Neuron Binatang yang Aktif tapi Tidak Terkait Aktivitas Fisik. Mungkinkah Emosi?

Mely Santoso
Savvy science reader.
Konten dari Pengguna
16 September 2020 16:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi katak. Photo by Saketh Upadhya on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi katak. Photo by Saketh Upadhya on Unsplash

Preambule

ADVERTISEMENT
Sebelum lebih jauh membaca artikel, saya akan membuat beberapa pengakuan. Pertama, artikel ini sama sekali tidak akan membahas SARS-CoV-2 atau Covid-19 seperti biasanya. Kedua, saya takut terhadap Bangsa Anura.
ADVERTISEMENT
Rumah saya, dulu, berada di tengah sawah. Beberapa teman dari luar kota yang sempat berkunjung bahkan menyebutnya di tengah hutan. Ada banyak spesies hewan yang hidup di sekitar rumah. Saat saya masih berusia anak sekolah dasar, tak sulit menemukan berbagai spesies burung yang menganyam sarang di ranting pohon mangga di halaman. Ulat pohon jeruk adalah yang paling menarik (setidaknya bagi saya), ia mempunyai bau khas pohon jeruk dan berwarna hijau terang yang membuatnya tampak lucu.
Itulah resiko memiliki rumah yang dikelilingi sawah.
Selain berbagai jenis burung dan ulat, beberapa hewan lain juga hidup di sekitar rumah. Ada tupai, biawak, ular, dan tentu saja, hewan dari Bangsa Anura. Istilah terakhir merujuk pada amfibi berkaki empat yang sering kita sebut sebagai kodok dan katak. Anura sendiri merupakan bahasa Yunani yang berarti “tanpa ekor”
ADVERTISEMENT
Dulu, kamar mandi rumah kami mempunyai ventilasi dengan beberapa lubang seukuran bola pingpong. Asumsi saya, lewat lubang itulah katak sering kali masuk ke kamar mandi. Ketika masih kecil, saya bahkan harus memanggil ibu untuk mengeluarkan katak yang bersantai di dinding kamar mandi. Ibu saya mengambil plastik sampah, memasukkan tangan ke dalamnya, menangkap katak itu, dan melemparkannya ke belakang rumah.
Entah karena terlalu sering berinteraksi dengan katak atau karena sudah sangat bosan mengeluarkan katak di kamar mandi, ibu saya suatu saat berkata, “diam saja tidak usah diganggu. Katak itu tidak akan bereaksi jika tidak diganggu” ketika saya ingin buang air kecil dan melihat katak besar setelah menyalakan lampu. Untuk anak usia sekolah dasar, kata-kata ibu tersebut sepertinya sulit dipercaya.
ADVERTISEMENT
Masa kecil itu pun berlalu. Ventilasi kamar mandi ditutup menggunakan jaring dan Voila!, tidak ada lagi katak masuk.
Hingga beberapa minggu lalu, saat kamar mandi rumah hampir selesai direnovasi, muncullah seekor katak besar dengan mata yang hampir tidak berkedip di kamar mandi. Kali ini saya harus menghadapinya sendiri. tidak mungkin saya berteriak, “bu, ada katak besar di kamar mandi.” Selain malu dengan usia yang sudah cukup jauh dari balita, ibu saya juga berada di luar negeri sejak setahun terakhir.
Teringat petuah ibu agar tidak usah mengganggu katak di kamar mandi, saya pun mencoba melakukannya. Awalnya tentu ragu, tapi bahkan setelah selesai mandi yang diliputi rasa waspada (takut jika sewaktu-waktu si katak melompat ke punggung saya), katak tersebut bahkan, sepertinya, tidak berkedip. Ia hanya diam saja di tempat gantungan baju. Posisinya pun sama. Tidak ada yang berubah.
ADVERTISEMENT
Hal yang akhir-akhir ini baru saya sadari adalah, apa yang sebenarnya katak itu lakukan dengan berdiam diri pada posisi sama dalam waktu yang cukup lama. Cukup lama karena saya yakin tidak ada manusia yang dapat berdiam diri dan bertahan di posisi yang sama tanpa membuka smartphone. Pertanyaan pun muncul: ketika dalam keadaan diam (atau absennya input sensorik), apa yang terjadi dalam otak katak di kamar mandi saya dan pada otak binatang lain secara keseluruhan?

Sinyal neuron yang belum dipahami – keadaan internal otak binatang

Banyak ilmuwan neurosains yang mempelajari otak binatang telah mengajukan pertanyaan serupa. Beberapa dari mereka telah meneliti dan mempelajari bagaimana otak menciptakan emosi dan kondisi-kondisi internal (internal states) lainnya seperti keinginan dan motivasi. Lebih jelasnya, para ilmuwan dalam bidang terkait telah mencoba meneliti tentang aktivitas jaringan neuron pada otak binatang, baik yang berhubungan dengan aktivitas fisiknya maupun yang tidak.
ADVERTISEMENT
Jennifer Li dan Drew Robson misalnya. Dua ilmuwan ini menemukan apa yang mereka sebut sebagai sel “psychic” ketika meneliti data yang menggunung dari eksperimen otak ikan zebra. Mereka mencoba memetakan aktivitas otak larva ikan zebra saat berburu makanan dan mencoba melihat bagaimana komunikasi neuron di dalamnya berubah.
Dari kumpulan data hasil eksperimen berbagai ilmuwan, Li dan Robson menemukan dua hal. Pertama, mereka mendapatkan data tentang sinyal neuron aktif yang dapat memprediksi kapan bayi ikan zebra menangkap dan menelan makanan. Beberapa neuron ini aktif beberapa detik sebelum bayi ikan zebra memusatkan perhatian pada mangsanya.
Namun, mereka menemukan hal lain yang aneh di lain sisi. Ketika melihat lebih detail pada data, Li dan Robson menyadari bahwa sel-sel “psychic” yang mereka temukan, aktif untuk waktu yang cukup lama bahkan sampai beberapa menit. Mereka menyadari, setelah menelaah literatur, bahwa sel-sel psychic ini merupakan yang bertanggung jawab untuk mengatur keadaan internal otak.
ADVERTISEMENT
Banyak ilmuwan lain yang menggunakan berbagai pendekatan dan spesies berbeda juga menemukan keadaan internal otak yang mempengaruhi perilaku hewan, bahkan ketika lingkungan luarnya tidak ada yang berubah. Para ilmuwan ini mengajukan hipotesis bahwa pasti ada neuron yang bertanggung jawab mengkode keadaan otak internal.
Walau ilmuwan neurosains telah mengetahui bagaimana jaringan sel otak merespon informasi sensorik dan bagaimana jaringan tersebut menghasilkan perilaku, tetapi mereka masih kesulitan untuk mengetahui dengan detail apa maksud dari aktivitas saraf ini. Bahkan, sampai beberapa tahun yang lalu, mengukur aktivitas jaringan tertentu yang mendasari kondisi otak internal tampak tidak mungkin untuk dilakukan.
Berkat kemajuan teknologi yang cepat, banyak teknik baru muncul yang memungkinkan ilmuwan melacak aktivitas listrik otak dengan detail, mengukur perilaku alami hewan dalam skala waktu milidetik, dan menemukan pola-pola dari data yang telah dihasilkan dari eksperimen bidang ini. pola-pola ini bisa menjadi tanda dari keadaan internal (internal states) yang tak terhitung banyaknya yang terjadi di dalam otak.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang terbesarnya adalah menemukan jawaban dari apa sesungguhnya maksud dari keadaan internal otak ini.
Ikan zebra yang ukurannya hampir hanya sebulu mata. Image by Petr Kuznetsov from Pixabay

Bagaimana otak hewan bekerja

Istilah internal states (keadaan internal) sendiri merujuk pada aktivitas otak yang mencakup suasana hati (mood), aktivitas kognitif, dan berbagai macam variabel lain yang tak terlihat dari luar, tetapi dapat mempengaruhi perilaku. Internal states merupakan apa yang terjadi di dalam tubuh, khususnya otak.
Bayangkan ketika berada dalam sebuah rapat yang sangat-sangat membosankan. Dalam kondisi demikian, pikiran Anda mungkin akan mengembara ke masa lalu dan menemukan hal lucu atau memalukan yang pernah Anda alami. Anda pun mungkin akan senyum-senyum sendiri. Ketika buang air besar, contoh lainnya, apakah pikiran Anda sepenuhnya kosong? Keadaan-keadaan demikian itulah yang disebut sebagai keadaan internal otak.
ADVERTISEMENT
Sama seperti manusia, otak binatang juga dibombardir oleh informasi dari lingkungan yang didapatkan dari organ sensorik seperti mata, telinga, kulit, atau hidung. Informasi-informasi tersebut diproses oleh korteks sensorik otak. Tahap selanjutnya, informasi dalam korteks sensorik disaring melalui berbagai keadaan otak internal yang menunjukkan suasana hati dan kebutuhan makhluk yang terus berubah. Hal tersebut yang akhirnya mengarahkan korteks motorik untuk menghasilkan perilaku atau gerakan yang sesuai dengan keadaan – untuk mengejar mangsa, mengembik, atau bahkan mematuk pohon.
Keadaan internal, di lain sisi, juga dapat dihasilkan sepenuhnya di dalam otak tanpa masukan atau stimulus sensorik dan tanpa respon atau output perilaku tertentu: lamunan Anda saat buang air besar atau flashback apa yang terjadi seharian sebelum Anda tertidur adalah contohnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Alison Abbot dalam artikel “What Animals Really Think” yang dipublikasikan di laman Nature, selama beberapa tahun terakhir, pengetahuan tentang keadaan internal telah mengubah paradigma ilmuwan neurosains mempelajari perilaku hewan. “Kita terbiasa menganggap hewan sebagai semacam mesin stimulus-respon. Dan sekarang kita mulai menyadari bahwa banyak hal yang sangat menarik dihasilkan dalam otak mereka yang mengubah bagaimana input sensorik diproses – dan dengan demikian mengubah hasil perilaku hewan.” ujar Anne Churchland, ilmuwan neurosains di Cold Spring Harbor Laboratory, New York.
David Anderson dan Ralph Adolphs adalah contoh dari beberapa ilmuwan yang meneliti tentang keadaan internal otak. Pada 2014 mereka mengembangkan hipotesis tentang karakteristik yang dimiliki sirkuit saraf terkait dengan internal brain states (keadaan otak internal). Mereka berdua kesal karena pandangan beberapa psikolog yang mengklaim bahwa, karena binatang tidak bisa mengekspresikan perasaan dengan kata-kata, maka perasaan tersebut tidak bisa dipelajari sama sekali.
ADVERTISEMENT
Poin penting dari hipotesis yang Anderson dan Adolphs kembangkan, mengutip Nature, adalah bahwa keadaan otak internal harusnya aktif lebih lama dibandingkan stimulus asli yang memicunya. “Jika Anda mendaki gunung dan melihat ular, Anda mungkin melompat ketakutan,” ujar Anderson. “Sepuluh menit kemudian, ketakutan internal otak Anda masih aktif, jadi ketika Anda melihat tongkat di jalan, Anda mungkin melompat lagi.”
Tahun lalu, Anderson juga mempelajari agresi pada lalat buah, yang memiliki sekitar 100.000 neuron, untuk memahami lebih jauh tentang keadaan internal. Sama seperti binatang lainnya, pejantan lalat buah akan melakukan tindak agresi atau berseteru untuk memperebutkan betina – sebuah perilaku yang dijuluki “Helen of Troy Effect” oleh Anderson, diambil dari mitologi Yunani tentang seorang wanita yang menyebabkan perang Troya.
Ilustrasi lalat buah. Image by skeeze from Pixabay
Dalam penelitiannya, bukti tidak langsung menunjukkan bahwa pejantan Drosophila yang mendekati betina menyebabkan mereka terlibat dalam perilaku agresif antar sesama jantan dan membuat suara untuk menarik betina atau yang disebut juga sebagai courtship song.
ADVERTISEMENT
Anderson dan timnya mencari aktivitas neuron yang berkorelasi dengan perilaku agresif dan perilaku pacaran (PDKT) pada lalat buah yang diprakarsai oleh neuron P1 – neuron yang berada pada wilayah kontrol perilaku sosial. Neuron-neuron ini bekerja sangat cepat sehingga tidak dapat bertanggung jawab untuk mempertahankan keadaan internal. Dengan teknik pencitraan dan analisis perilaku otomatis, kelompoknya mengidentifikasi sel-sel di area otak lain yang aktif sebagai konsekuensi dari aktivitas P1.
Mereka menemukan adanya sebuah klaster sel, disebut neuron pCd, yang tetap aktif selama beberapa menit pada lalat buah dibandingkan P1 itu sendiri. Secara ringkas, neuron pCd membutuhkan P1 sebagai pemicu, dan ketika direpresentasikan dalam tindakan, neuron pCd aktif dan bertahan lebih lama dibandingkan dari pada P1. Hal ini sama seperti analogi ketakutan terhadap ular yang tetap aktif walau sebenarnya yang dilihat adalah hal lain.
ADVERTISEMENT
Penelitian lain yang dipublikasikan pada bulan Oktober tahun lalu (preprint) melakukan percobaan serupa pada mencit – yang memiliki otak lebih kompleks dan memiliki sekitar 100 juta neuron.
Para peneliti menemukan sekelompok neuron tertentu di hipotalamus mencit yang, seperti neuron pCd, aktif secara terus-menerus terkait dengan ketakutan. Ketika para peneliti menempatkan mencit percobaan pada tikus dalam beberapa detik, mencit itu merespon dengan menunjukkan mekanisme pertahanan: mencit tersebut mendekati dan memeluk dinding. Ketika para peneliti menggunakan stimulus lain (cahaya) untuk menyalakan dan mematikan neuron, perilaku memeluk dinding itu muncul dan pergi, bahkan tanpa kehadiran tikus.

Neuron psychic, internal brain states, dan emosi

Neuron “psychic” Li dan Robson serta neuron pCd Anderson tidak, sepertinya, sepenuhnya berperan untuk aktivitas fisik para binatang yang diteliti. Dan dengan demikian, hipotesis awal yang muncul adalah bahwa neuron-neuron ini bertanggung jawab pada aktivitas internal otak. Lalu, mungkinkah neuron-neuron psychic ini yang bertanggung jawab juga pada emosi dan kesadaran (consciousness)? Ilmuwan masih belum sepenuhnya mengerti.
ADVERTISEMENT
Kendala pertama untuk mengidentifikasi apakah binatang memiliki kesadaran adalah dari segi definisi kesadaran itu sendiri. Masalah definisi sendiri acap kali ditemukan sebagai kendala dalam studi perilaku secara umum. “Kita cenderung menggunakan kata kesadaran untuk mengartikan beberapa hal,” Carl Safina, penulis Beyond Words: How Animals Think and Feel, mengatakan dalam wawancaranya bersama Simon Worrall di artikel laman National Geographic.
Safina juga mempertanyakan bahwa jika memiliki pengalaman mental berarti sadar, apakah spesies lain memiliki pengalaman mental juga ataukah mereka mengindra sesuatu tanpa memiliki sensasi sama sekali atas apa yang mereka alami? Jawaban dari pertanyaan ini tentu sangat membingungkan. Di satu sisi, binatang memiliki reaksi untuk merespon stimulus yang masuk dan di lain sisi, apakah bisa yang demikian itu disebut sebagai kesadaran pada hewan?
ADVERTISEMENT
“Jika kau melihat mamalia atau bahkan burung, kau akan melihat bagaimana mereka merespon dunia (lingkungannya). Mereka bermain. Mereka ketakutan saat ada bahaya. Mereka bersantai saat semua baik-baik saja,” ujar Safira. “Tampaknya tidak masuk akal bagi kita untuk berpikir bahwa hewan tidak memiliki pengalaman mental yang sadar tentang bermain, tidur, ketakutan, atau cinta.”
Komunikasi adalah hal lainnya yang patut disoroti ketika membicarakan tema kesadaran dan emosi pada binatang. Pasalnya, jika memang binatang tidak memiliki kesadaran atas apa yang mereka alami, bagaimana simpanse dapat menjulurkan tangan sebagai sinyal komunikasi yang berarti, “berikan aku lebih banyak” ketika pengunjung kebun binatang melemparinya mangga?
Ekspresi pada simpanse ini adalah merupakan salah satu uraian Charles Darwin dalam The Expression of the Emotions in Man and Animals (1872). Image by ivabalk from Pixabay
Walaupun simpanse tidak berbicara sebagaimana manusia, mereka menggunakan gestur tubuh dan ekspresi raut wajah tertentu untuk berkomunikasi dengan sesamanya. “Simpanse tidak membutuhkan bahasa di lingkungan mereka karena mereka memiliki sistem komunikasi yang sangat kompleks yang berdasarkan komunikasi nonverbal,” ujar Dr. Katja Liebal, ilmuwan dari University of Leipzig, yang menaruh minatnya pada komunikasi gestur primata selain manusia.
ADVERTISEMENT
“Sebuah teori (mengatakan) pada dasarnya mereka (simpanse) mengimitasi gestur satu sama lain. Mereka mempelajari gestur dengan berinteraksi bersama yang lainnya.” imbuh Katja pada BBC Earth. Teori ini telah membuat beberapa primatologi, dari sudut pandang evolusi, yakin bahwa perilaku ini mungkin telah ada pada nenek moyang kuno dari manusia. Dan mungkin juga, itu adalah cikal bakal bahasa verbal manusia sekarang.
Namun demikian, tetap saja sulit untuk mengatakan dengan tepat apa yang sebenarnya dipikirkan oleh hewan. Bahasa manusia yang kita gunakan tampaknya sangat tidak cocok untuk mengungkapkan apa yang terjadi dalam kepala mereka. Beberapa ilmuwan bahkan menyangkal bahwa binatang memiliki kesadaran.
Saat ini, banyak para ilmuwan mengajukan pertanyaan, mempelajari, dan meneliti tentang kondisi internal binatang. Perangkat yang mereka gunakan pun semakin canggih. Saat temuan mereka muncul, kita mendapatkan perspektif yang lebih baik tentang ekspresi emosi hewan yang beragam.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa tahun kedepan, di saat kita mampu memahami sedikit pikiran hewan, hal ini akan memperbaiki hubungan kita dengan binatang sehingga kita akan berpikir ribuan kali untuk merusak habitat mereka apalagi memusnahkan spesiesnya. Dan saya pun akhirnya bisa mengetahui apa yang diinginkan katak dengan hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun di dalam kamar mandi. Semoga.