gejala Covid-19 dan terus beraktivitas. Selama beraktivitas, ia berpeluang besar menularkan SARS-CoV-2 ke dua orang lain (dengan asumsi R0 = 2). Jika tidak ada intervensi, dua orang lain itu terdampak dan menularkan ke masing-masing dua orang lain lagi dan begitu seterusnya sehingga kasus Covid-19 menunjukkan grafik eksponensial.
Ilustrasi masa inkubasi COVID-19.
Sebagai perbandingan, masa inkubasi flu lebih cepat dibandingkan Covid-19. Di hari pertama Anda terkena flu, bisa jadi besok atau sesegera mungkin Anda sudah bisa merasakan gejala-gejala flu. Dengan demikian Anda bisa mengantisipasi, berobat, dan tidak menularkan pada orang lain.
ADVERTISEMENT
Perbedaan R-naught dan masa inkubasi inilah yang mematahkan pendapat bahwa Covid-19 sama dengan flu musim. Walaupun kedua penyakit ini memiliki gejala yang hampir serupa seperti batuk, demam dan beberapa kasus pneumonia, namun sangat berbeda dalam masa inkubasi dan R0-nya. Sebenarnya ada satu hal lagi yang membedakan, yaitu angka kematian. Namun, karena beberapa alasan, tidak akan dibahas di sini.
Sampai sini, dengan memahami R-naught dan masa inkubasi, kita sekali lagi dapat menyimpulkan bahwa Covid-19 sangat atau super menular. Namun itu belum jadi hal terburuknya. Hal yang paling merepotkan adalah fakta bahwa SARS-CoV-2 ini merupakan virus baru, belum ada orang sebelum kasus pertama yang terjangkit virus ini, dan tentu saja, belum ada vaksin yang menjadikan tubuh kita kebal dari Covid-19. Hal itu menjadikan semua manusia, setiap individu, rentan terhadap virus ini. Terutama, kita telah mengetahui bahwa, selain virus ini tidak kasat mata, juga karena ia dapat menular dari manusia ke manusia lain.
ADVERTISEMENT
Karena flu biasa merupakan penyakit umum, kebanyakan kasus flu akan sembuh tanpa perawatan rumah sakit. Hal tersebut tentu karena vaksinnya telah ditemukan atau tubuh kita secara alamiah telah kebal terhadap flu. Berbeda dengan Covid-19. Tubuh kita tidak menyediakan kekebalan alami, kekebalan buatan dari vaksin juga belum ditemukan, maka salah satu cara untuk menekan angka penyebaran adalah dengan pembatasan sosial atau fisik (social or physical distancing).
Seberapa berpengaruh pembatasan sosial?
Beberapa bulan lalu sebuah artikel dari The Washington Post yang berjudul “Why outbreaks like coronavirus spread exponentially, and how to ‘flatten the curve’” ramai diperbincangkan. Dalam artikel tersebut Harry Stevens, penulisnya, memaparkan bagaimana penyebaran virus yang mengakibatkan Covid-19 ini menular secara eksponensial. Dalam grafik tersebut, beberapa model simulasi dijabarkan oleh Stevens termasuk juga bagaimana pembatasan sosial dapat menjadi jalan untuk menekan angka penyebaran virus. The Post memberikan akses gratis pada artikel tersebut. Coba lihat dan bacalah jika belum.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan flu yang kebanyakan dari manusia telah memiliki kekebalan alamiah atau dari vaksin terhadap penyakit ini, sementara ini kita belum memiliki semua itu untuk menekan penyebaran Covid-19. Dan karena belum ditemukannya vaksin penangkal atau penyembuh bagi orang yang terkena coronavirus jenis baru ini, maka pembatasan sosial dan fisik merupakan hal yang paling mungkin dilakukan.
Kita tahu bahwa penyebaran SARS-CoV-2 ini dapat terjadi dari manusia ke manusia. Menggunakan asumsi dari apa yang telah kita pahami, jika masa inkubasi berlangsung selama 14 hari, maka sangat mungkin seseorang yang terjangkit Covid-19 menyebarkannya pada 2 orang lain (R0=2), dan kita tahu setelah sepuluh putaran, dengan asumsi tidak adanya intervensi, lebih dari 2000 orang akan terjangkit virus ini.
ADVERTISEMENT
Namun bagaimana jika intervensi pembatasan sosial dan fisik ini diterapkan? Hasil akhirnya tentu berbeda.
Asumsikan kita menerapkan isolasi atau karantina bagi orang yang terjangkit SARS-CoV-2 pada putaran ke tiga dari simulasi (GIF) penyebaran Covid-19 di atasi. Hal itu akan memutus rantai penularan antara orang yang terjangkit dengan orang lain yang sehat. Coba perhatikan simulasi grafis di bawah. Asumsikan bahwa seseorang dengan Covid-19 dapat menyebarkan virus hingga ke dua orang sehat lain (R0=2), setelah delapan putaran, hasilnya adalah 200an orang terjangkit. Namun bagaimana jika kita memotong garis pada putaran ke-tiga dengan isolasi, karantina, atau pembatasan sosial? Hasilnya tentu akan banyak orang lain yang selamat dari penularan SARS-CoV-2 ini. Bahkan, tidak akan ada garis penularan ke atas. Bandingkan jika isolasi, karantina atau pembatasan sosial tidak dilakukan. Tentu penyebaran akan terus berlanjut.
ADVERTISEMENT
Simulasi (GIF) penerapan isolasi, karantina mandiri atau pembatasan sosial pada orang yang terjangkit virus akan memutus garis penyebaran
“Iya tentu pembatasan sosial dan karantina bisa menekan penyebaran virus ini. Namun bagaimana jika saya adalah orang dengan mobilitas tinggi atau kantor saya tidak menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau saya memang harus ke luar untuk alasan yang tidak bisa saya sampaikan?” begitu setidaknya pertanyaan yang muncul setelah melihat GIF di atas.
Jika Anda adalah salah satu dari orang yang tidak bisa karantina atau tetap harus bekerja di luar rumah, maka inilah fungsinya WHO, dinas-dinas kesehatan atau media massa menjejali Anda dengan cuci tangan menggunakan sabun, jangan menyentuh wajah, jika bisa bekali diri dengan hand sanitizer, beri jarak setidaknya 1 hingga 2 meter ketika berkomunikasi atau melakukan kontak dengan orang lain. Penggunaan masker kain ketika melakukan aktivitas yang melibatkan banyak orang juga dianggap dapat menekan angka penyebaran.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi penting karena sekali lagi, selama kita tidak tahu siapa saja yang mungkin terdampak Covid-19 karena masa inkubasinya yang panjang dan semua manusia tanpa terkecuali rentan terhadap virus ini, maka karantina dan isolasi mandiri menjadi sangat relevan untuk dilakuan.
Pembatasan fisik atau sosial, karantina, menjaga kebersihan dan kesehatan, merupakan cara kita untuk berpartisipasi dalam menghadapi. Karena tidak semua dari kita bisa membuat vaksin atau bekerja sebagai tenaga kesehatan. Tentu kita masih membutuhkan vaksin untuk menanggulangi virus ini, tapi tidak ada salahnya untuk melakukan apa yang kita bisa selagi tenaga kesehatan berjuang untuk menangani virus ini.