OK boomer vs kids zaman now: Mengapa orang tua selalu mengeluhkan generasi muda

Mely Santoso
Savvy science reader.
Konten dari Pengguna
26 Februari 2020 10:04 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Perseteruan antar generasi seperti milenial, boomer, dan gen z, dapat disebabkan banyak hal mulai dari bias memori sampai identitas sosial. Pahami mengapa demikian.

Ilustrasi perseteruan antar generasi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perseteruan antar generasi.
ADVERTISEMENT
Preambul
ADVERTISEMENT
“Peperangan” antara generasi muda (Gen Z atau milenial) dengan generasi tua (Baby boomer) terus berlanjut. Terakhir, perseteruan itu menelurkan istilah, “Ok. Boomer” yang diucapkan oleh milenial karena asiknya generasi tua (boomer) mengomentari dan mengeluhkan apapun yang dilakukan oleh yang muda.
Frasa “OK boomer” muncul dan ramai diperbincangkan di dunia maya. Tiktok, merupakan aplikasi – yah kita semua tahu aplikasi apa, yang berperan besar dalam membuat frasa itu terkenal sebagai ekspresi kekesalan milenial atas keluhan boomer tentang anak jaman sekarang (Kids these days). Lagu “OK BOOMER” dari Peter Kuli & Jedwill menjadi pengiring video Tiktok yang paling populer digunakan.
Mengutip CNN Indonesia, istilah OK Boomer bahkan telah digunakan dalam ranah politik. Chloe Swarbrick, anggota parlemen Selandia Baru yang masih berusia 25 tahun, menggunakan “OK boomer” sebagai bentuk balasan pada politisi lain yang mengejeknya ketika ia berpidato tentang perubahan iklim. Sontak, media sosial ramai menggunakan frasa tersebut dan, seperti hal viral lainnya di media sosial, menjadi meme lucu.
ADVERTISEMENT
Tentu saja selain fenomena Chloe tersebut, generasi muda sepertinya memang muak pada generasi tua karena terus-menerus mendapatkan ujaran, “Di jaman saya dulu..,” atau “Jaman saya dulu pemuda tidak ada yang seperti ini,”.
Anak muda selalu mendapatkan komplain atau keluhan dari mereka yang lebih tua. Jangan dulu berbicara perseteruan antar generasi, mahasiswa atau pelajar senior setidaknya juga pernah mengeluhkan perilaku adik tingkat dengan kata-kata seperti “Anak jaman sekarang”.
Kontras antar generasi
Dua generasi ini, orang tua yang diwakili boomer dan anak muda diwakili milenial, memang memiliki citra yang sangat berbeda di pandangan masyarakat. Sebuah survei yang dilakukan oleh Ipsos MORI menunjukkan bahwa beberapa stigma melekat sebagai atribut dari dua generasi ini.
ADVERTISEMENT
Survei itu salah satunya menghasilkan daftar lima kata teratas untuk mendeskripsikan dua generasi yang berseteru tersebut. Generasi milenial dianggap sebagai generasi penggemar teknologi, materialistis, mementingkan diri sendiri, malas, dan arogan. Beberapa atribut yang disematkan ini bahkan merupakan pilihan kata yang negatif untuk menggambarkan sebuah generasi.
Di sisi lain, atribut positif melekat erat dengan boomer. Lima kata teratas yang digunakan responden untuk menggambarkan kelompok itu adalah; generasi yang sopan; pekerja keras; berpendidikan tinggi; beretika dan; peduli pada masyarakat. Kontras sekali bagaimana responden survei yang berjumlah 18 ribuan berusia di atas 16 tahun dari 23 negara ini menggambarkan kedua generasi. Generasi milenial akrab dengan stigma negatif sedangkan boomer, melekat pada mereka stigma positif.
ADVERTISEMENT
Dengan hasil survei tersebut, walaupun mungkin tidak ada kausalitas, kita dapat memahami mengapa orang tua mengeluhkan anak muda. Hal tersebut tentu didasari oleh beberapa penilaian dan atribut negatif yang melekat pada mereka.
Nyatanya, bukan hal baru jika orang yang lebih tua mengeluhkan apapun yang dilakukan anak muda. Dari generasi ke generasi, milenium ke milenium, hal ini terus berulang seperti lingkaran setan. Sebagai contoh, BBC melakukan penelusuran ke beberapa arsip dan menemukan fakta bahwa orang yang lebih tua sudah atau selalu mengeluhkan tentang anak muda lebih dari 2000 tahun. Salah satu yang paling lama adalah komentar Aristoteles dalam "Retorika" yang menyebutkan “Mereka (anak muda) pikir tahu segalanya, dan selalu yakin tentang itu,”.
ADVERTISEMENT
Laman History Hustle juga melakukan rekap serupa BBC. Mereka menyoroti bagaimana keluhan terhadap generasi yang lebih muda bahkan sudah terjadi lama berabad-abad lalu.
Namun harus diingat, anak muda selalu ada di generasi apapun dan bahkan boomer adalah anak muda pada masanya. Anak muda selalu ada, dan seperti yang telah direkap oleh BBC juga History Hustle, mereka akan selalu menerima keluhan dari orang yang lebih tua. Senior akan mengeluhkan apapun tentang junior mereka. Atau setidaknya, itu asumsi kita sekarang.
Mari kita membuat ramalan sebelum masuk ke pembahasan: Anak muda sekarang (milenial) yang muak dengan keluhan orang yang lebih tua (boomer) akan bertambah usia, menjadi tua, dan suatu saat juga akan mengeluhkan anak muda di masa depan. Mereka (milenial) mungkin menggunakan umpatan yang sama seperti “Yah. Anak jaman sekarang itu kurang…,” atau “Jaman saya dulu lebih…,” untuk anak muda. Dan begitu juga sebaliknya, Anak muda yang dikeluhkan oleh Milenial tua akan membalas dengan kata seperti, “OK millennial”.
ADVERTISEMENT
20 tahun lagi, jika laman ini masih ada dan aktif, kembalilah kesini dan berikan komentar tentang ramalan ini. Dan jika Anda adalah milenial, sebisa mungkin berikan pandangan yang objektif tanpa bias apapun dan benarkah karma ini telah menimpa Anda.
Milenial pun di masa depan akan merasa bahwa generasi muda mereka lebih baik dari segi apapun dibandingkan generasi muda pada saat itu.
Namun, yang jadi masalah di sini adalah, benarkah keluhan orang-orang tua itu? benarkah generasi muda mereka lebih baik dibandingkan generasi muda jaman sekarang (kapanpun Anda membaca sesuaikan konteksnya)? benarkah generasi muda yang dipandang buruk itu sejatinya seburuk kenyataannya? Ataukah itu hanya sebuah stigma dan pandangan masyarakat saja?
Bahkan ahli dalam bidangnya pun salah menilai generasi muda
ADVERTISEMENT
Seorang peneliti Psychological and Brain Sciences, John Protzko dari University of California melakukan penelitian tentang kecenderungan orang dewasa yang mengatakan bahwa anak muda jaman sekarang lebih buruk daripada zaman mereka.
Protzko mengumpulkan data dari berbagai hasil riset selama 50 tahun baik yang dipublikasikan ataupun tidak, yang mengukur tingkat kesabaran dan menunda kepuasan (delaying gratification) pada anak-anak. Dari studi dan data yang telah dikumpulkan itu nantinya akan dianalisa untuk melihat benarkah anak muda jaman sekarang, secara data dan penelitian, lebih buruk dalam menunda kepuasan dibanding anak muda di masa lalu.
Menariknya, sebelum data penelitian selama 50 tahun dari berbagai studi tentang menunda kepuasan itu dievaluasi dan dianalisis, Protzko meminta ahli dalam bidang perkembangan kognitif dan kepribadian anak untuk membuat prediksi tentang apakah anak jaman sekarang lebih buruk dalam menunda kepuasan dibandingkan anak muda di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 260 ahli menanggapi permintaan Protzko untuk membuat prediksi. Tujuan meminta ahli membuat prediksi ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik bagaimana anggapan mereka tentang anak-anak zaman sekarang. Karena tentu saja, para ahli di bidang perkembangan kognitif dan kepribadian anak harusnya memiliki wawasan sangat baik dan relevan tentang perilaku anak.
Hasilnya, sebanyak 84 persen ahli yang memprediksi data penelitian tersebut mengatakan bahwa anak zaman sekarang semakin bertambah buruk atau sama saja seperti anak muda zaman dulu. 54 persen darinya bahkan menyebutkan bahwa anak zaman sekarang lebih buruk. Hanya 16 persen ahli yang memprediksi bahwa anak zaman sekarang lebih baik dari anak zaman dulu.
Hasil prediksi ahli pada data ini cukup mengejutkan. Pasalnya, setelah dianalisa, data dari 50 tahun penelitian itu menunjukkan bahwa sebenarnya anak zaman sekarang lebih baik dalam menunda kepuasan (delaying gratification). Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun ahli, mereka juga bisa saja salah menganggap kemampuan anak zaman sekarang lebih buruk.
ADVERTISEMENT
Anda mungkin bertanya-tanya, bagaimana para ahli perkembangan kognitif tersebut salah dalam memprediksi kemampuan anak menunda kepuasan ini menurun?
Protzko menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena apa yang disebut sebagai, “Kids these days effect”. Istilah tersebut tulis Protzko merujuk pada “keyakinan yang salah bahwa anak jaman sekarang berbeda secara substansial dan lebih buruk dibandingkan anak-anak satu atau dua generasi sebelumnya.”. Dan sekalipun ahli dalam bidang yang diyakini akan memberikan prediksi objektif, mereka tetap tak terhindarkan dari fenomena “Kids these days effect” ini.
Yang menjadikan ini menarik adalah, kenapa hal seperti ini berulang? Kenapa bias seperti ini, orang yang lebih tua menganggap bahwa anak muda lebih buruk, terus terjadi generasi ke generasi?
ADVERTISEMENT
Bahkan setelah mengetahui data dari penelitian, seseorang bisa jadi tetap menganggap bahwa anak muda zaman sekarang lebih buruk karena terpapar bias. Bias memang sulit untuk dibasmi. Tapi bukan berarti bias tidak bisa dipahami. Dan pendekatan yang relevan untuk membahas bias “kids these days effect” ini adalah pendekatan dari disiplin ilmu memori.
Sebelumnya, satu lagu untuk menemani Anda membaca.
Memori episodik bertanggung jawab pada “kids these days effect”
Ingatan manusia tidak sepenuhnya bekerja seperti sebuah alat perekam video. Memori kita tidak bekerja dengan merekam sebuah informasi yang ada lalu dengan jelas memutarnya kembali saat diinginkan. Lebih dari itu, memori kita bekerja secara konstruktif seperti halaman Wikipedia.
Otak kita setidaknya bekerja melalui tiga tahapan; encoding, storing, dan retrieving.
ADVERTISEMENT
Ketika merasakan sensasi rangsangan dari salah satu panca indra, otak kita bekerja dengan memberikan penyandian agar setelahnya rangsangan yang sama dapat dikenali. Begitu rangsangan tersebut diingat, otak kita memprosesnya dengan memberikan kode kode. Hal itu juga yang mendasari bahwa proses pengambilan informasi dari memori jangka panjang (long term memory, LTM) adalah dengan cara asosiasi; mengumpulkan kepingan-kepingan informasi di pikiran.
Saat memori episodik bekerja, otak mengumpulkan kepingan-kepingan ingatan yang ada menjadi satu. Beberapa kepingan informasi tersebut bisa jadi benar sesuai fakta. Namun, ada kelemahan dalam proses itu. Otak kita terlalu malas untuk mengambil informasi yang susah atau berat, dan cenderung memilih informasi yang mudah untuk diambil. Dan biasanya, informasi yang paling mudah diambil adalah informasi yang cenderung paling baru.
ADVERTISEMENT
Mengutip laman News UCSB, Protzko mengatakan bahwa kecenderungan generasi tua mengeluhkan generasi muda adalah hasil dari ingatan seseorang yang kurang tepat.
Menurutnya, ada tipuan mental atau psikologis yang menjadikan masing-masing generasi melihat bahwa generasi berikutnya mengalami penurunan, walaupun sebenarnya faktanya tidak demikian. “Dan karena (asumsi) itu dibangun dalam cara pikiran bekerja (memori), setiap generasi mengalami (mengeluhkan generasi muda) secara berulang-ulang,” ujar Protzko.
Lalu, bagaimana fenomena ini berkaitan dengan memori?
Jika Anda diminta untuk membuat penilaian tentang anak muda zaman sekarang, tentu saja Anda harus berkelana ke masa lalu dan mengingat bagaimana hal yang dibandingkan tersebut pada anak-anak zaman dulu. Tapi seperti yang kita ketahui, ada kesulitan untuk melakukan hal itu. Selain karena otak kita malas mengambil informasi yang berat dan susah, juga karena tidak seorangpun dapat memastikan bahwa ia mempunyai informasi objektif tentang ana-anak zaman dulu.
ADVERTISEMENT
Karena tidak objektifnya ingatan itu dan juga tugas berat untuk dilakukan, kita menggunakan informasi sekarang (atau informasi yang baru tentang diri kita) untuk melakukan penilaian. Hal inilah yang akhirnya menelurkan istilah bias memori yang disebut presentism. Kata terakhir merujuk pada kecenderungan untuk menciptakan ulang dan menafsirkan sejarah berdasarkan ide-ide dan nilai-nilai saat ini, bukan dari pengetahuan dan nilai-nilai periode yang relevan.
Kita hanya menggunakan informasi dari zaman sekarang untuk mempermudah memanggil ingatan dan membandingkannya dengan peristiwa di masa lalu. Bahkan, jika diminta untuk membuat penilaian pada anak zaman sekarang, kita cenderung tidak objektif dan tidak benar-benar menggunakan informasi tentang anak zaman sekarang. Kita, akan cenderung menggunakan informasi baru tentang diri kita sendiri. Hal ini sepertinya yang mendorong Protzko untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Jika seseorang menggunakan dirinya saat ini sebagai perbandingan untuk mengevaluasi anak-anak zaman sekarang, orang yang mendapatkan skor tinggi dalam sebuah bidang, akan cenderung menilai anak-anak lebih buruk dalam bidang yang sama. Hal itu yang Protzko coba buktikan.
Hasil temuan dari survei yang melibatkan tiga ribuan responden dengan jelas menunjukkan bahwa semakin tinggi mereka menilai diri sendiri pada sifat-sifat tertentu (otoritarian, gemar membaca, dan kecerdasan), semakin besar kemungkinan mereka untuk merendahkan anak-anak pada sifat yang sama.
Lebih jelasnya, orang dewasa yang otoriter cenderung mengatakan bahwa anak zaman sekarang lebih tidak menghormati orang tua dibandingkan mereka dulu. Orang dewasa yang gemar dan banyak membaca mengatakan bahwa anak zaman sekarang tidak tertarik membaca daripada anak zaman dulu. Dan orang dewasa yang lebih cerdas lebih cenderung mengatakan anak-anak sekarang kurang pandai dibanding anak zaman dulu.
ADVERTISEMENT
Protzko mengatakan: “Anda tidak benar-benar memiliki pengetahuan objektif tentang seberapa baik anak-anak membaca ketika Anda masih kecil, jadi, ketika saya meminta Anda untuk memikirkannya, Anda hanya memiliki jumlah data terbatas untuk ditunjukkan”. Ia juga menambahkan bahwa hal tersebut tentu saja berkaitan erat dengan ingatan namun ingatan itu sendiri juga dipengaruhi oleh presentism.
Untuk menjelaskan efek dari memori atas sikap seseorang terhadap anak zaman sekarang, Protzko dan tim peneliti menambahkan pertanyaan tentang ingatan para partisipan terkait seberapa besar mereka dan teman-teman sebayanya menikmati baca buku ketika kecil. Para peneliti juga meminta pendapat mereka tentang “Adult these days”, orang-orang usia mereka sekarang, tentang kecintaan mereka membaca.
Hasilnya menunjukkan bahwa semakin seseorang menikmati membaca, semakin cenderung ia mengatakan bahwa ia menikmati membaca ketika masih kecil, dan semakin Anda berpikir bahwa semua anak-anak menikmati membaca ketika Anda masih kecil.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, Protzko juga menekankan bahwa presentism bukanlah satu-satunya jawaban mengapa orang dewasa cenderung menilai anak muda negatif. “Bias memori ini hanyalah bagian dari cerita. Semua hal memiliki multipel sebab.” terangnya pada Vox.
Beberapa faktor lain yang berpengaruh pada penilaian terhadap “Kids these days effect”
Selain karena faktor memori yang merupakan sudut pandang kognitif, beberapa faktor lain mungkin saja turut berpengaruh dalam fenomena orang tua mengeluhkan orang yang lebih muda ini.
Elok Halimatus Sakdiyah, seorang dosen dan ahli psikologi perkembangan di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, menyatakan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi penilaian negatif orang tua kepada orang lebih muda. Faktor pertama menurutnya adalah orang tua yang punya kecenderungan unintegrated. Orang tua seperti itu menurutnya cenderung lebih banyak mengeluh dan menyalahkan orang lain terutama orang yang lebih muda. “Dasarnya sebenarnya lebih pada kekecewaan pada dirinya sendiri namun dilampiaskan pada orang yang lebih muda,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Faktor kedua yang disampaikan oleh dosen yang akrab disapa Bu Elok adalah penggunaan mindset yang kaku. Menurutnya, penggunaan mindset yang kaku ini menjadikan seseorang dan masa (mudanya) sebagai pusat penilaian pada orang lain yang masanya (zaman, lingkungan, dan lain sebagainya) sudah berbeda dengan dirinya. Hal ini sedikit banyak relevan dengan penjelasan presentism seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Faktor terakhir yang ia jelaskan adalah less wisdom. Istilah tersebut merujuk pada kemampuan yang rendah dalam aspek kebijaksanaan. Hal ini yang menyebabkan seseorang cenderung negatif menilai sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya.
Dosen yang meraih gelar doktornya di Universitas Gadjah Mada tersebut seperti mengamini Protzko. Ia mengatakan bahwa tiga faktor tersebut hanyalah beberapa faktor dari banyak hal yang dapat mempengaruhi. “Masih banyak faktor lain.” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Identitas kelompok juga memainkan peran
Perseteruan boomer dengan milenial ini pada satu titik dapat disebut sebagai sebuah polarisasi. Hal tersebut tentu sangat terkait dengan identitas sosial atau identitas grup di mana latar belakang demografis berperan penting dalam pembentukannya.
Pada satu titik juga, perseteruan generasi ini bahkan dapat dianalogikan sebagai perseteruan fans sepak bola yang juga gagal menilai secara objektif perilaku fans lawan mereka. Bahkan tanpa penilaian yang objektif atau tanpa mengetahui latar belakang masing-masing, orang-orang akan tetap berkumpul dengan sesama lainnya yang memiliki identitas sama seperti mereka. Mereka tidak hanya akan menginvestasikan sumber daya yang mereka miliki pada grup, tapi juga akan mulai untuk membenci grup lainnya. Hal tersebut juga berlaku untuk perseteruan antar generasi.
ADVERTISEMENT
Generasi akan selalu mengeluhkan tentang generasi lain. Terbukti dengan “Ok boomer” dan “Kids these days” yang seringkali digunakan untuk sindiran. Hal ini menurut Cort Rudolph, seorang psikolog di Saint Louis University, dapat mengarah pada apa yang disebut “Generationalism” – atau bias atau prasangka pada suatu kelompok orang, berdasarkan kapan mereka dilahirkan.
Dalam ilmu psikologi, terdapat perdebatan sengit tentang apakah pemberian kategorisasi antar generasi sebegitu pentingnya di luar pengaruh usia. Namun untuk membuktikan apakah generasi sendiri itu sebenarnya penting, tidak ada data yang layak untuk dianalisa.
Membuktikan bahwa apakah pencirian generasi seperti milenial, boomer, gen z dan lain sebagainya itu penting tentu saja harus membandingkan banyak data. Untuk melakukan hal itu, setidaknya juga dibutuhkan penelitian yang berkelanjutan bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Melakukan perbandingannya pun akan sulit jika alat ukur yang digunakan pada masa lalu tidak lagi relevan digunakan pada masa sekarang.
ADVERTISEMENT
Tanpa data dan penelitian yang jelas apakah pencirian generasi ini benar-benar penting, membicarakan pencirian generasi akhirnya akan sama seperti membicarakan pseudoscience. Rudolph, dalam artikelnya yang beberapa isinya membahas mengapa generationalism ini problematik, menganalogikan hal tersebut dengan astrologi atau zodiak. “Perbedaan antara zodiak atau generasi ‘saya’ dan zodiak atau generasi ‘mereka’ memberikan orang-orang kesempatan untuk mengidentifikasi diri dengan suatu kelompok sambil membedakan diri dari orang lain,” tulis Rudolph dengan rekan dalam artikel tersebut.
Hal tersebut bisa jadi membuktikan bahwa identitas masih berperan penting dalam polarisasi manusia. Bahkan, sekali lagi, walau tanpa alasan yang jelas, seseorang bisa saja bergabung dan mengklaim diri mereka masuk pada suatu grup hanya sekedar karena membenci grup lain.
ADVERTISEMENT
Agar kita tidak terjebak dalam bias presentism atau generationalism, sadari bahwa semua orang, baik itu muda atau tua, mempunyai ciri khas mereka masing-masing yang bukan berarti ciri khas tersebut menjadikan mereka lebih buruk dari yang lainnya. Dan beberapa tahun lagi kita akan melihat apakah milenial hari ini akan sama seperti generasi-generasi sebelumnya yang juga mengeluhkan generasi muda. Kita akan melihatnya.