Riset COVID-19 yang belum reliabel melaju melawan kecepatan teori konspirasi

Mely Santoso
Savvy science reader.
Konten dari Pengguna
7 Mei 2020 8:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi konspirasi dan sain terkait virus corona
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi konspirasi dan sain terkait virus corona

Preambul

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengikuti perkembangan kasus COVID-19 memang melelahkan. Tidak hanya bagi tenaga medis dan para petugas kesehatan yang berjuang di garis depan, bagi orang awam pun sama melelahkan dan mengkhawatirkannya.
Bagaimana tidak? Jumlah kasus yang terus mengalami peningkatan di hampir seluruh dunia sebagaimana juga peningkatan angka kematian sayangnya tidak bisa dianggap hal remeh. Sampai hari ini, dunia sedang dibuat lebih sibuk oleh SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19.
Tidak hanya apa-apa yang terkait dengan virus, hal lain terkait informasi tentang pandemi ini juga sangat merisaukan. Masih banyak sekali hal yang harus dipahami oleh seluruh penduduk bumi mengenai virus ini – bagaimana virus ini menyebar, asal muasal, penerapan protokol pencegahan dan penanganan, serta lain hal terkait seberapa berbahaya SARS-CoV-2.
ADVERTISEMENT
Saat ini selain membutuhkan data yang valid, ventilator, dan penambahan fasilitas kesehtan, dunia ini juga membutuhkan informasi yang dapat diandalkan (reliable) – hal yang tidak kalah penting.
Banyaknya informasi, di satu sisi, memang sangat dibutuhkan untuk memahami lebih lanjut bagaimana seharusnya menghadapi pandemi. Namun, di lain tangan, informasi tersebut terus tumpang tindih dan berdatangan seperti tiada habisnya. Bukan hanya informasi yang benar tentu saja, informasi yang tidak pasti juga turut menyebar cepat. Spekulasi dan prediksi, asumsi dan kontroversi, realita dan konspirasi terus menumpuk setiap hari.
Menkominfo Johnny Plate pada Sabtu 18 April lalu dalam konferensi pers di Graha BNPB mengumumkan terdapat setidaknya 554 isu hoax tentang COVID-19. Ia mengatakan bahwa hoax tersebut, “tersebar di 1.209 platform, baik itu Facebook, Instagram, Twitter, maupun YouTube”.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, tumpang tindihnya informasi tentang kapan sebenarnya COVID-19 masuk ke Indonesia juga menjadi perdebatan. Tim pakar Fakultas Kesehatan Masyarakt UI memaparkan bahwa SARS-CoV-2 sudah masuk ke Indonesia setidaknya sejak minggu ke-3 Januari 2020. Sedangkan sebagaimana yang banyak kita ketahui bahwa, secara pemberitaan umum, kasus pertama di Indonesia baru resmi diumumkan pada 3 Maret 2020. Sungguh, kita harus percaya pada siapa? Pemerintah dinilai menutup-nutupi data kasus yang sebenarnya, dan para ahli dari Universitas menemukan informasi yang membantah klaim dari pemerintah.
#TenanguntukMenang #BerkahNulisdiRumah
Kita tahu bahwa, setidaknya bagi sebagian orang, sangat sulit untuk membedakan mana berita asli dan mana berita palsu. Dari beberapa penelitian dalam bidang memori menemukan bahwa penanaman informasi palsu dapat dan sangat mungkin dilakukan. Dan jika informasi palsu tersebut sudah tertanam, sulit untuk dilakukan ”takedown” dari memori. Sangat, sangat meresahkan.
ADVERTISEMENT
Yang paling mencuri perhatian akhir-akhir ini adalah teori konspirasi. Sebagai peringatan, artikel ini tidak akan mencoba untuk men-debunk teori-teori konspirasi di luar sana. Tidak. Karena mencoba melawan teori konspirasi dengan sains hanya akan seperti menyaksikan pertandingan sepak bola yang terus-terusan berlanjut dan tidak pernah usai. Selalu menegangkan. Tak berkesudahan. Banyak prediksi dan pembuktian. Selain itu, kedua belah tim punya kesempatan untuk menang tapi kita tidak tahu siapa pemenangnya karena pertandingan itu tak pernah usai. Kita hanya akan mempelajari keduanya dan membahas relevansinya dengan pandemi ini.

Teori Konspirasi VS Teori Ilmiah

Sebelum semuanya, harus dicatat bahwa istilah teori konspirasi bukanlah teori saintifik atau ilmiah tentang suatu hal atau fenomena. Kita harus bisa membedakan itu. Wikipedia mencatat banyak sekali teori konspirasi terkait COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dalam sains, sebuah teori adalah penjelasan tentang fenomena yang telah dibuktikan melalui percobaan dan pengujian. Dalam mencoba menjelaskan suatu objek, ilmuan setidaknya melalui langkah; 1) eksperimen atau observasi yang teliti, 2) pelaporan yang reguler, dan 3) skema penjelasan yang sistematis (teori).
Teori tersebut selanjutnya diterima oleh sebagian besar ahli di bidang yang relevan – seperti teori evolusi, teori relativitas. Ini poin penting yang harus diingat; Jika suatu saat terbukti bahwa teori itu berbeda dengan fenoma dan ditemukan data yang lebih akurat, ilmuan yang memprakarsarai teori tersebut pun harus rela diblejeti teorinya. Fenomena seperti itu sudah bukan hal baru dalam sains. Kita dapat kembali mengingat kasus perubahan geocentrism ke heliocentrism. Inilah yang membuat sains kuat. Konstruksi demi konstruksi (Anda tentu pernah mendengar metafora legendaris itu, ‘standing on the shoulder of giant’).
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, teori konspirasi adalah teori yang mencoba mengusulkan, tanpa data yang ketat untuk mendukung spekulasi pembuatnya, bahwa ada orang-orang atau kelompok kuat yang diam-diam merencanakan sesuatu yang jahat atau menyeramkan.
Mengacu pada Oxford English Dictionary, teori konspirasi diartikan sebagai “suatu teori, bahwa kejadian atau gejala timbul sebagai konspirasi antara pihak-pihak yang berkepentingan, dan adanya suatu lembaga yang bertanggungjawab atas kejadian yang tidak bisa dijelaskan”. Ingat freemason, illuminati, dan lain-lainnya yang sering disalahkan atas sebuah kejadian?
Namun, kita tidak lantas bisa mengatakan teori konspirasi itu salah selama bukti yang menunjukkan kesalahannya belum diperoleh. Bahkan dalam beberapa kasus, banyak konspirasi nyata (walaupun tanpa alasan tertentu saya lebih menykuai kata lain seperti skandal) telah terungkap. Sebagai contoh, keterlibatan Presiden Nixon dalam pencurian di markas besar Democratic Nationall Committee atau konspirasi kesaksian mengada-ada Nayirah al-Sabah pada 1990.
ADVERTISEMENT
Ada banyak alasan untuk pertanyaan mengapa orang percaya teori konspirasi. Sebuah artikel di tirto menjelaskan beberapa. Joseph Uscinski, seorang profesor ilmu politik dari University of Miami menjelaskan bahwa sebenarnya teori konspirasi merupakan senjatanya orang-orang kalah. “Teori konspirasi merupakan alat bagi yang lemah untuk menyerang sekaligus bertahan melawan yang kuat” ujar Uscinski dalam ceramahnya di konferensi Center for Inquiry 2018 lalu.
Seperti juga SARS-CoV-2 yang berpotensi menyerang siapapun, teori konspirasi juga dibekali kemampuan yang sama. Seorang psikolog dari Universitas Goldsmith, London, Profesor Chris French mengatakan: “Ketika Anda mengkaji data kependudukan, keyakinan pada konspirasi terjadi pada semua kelompok sosial, menembus gender dan umur”.
Selain dari ahli, sebuah penjelasan mengapa orang cenderung percaya teori konspirasi dari asumsi pengguna Twitter @pelitafajar juga bagus untuk disimak:
ADVERTISEMENT
Setidaknya kita dapat menyimpulkannya menjadi empat bagian kenapa orang cenderung percaya teori konspirasi dari utas Pijar di Twitter; 1) menghindari ketidakberdayaan; 2) menghindari penolakan sosial; 3) mudah dipercaya dan; 4) kebutuhan akan kambing hitam.
Yang tidak kalah dari teori konspirasi itu sendiri adalah orang yang mempercayainya. Salah satu penemuan yang konsisten dalam penelitian tentang konspirasi adalah mereka yang cenderung percaya satu penjelasan teori konspirasi juga cenderung mempercayai lainnya. Tak mengherankan jika orang yang percaya bumi datar kemungkinan cenderung percaya bahwa 5G bisa menularkan COVID-19.
Dalam sebuah penelitian psikologi pada tahun 2011, Michael J. Wood, Karen M. Douglas, dan Robbie M. Sutton menjelaskan bahwa salah satu penjelasan mengapa terjadi keterkaitan kepercayaan ini adalah disebabkan oleh saling mudahnya terhubung teori konspirasi satu dengan lainnya (saya jadi curiga apakah teori konspirasi itu sendiri adalah konspirasi sebenarnya?).
ADVERTISEMENT
Sander van der Linden dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Why People Believe in Conspiracy Theories” menyoroti kecenderungan orang seperti di atas sebagai Bundle of Beliefs (atau dengan tidak formal saya artikan sebagai ‘keterkaitan kepercayaan’). Orang-orang yang percaya satu teori konspirasi ini cenderung mempercayai teori konsipirasi lainnya walaupun keduanya tampak sangat bertentangan.
Penelitian dari Wood membuktikannya. Semakin partisipan penelitian percaya pada sebuah teori A+ (A plus), semakin juga partisipan akan percaya pada A- (A minus). Semakin peserta eksperimen percaya bahwa Putri Diana memalsukan kematiannya, mereka juga semakin percaya bahwa Putri Diana dibunuh. Semakin banyak peserta yang percaya bahwa Osama bin Laden sudah mati ketika pasukan khusus AS menggerebek kompleksnya di Pakistan, mereka semakin percaya bahwa dia sebenarnya masih hidup. Bertentangan bukan? Aneh.
ADVERTISEMENT
Hal lain terkait orang yang percaya teori konspirasi, seperti yang dijelaskan Linden, adalah kecurigaan mereka terhadap ilmu pengetahuan atau sains. Stephan Lewandowsky, seorang psikolog dari University of Western Australia bersama rekannya menyelidiki hubungan antara penerimaan sains dan pola pikir konspirasi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa mempercayai beberapa teori konspirasi berhubungan dengan penolakan terhadap kesimpulan ilmiah – tidak hanya tentang sains iklim (yang menjadi fokus penelitian), tetapi juga pada fakta-fakta yang sudah mapan seperti merokok menyebabkan kanker dan HIV dapat menyebabkan AIDS. Secara garis besar, berpikiri menggunakan konspirasi teori (setidaknya dalam penelitian Lewandowsky) akan berpotensi menolak paradigma sains.
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Daniel Jolley dan Karen M. Douglas menemukan bahwa seseorang yang mempercayai sebuah teori konspirasi setidaknya juga akan menolak topik-topik sosial dan polotik penting yang terkait. Penelitian itu lebih jelasnya menunjukkan bahwa seseorang yang percaya bahwa perubahan iklim adalah sebuah konspirasi, cenderung tidak akan melakukan perubahan untuk menjaga iklim, seperti mengurangi jejak karbon.
ADVERTISEMENT
Dari dua penelitian di atas kita dapat melihat bahwa pola pikir menentukan perilaku seseorang.
Sampai sini Anda telah melakukan pemanasan yang sangat baik. Seperti biasa, satu lagu dulu.

Teori Konspirasi VS Teori Ilmiah jilid II

Direktur Jendral WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus saat Konferensi Keamanan Munich pada 15 Februari lalu menyatakan bahwa, “kita tidak hanya memerangi sebuah epidemi, kita [juga] memerangi infodemi”. Segera setelah dinyatakan sangat berbahaya, tim komunikasi resiko WHO meluncurkan platform WHO Information Network for Epidemics (EPI-WIN).
Pandemi yang sedang kita hadapi sekarang merupakan lahan subur bagi konspirasi teori dan juga misinformasi. Hal tersebut disebabkan oleh damapak dari pandemi itu sendiri. Kita tahu bahwa pandemi ini tidak hanya menyerang aspek kesehatan manusia. Lebih lanjut, sektor ekonomi, sosial, dan lainnya juga terpengaruh.
ADVERTISEMENT
“Teori konspirasi berkembang di masa krisis, seperti yang jelas terjadi sekarang,” Karen Douglas, seorang profesor psikologi sosial di Universitas Kent mengatakan pada Vox. Teori konspirasi tersebut cenderung, “mengelilingi peristiwa besar yang membutuhkan penjelasan besar [karena] penjelasan kecil saja tidak memuaskan”.
Masyarakat membutuhkan penjelasan yang sangat nyata tentang hal-hal terkait COVID-19 (dampak ekonomi, sosial, dll). Dan seperti halnya pandemi, konspirasi teori terkait dengannya pun bukan hal baru. “Kami tahu bahwa setiap wabah akan disertai dengan semacam tsunami informasi, tetapi juga dalam informasi ini Anda akan menemui misinformasi, desas-desus, dll. Kami tahu bahkan di Abad Pertengahan pun ada fenomena seperti ini” Sylvie Briand, direktur Manajemen Bahaya Infeksi pada Program Keadaan Darurat Kesehatan WHO mengatakan pada The Lancet.
ADVERTISEMENT
Sosial media, menurut Briand, menjadikan kabar palsu ini menyebar dengan sangat cepat. Ini merupakan sebuah tantangan baru di masa pandemi yang berbahaya seperti ini ditambah kita sedang hidup di era keemasan mudahnya mengakses informasi.
Ketika pandemi H1N1 “flu babi” pada tahun 2009, teori konspirasi tentang globalisasi dan industri farmasi (PDF) yang bermain di dalam virus itu menjadi hal umum didengar di seluruh dunia. Sebagai contoh, ketika beberapa orang di Amerika berargumen bahwa H1N1 dibawa oleh imigran ilegal yang didalangi oleh teroris, sebagian orang di Meksiko dan di Amerika Tengah dan Selatan, berpendapat bahwa virus itu sengaja disebarkan oleh otoritas Amerika untuk mendapatkan keuntungan dari perusahaan farmasi.
Bukanlah suatu hal aneh jika masyarakat menuntut penjelasan yang lebih komperehensif tentang pandemi ini. Lalu jika mereka tidak menemukan yang pas (atau bisa mereka pahami) mereka akan beralih ke teori konspirasi yang lebih mudah dipahami (dengan menyalahkan orang lain). Hal ini juga setidaknya dipengaruhi oleh berbagai informasi belum sempurna yang ada. Ketika teori konspirasi sudah menyebar dengan kecepatan internet, ulasan ilmiah (yang walaupun sudah banyak) baik dari penelitian atau kajian terkini belum bisa secara yakin memastikan semua hal terkait COVID-19.
ADVERTISEMENT
Sains terkait pandemi (terutama artikel penelitian) virus corona memang melaju sangat cepat. Dari grafik yang ditunjukkan The Economist, pada tahun 2020 atau saat COVID-19 hadir, sudah lebih dari seribu artikel ilmiah yang berada di pangkalan jurnal. Kebanyakan makalah tersebut datang dari Cina, yang mana tentu saja peneliti di sana mempunyai lebih banyak waktu untuk mempelajari infeksi SARS-CoV-2 dibanding ilmuan lain di dunia. Beberapa makalah penting juga datang dari Itali.
Kesemua artikel tersebut menurut Adam Marcus dan Ivan Oransky dalam WIRED mempunyai sebuah kesamaan; makalah-makalah tersebut dikerjakan dengan terburu-buru. Harus diingat, kecepatan dalam sains tidak seberapa penting dibantingkan ketelitian (rigor). Dalam sains, kecepatan sangat tinggi bisa juga berarti sangat berbahaya.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri punya pengalaman membantu mengelola sebuah Jurnal Psikologi selama kurang lebih satu tahun dan juga menulis naskah penelitian. Sebuah makalah penelitian untuk bisa sampai tahap publikasi, membutuhkan waktu yang sangat lama. Bisa jadi berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Prosedurnya, peneliti mengumpulkan naskah. Setelah itu makalah akan diseleksi (peer-review) untuk menentukan apakah akan dipublikasikan atau tidak. Jika naskah diterima, biasanya masih harus melalui penyuntingan yang sangat ketat oleh editor (yang tentunya ahli dalam bidangnya).
Namun kali ini, di masa pandemi ini, waktu yang sangat lama itu dipangkas secara radikal. Artikel ilmiah yang banyak kita temui di internet bisa jadi bentuk pre-print. Gampangnya istilah terakhir menjelaskan bahwa artikel ilmiah naik tanpa review yang ketat, atau bahkan tanpa review sama sekali. Mereka mengatakan review dilaksanakan setelah publikasi, bukan sebelumnya. Ini tentu tidak bisa dikatakan hal baik. Jika sebuah artikel ilmiah tidak mengungkapkan apa yang semestinya dari data yang baik, pengujian dan analisa yang kompeten, serta merujuk kesimpulan yang komperehensif, tentu tidak akan berbeda dengan artikel blog seperti ini atau bahkan yang lebih buruk, bisa menjadi landasan teori konspirasi.
ADVERTISEMENT
Masalah lainnya, saat data yang dikumpulkan oleh peneliti COVID-19 belumlah seluruhnya bisa dipahami, hasil dari penelitian yang dituliskan di dalam naskah pun dapat berubah seiring waktu. Apa yang tampak seperti kebenaran hari ini, bisa jadi besok sudah masuk dalam keranjang sampah. Memang benar konstruksi pengetahuan adalah salah satu sifat dari sains, tapi tentu saja bukan berarti seorang peneliti tidak berhati-hati ketika memaparkan sebuah penelitian. Ingat, ini proses penelitian bukan pengawuran.
Yang harus kita pahami, kemunculan naskah-naskah penelitian tentang COVID-19 dalam beberapa hari kedepan bisa jadi akan salah dan tidak relevan sama sekali dengan fakta yang ada di masa depan, setidaknya sebagian. Namun ingat, itu bukanlah hal buruk. Selama kita mengingat fakta kemungkinan berubahnya fakta itu, kita bisa terhindar dari pengambilan kesimpulan yang cepat dan terburu-buru.
ADVERTISEMENT
Sains bukanlah balap MotoGP. Tidak semua kebenaran harus datang secara cepat. Sains datang secara bertahap. Freud datang dengan teori yang ribet tentang Id, Ego, dan Super Ego untuk menganalisa sebuah perilaku. B. F. Skinner datang dengan penjelasan yang lebih mudah dengan bukti eksperimen yang dilakukannya. Datangnya Operant Conditioning (teori B.F. Skinner) bukan berarti menghapus psikoanalisa Freud. Tidak. Pendekatan Freud, yang belum bisa dijelaskan secara ilmiah, setidaknya masih banyak digunakan untuk melakukan analisa tertentu. Begitu juga Operant Conditioning B.F. Skinner belumlah dikatakan sudah sangat mapan. Ada banyak teori-teori yang siap menjelaskan apa yang tak dijelaskan Skinner. Dan itulah yang membuat sains begitu cantik: “berdiri di atas pundak raksasa”.
Oh, terakhir sebagai penutup. Ada satu teori yang mengatakan bahwa daun dan batang pohon singkong bisa digunakan sebagai obat ampuh COVID-19. Saya mempercayai itu. Anda pun pasti akan sama jika tahu tekniknya. Caranya, potong 30 batang singkong yang tebal di ladang. Rebus daunnya dan tunggu sampai mendidih. Siapkan meteran lalu ukur masing-masing batang singkong tadi dengan sama panjang 1 meter. Gunakan air rebusan yang masih mendidih untuk menyiram wajah Anda yang tidak menggunakan masker dan batang singkong untuk memukuli kaki yang tidak bisa diam di rumah.
ADVERTISEMENT